Demokrasi Tak Bertaji, Harga Nyawa Tak Berarti

"Terbukti demokrasi telah gagal melindungi harkat, martabat, serta nyawa manusia. Penegakan hukum dalam demokrasi sarat akan kepentingan yang berkuasa untuk melanggengkan kekuasaannya."

Oleh. drh. Lailatus Sa'diyah
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan dua polisi terdakwa pembunuhan sewenang-wenang (unlawful killing) terhadap laskar Front Pembela Islam (FPI) lepas dari hukuman pidana. Walaupun dua terdakwa terbukti dalam dakwaan primer jaksa. Putusan pelepasan terdakwa sudah pasti menimbulkan kekecewaan yang mendalam bagi keluarga dan masyarakat yang bersimpati. Mengusik sanubari, bukti demokrasi hanya panggung lawakan penuh arogansi.

Publik Kembali Kecewa

Kejadian penembakan KM 50 tol Jakarta-Cikampek yang menewaskan enam anggota laskar Front Pembela Islam belum terhapus dalam ingatan. Berjuta tanya mendera atas realitas yang dianggap melampaui batas. Enam nyawa melayang dengan percuma akibat penembakan atas dalih pembelaan diri aparat negara. Faktanya menurut Munarman Kuasa Hukum enam laskar FPI pada Republika.co.id (16/12/20) menilai, rekonstruksi kasus bak drama komedi. Sarat akan kejanggalan dan manipulasi.

Penyidikan terus berlanjut, berbagai spekulasi terus bersambut. Menyudutkan jasad yang telah tak bernyawa. Hingga putusan hakim tiba menyatakan Briptu Fikri dan Ipda Yusmin tidak dapat dijatuhi pidana karena alasan pembenaran dan pemaaf. Hakim menerangkan alasan pembenaran tersebut menghapus perbuatan melawan hukum yang dilakukan Briptu Fikri dan Ipda Yusmin. Kemudian alasan pemaaf menghapus kesalahan kedua polisi tersebut. Tindakan melawan hukum terdakwa karena merampas nyawa orang lain yaitu telah menembak empat anggota FPI di dalam mobil Xenia milik polisi pada 7 Desember 2020. (Republika.co.id, 16/03/2022)

Pasalnya, tuntutan itu telah sesuai dengan dakwaan primer jaksa yakni Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan secara sengaja juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP. Walaupun telah terbukti dakwaan primer jaksa, tetapi hakim menilai perbuatan tersebut merupakan tindakan dalam upaya membela diri. Maka kedua polisi tersebut tidak dapat dijatuhi hukuman dan dilepaskan dari segala tuntutan (Tvonenews.com, 18/03/2022).

Putusan hakim atas kedua terdakwa menarik perhatian Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan dan memberikan pendapat hukumnya. Sebagaimana pendapat beliau dalam mediaumat.id pada 19 Maret 2022 yaitu: pertama, istilah pembelaan darurat yang melampaui batas (noodweer exces) dapat dilakukan dengan terlebih dahulu terpenuhi unsur saratnya.

Kedua, berkaitan dengan kasus Tragedi KM 50, apabila santri pengawal Habib telah ditangkap dan teriak minta ampun, maka dalam situasi tersebut aparat dilarang melakukan tindakan pembelaan diri yang melampaui batas.

Ketiga, apabila unsur-unsur yang dia jelaskan tidak terpenuhi lalu dijadikan pertimbangan untuk melepaskan terdakwa, maka menurutnya hal itu telah mencederai rasa keadilan masyarakat.

Melihat perjalanan penanganan kasus yang seakan tidak sesuai realitas, masihkah kita percaya akan penegakan hukum di negeri ini?

Dalam Demokrasi Nyawa Tak Berarti

Dilepaskannya dua terdakwa oleh hakim atas kasus penembakan enam anggota laskar FPI, memunculkan pertanyaan di tengah-tengah masyarakat. Apa pun yang menjadi alasan pembunuhan enam orang tersebut, apakah tidak ada satu pasal pun dalam hukum positif yang mampu menjerat terdakwa? Sebegitu tidak pentingkah nyawa seseorang dalam rezim yang mengadopsi sistem pemerintahan ala demokrasi ini?

