Inilah watak kapitalisme yang telah mencelup bangsa Indonesia. Berbagai celah diambil kemanfaatannya termasuk perkara jaminan kehalalan produk yang sangat dibutuhkan masyarakat. Meskipun Indonesia mayoritas muslim tapi perkara sertifikasi halal ini tidak lagi didasarkan pada akidah tetapi demi meraup uang yang melimpah.
Oleh. Wening Cahyani
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Baru-baru ini Kementerian Agama Republik Indonesia mengganti label halal MUI dengan label halal Indonesia versi pemerintah. Label halal versi pemerintah dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag. Adapun alasan Menteri Agama mengganti label halal karena seiring perpindahan kewenangan pemberian sertifikat halal dari Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia ke BPJPH Kemenag.
Sebagaimana dilansir dari detiknews, Ahad (13/03/2022) bahwa penetapan label halal ini dituangkan dalam Keputusan Kepala BPJPH No. 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal sebagai pelaksanaan terhadap amanah pasal 37 UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Pasal 37 tersebut berisi kewajiban BPJPH menetapkan logo halal.
Alasan Mengganti Label Halal MUI
Apabila ditelusuri, penggantian label halal ini merupakan tindak lanjut dari perpindahan otoritas sertifikat halal yang semula oleh MUI ke BPJPH Kemenag pada tahun 2014 lalu dan dikuatkan dengan regulasi-regulasi yang dikeluarkan pemerintah. Jika dulu proses untuk mendapatkan sertifikat halal sejak pendaftaran, pemeriksaan, fatwa, dan penerbitan sertifikat halal semua dilakukan oleh MUI. Namun, sejak ditetapkan UU No. 33 Tahun 2014 otoritas berpindah ke BPJPH Kemenag. Sedangkan proses yang baru, pendaftaran ke BPJPH, pemeriksaan oleh Lembaga Pemeriksa Halal, fatwa dari MUI, dan penerbitan sertifikat halal oleh BPJPH. (Kompas.com, 15/03/2022)
Menurut Kepala BPJPH, Muhammad Aqil Irham, bahwa kebijakan penggantian label ini sebagai salah satu bentuk kemudahan dari pemerintah bagi pelaku usaha dalam masa peralihan pelaksanaan sertifikat halal yang sebelumnya bersifat sukarela menjadi wajib. Dengan penetapan regulasi Jaminan Produk Halal, maka bagi para pelaku harus mencantumkan label baru di kemasan produknya.
Penetapan label halal baru ini memang diberlakukan secara bertahap. Dikutip dari prfmnews.id dari laman Kemenag, Kepala Pusat Registrasi Sertifikat Halal, Mastuki penetapan logo halal diberlakukan secara bertahap mengingat masih banyak produk yang beredar dan para pelaku usaha masih menyimpan stok kemasan dengan label halal MUI. Namun, seiring penggantian label halal ini berbagai tanggapan muncul dari masyarakat. Sertifikat halal ini menjadi jaminan bagi produk yang dipakai jelas halal, maka penggantian label pun seharusnya memberikan kejelasan dan ketenangan di masyarakat.
Seperti yang disampaikan oleh Ustaz Adi Hidayat yang berusaha memahami niat baik Kemenag dan badan terkait, namun harus diperjelas dari tulisan halal dengan bahasa Arab. Halal itu bagian dari hukum yang melekat dalam Islam dan sifatnya memberikan kepastian apakah suatu produk bisa dikonsumsi atau tidak. (prfmnews.id, 15/03/2022)
Tanggapan lain disampaikan oleh Wakil Ketua Umum MUI, Anwar Abbas, bahwa logo baru tidak mencantumkan MUI atau BPJPH serta hanya mengedepankan kepentingan seni. Akhirnya masyarakat tidak lagi mengetahui kata halal bertuliskan Arab. Logo ini pun terkesan menonjolkan kearifan budaya lokal Jawa dan tidak mewakili sebagai budaya nasional. (Kompascom, 15/03/2022)
Maksud Terselubung Penggantian Label Halal
Apabila diamati lebih jauh ternyata UU Jaminan Produk Halal ini berkaitan erat dengan UU Omnibus law atau UU Cipta Kerja yang disahkan pada 5/10/2020. UU JPH termasuk dalam UU sapu jagat yang digolongkan dalam klaster Permudahan Perizinan Usaha. Indonesia digadang oleh pemerintah menjadi pusat produk halal dunia pada tahun 2024 sedangkan Indonesia merupakan peminat terbesar pasar halal dunia. Oleh karenanya, pemerintah menempuh berbagai upaya mendorong tumbuhnya UMKM, menghidupkan keterikatan hulu ke hilir, menyuburkan aktivitas ekspor, membangun kerja sama berbagai elemen, dan mempermudah regulasi termasuk sertifikasi halal.
Hal-hal yang menjadikan masyarakat tidak tenang dalam perubahan UU JPH dalam UU Cipta Kerja ini adalah adanya Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang turut serta dalam peneteapan fatwa halal selain MUI. Terlebih lagi, LPH ini bisa dibentuk dari ormas berbadan hukum, perguruan tinggi, dan atau lembaga lain yang diakreditasi MUI, seperti PT Sucofindo dan PT Surveyor Indonesia.
Masih di dalam ketetapan yang baru, dinyatakan adanya penghapusan beberapa syarat bagi orang yang memiliki kemampuan untuk melakukan tugas pemeriksaan kehalalan atas suatu produk (auditor halal). Beberapa syarat yang dihapus adalah auditor wajib beragama Islam, WNI, berwawasan luas terkait kehalalan produk dan syariat Islam, wajib berpendidikan minimal S1 bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi. Ketetapan ini memberi peluang bagi siapa saja bisa menjadi auditor halal yang penting mengikuti pelatihan.
Masalah sanksi, maka dalam UU yang baru ini memberi peluang para pelaku usaha bisa lepas dari jeratan denda karena tidak diatur sanksi administratif dan jenis pelanggarannya. Sedangkan dalam UU JPH dinyatakan ada sanksi administratif jika pelaku usaha melanggar aturan. Ditambah lagi, pemverifikasian pemohon sertifikasi halal telah dipangkas waktunya maksimal sehari saja.
Dari sini terlihat jelas UU Ciptaker yang memasukkan UU JPH dalam memudahkan izin usaha termasuk mendapatkan sertifikat halal, akan menaikkan minat masyarakat mengembangkan usaha dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan daya saing global. Penerbitan sertifikat halal ini bukan landasan iman kepada Allah Swt. dan membantu kepentingan umat Islam melainkan ada maksud lain yang terselubung.
Biaya pengurusan sertifikasi halal dalam UU JPH diturunkan. Namun, dengan diwajibkannya menggunakan logo ini membuat para pelaku usaha baik bermodal kecil atau besar harus mengurus sertifikat halal ini. Dan yang pasti, urusan sertifikasi halal ini bisa menjadi lahan bisnis yang menjanjikan jika pelaku bisnis berduyun-duyun mengajukan permohonan sertifikasi halal ini.
Inilah watak kapitalisme yang telah mencelup bangsa Indonesia. Berbagai celah diambil kemanfaatannya termasuk perkara jaminan kehalalan produk yang sangat dibutuhkan masyarakat. Meskipun Indonesia mayoritas muslim tapi perkara sertifikasi halal ini tidak lagi didasarkan pada akidah tetapi demi meraup uang yang melimpah.
Kehalalan Produk Tanggung Jawab Negara
Dalam firman Allah Swt. surah Al-Baqarah ayat 168 yang artinya, “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.”
Perintah makan makanan yang halal dan baik tidak khusus bagi yang muslim atau mukmin tapi bagi mereka yang namanya manusia (muslim atau kafir). Oleh karena itu, untuk menjamin masyarakat mendapatkan produk yang halal butuh peran negara. Dengan kata lain, jaminan produk halal terhadap semua barang yang dikonsumsi menjadi hak setiap rakyat. Rakyat tidak dibiarkan mengonsumsi atau menggunakan barang yang tidak jelas halal atau haram. Halal haram termasuk perkara penting bagi manusia terutama seorang muslim.
Demikian urgennya kehalalan produk ini, negara pun mempermudah mendapatkan sertifikat halal, aturan tidak berbelit-belit, dan tidak membebani rakyat. Karena mengurus urusan rakyat dan menjaganya adalah tanggung jawab negara. Hal yang demikian akan menjauhkan dari tindakan curang oleh para pelaku usaha dan terhindar dari meninggikan harga produk gara-gara pembiayaan sertifikasi halal yang mahal.
Maka dari itu, sudah seharusnya umat Islam menyadari bahwa untuk mendapatkan jaminan produk halal membutuhkan sebuah institusi. Institusi ini akan mampu menaungi rakyatnya dari hal-hal yang membahayakan diri mereka termasuk apa yang mereka konsumsi. Semua akan terwujud dalam naungan Khilafah Islamiah ‘ala Minhajin Nubuwwah.
Allah a’lam[]