Ini bukan kasus pertama, tidak sedikit kasus penangkapan tertuduh teroris yang kemudian langsung dibunuh tanpa ada bukti yang pasti, pengadilan serta pembelaan oleh tertuduh. Kemudian ada juga kasus salah tangkap tertuduh teroris oleh aparat negara yang kemudian hanya 'dibayar' dengan kata maaf belaka. Apakah itu bentuk perwujudan keadilan dalam sistem demokrasi? Kesewenang-wenangan terindra dan dilakukan oleh mereka yang berwenang.

Gema sistem demokrasi merupakan sistem yang di dalamnya memiliki gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Namun, penerapannya sangat jauh berbeda. Atas asas demokrasi, dengan keterbatasan pemikirannya, manusia diizinkan membuat hukum atas kehidupan. Alhasil hukum buah pikiran manusia yang sejatinya syarat akan keterbatasan, tidak mampu mengakomodasi serta melindungi hak-hak setiap manusia.

Terbukti demokrasi telah gagal melindungi harkat, martabat serta nyawa manusia. Penegakan hukum dalam demokrasi syarat akan kepentingan yang berkuasa untuk melanggengkan kekuasaanya. Bukan semata-mata untuk kepentingan masyarakat biasa. Kesombongan manusia dalam membuat hukum atas kehidupannya serta menafikan hukum Allah adalah jalan munculnya petaka.

Islam Melindungi Nyawa Manusia

Ajaran Islam sangat menghargai nyawa seorang muslim. Pemerintahan Islam dalam bingkai Khilafah akan menjaga setiap nyawa manusia yang ada di bawah pemerintahannya. Sebagaimana firman Allah ta'ala dalam terjemah Surah Al-Maidah ayat 32 : "… Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya". Begitu berharga Islam memandang satu nyawa manusia.

Jika ada individu, kelompok masyarakat bahkan aparat negara yang menyalahi ketentuan Allah tersebut, yaitu menghilangkan nyawa seseorang tanpa motif yang jelas, Islam akan menghukumnya dengan sangat tegas, yakni memberikan sanksi dengan hukuman jinayat (tebusan darah) dan qishaash (dibunuh). Sebagaimana firman Allah ta'ala dalam terjemah surah Al-Baqarah ayat 79, "Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal supaya kamu bertakwa".

Di samping itu, sistem pendidikan Islam akan senantiasa menanamkan dalam jiwa-jiwa peserta didiknya agar menjadi muslim yang taat syariat Islam serta konsekuensi melanggarnya akan mendatangkan murka Allah ta'ala. Maka dari itu, akan melahirkan generasi yang berkhidmat untuk meraih rida Allah ta'ala dalam setiap aktivitasnya.

Inilah ajaran Islam dalam menjaga nyawa manusia. Dalam penerapannya, sanksi yang diberikan oleh sistem Islam memiliki ciri yang khas dan tidak dimiliki sistem kapitalisme sekarang ini. Yakni memberikan efek jera dan sebagai menghapus dosa. Hanya sistem Islamlah mampu mewujudkan keadilan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Namun, hal ini hanya bisa terealisasi jika ajaran Islam diterapkan secara kaffah di bawah naungan daulah Islam. Yang ketiadaannya saat ini, menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk memperjuangkannya.

Keberadaan Khalifah laksana perisai bagai rakyatnya. Yang siap melindungi dan mengurus segala urusan rakyatnya. Kondisi inilah yang sangat jauh berbeda dengan realitas kondisi saat ini. Rezim yang ada tak segan mengangkat senjata dan menodongkannya kepada rakyat sekalipun tanpa alasan yang dan bukti yang kuat. []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
drh. Lailatus Sa'diyah Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Mukjizat yang Senantiasa Terjaga
Next
Sistem Kapitalisme Mengurusi Rakyat dengan Setengah Hati
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram