"Harus disadari bahwa permasalahan stunting bukan sekadar karena inadekuat asupan gizi dan minimnya ilmu gizi dari sebuah keluarga, melainkan problem sistemis, yang salah satunya dipicu oleh faktor ekonomi. Sejak dahulu, dimensi tragedi kemiskinan dan kelaparan telah mencapai titik memprihatinkan. Kesenjangan ekonomi di tanah air makin hari, makin terlihat gapnya."
Oleh. Ahsani Ashri, S.Tr.Gz
(Penulis dan Pemerhati Sosial)
NarasiPost.Com-Alarm stunting telah berdering, tanda situasi amat genting. Mengingat Indonesia masih menduduki peringkat keempat di dunia dan kedua di Asia Tenggara terkait kasus balita stunting (25/1/2021). Miris, kasus stunting masih nyata di pelupuk mata di negeri kaya, apa penyebabnya?
Sinergitas dan Kolaborasi
Baru-baru ini, sebanyak lima ribu penyuluh agama dilibatkan untuk menekan prevalensi stunting di nusantara yang masih tinggi sebesar 24,4 persen, yang artinya satu orang dari empat anak Indonesia mengalami stunting (11/3/2021). Ironi di negeri berlimpah kekayaan alam dan terkenal subur, tetapi jumlah stunting masih di atas standar toleransi maksimal stunting menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu di bawah 20 persen. Untuk menekan stunting, Kemenag bersama dengan BKKBN meluncurkan program pendampingan, konseling dan pemeriksaan kesehatan mulai dari hulu kepada calon pengantin (catin) selama tiga bulan pada masa pranikah. Acara launching program ini dilakukan di Pendopo Parasamya Kabupaten Bantul, Provinsi DIY.
Selain sinergitas dari BKKN dan Kemenag, upaya ini berkolaborasi juga dengan sejumlah pihak terkait penyelesaian problem stunting, sebagaimana yang ditargetkan oleh pemerintah, yakni agar prevalensinya turun menjadi 14 persen pada 2024. Namun, seberapa efektifkah sinergitas dan kolaborasi program yang dibentuk ini?
Korelasi Asupan Gizi dan Stunting
Mungkin di antara masyarakat masih awam dengan istilah stunting. Stunting atau biasa disebut dengan pendek adalah kondisi malnutrisi (kurangnya asupan gizi) yang berlangsung lama, sejak 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Stunting mempunyai dampak pada menurunnya kualitas sumber daya manusia, produktivitas, dan daya saing. Dalam jangka pendek, stunting menyebabkan terhambatnya perkembangan otak dan gangguan pertumbuhan pada anak.
Gangguan pertumbuhan ini ditandai dengan tinggi badan anak lebih pendek dari standar usianya. Selain bertubuh pendek atau kerdil, indikasi lain ditandai dengan terhambatnya perkembanggan otak yang berpengaruh pada kecerdasan. Sehingga anak yang stunting biasanya memiliki daya tahan tubuh yang kurang baik, sekaligus IQ yang rendah. Kondisi ini akan berdampak panjang pada proses belajar dan perkembangan kognitif mereka.
Oleh karenanya, kejadian malnutrisi ini tidak berlangsung secara tiba-tiba, melainkan dalam rentang waktu yang lama, yakni sejak prakonsepsi kehamilan hingga memasuki periode 1.000 HPK (mulai dari usia 0 bulan dalam kandungan hingga anak berusia dua tahun) di mana periode ini adalah periode emas bagi anak. Sebagaimana kita tahu, saat berada di fase golden age (periode emas), pertumbuhan otak anak berkembang pesat. Maka, sangat disayangkan jika asupan gizi tidak terpenuhi dengan cukup pada masa ini, karena akan bedampak pada pertumbuhan dan kecerdasan otaknya di masa depan.
Adapun dampak jangka panjang pada anak yang stunting, yakni akan meningkatkan risiko penyakit degeneratif seperti diabetes, obesitas, penyakit jantung, pembuluh daerah, kanker, stroke dan disabilitas pada usia tua. Sehingga, ancaman kesehatan pada anak yang stunting sangat besar, dan memengaruhi kualitas generasi pada masa depan. Stunting adalah satu dari sekian banyaknya permasalahan kesehatan yang serius bagi masa depan generasi bangsa. Seyogianya, ancaman serius ini mendapat solusi yang tepat dan tuntas dari negara.
Kapitalisme Jerat Kemiskinan
Selama ini, tubuh anak yang pendek acapkali dikaitkan dengan faktor keturunan (genetik) dari kedua orang tuanya, sehingga masyarakat tidak aware dan tidak berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Padahal sebenarnya masalah stunting dapat dicegah. Dilansir dari laman kemenkes.go.id, genetika merupakan faktor determinan (turunan) paling kecil pengaruhnya dibandingkan dengan faktor eksternal seperti faktor perilaku, lingkungan (ekonomi, sosial, budaya, politik), dan pelayanan kesehatan.
Harus disadari bahwa permasalahan stunting bukan sekadar karena inadekuat asupan gizi dan minimnya ilmu gizi dari sebuah keluarga, melainkan problem sistemis, yang salah satunya dipicu oleh faktor ekonomi. Sejak dahulu, dimensi tragedi kemiskinan dan kelaparan telah mencapai titik memprihatinkan. Kesenjangan ekonomi di tanah air makin hari, makin terlihat gapnya. Bukan hanya di tanah air, problem ini pun terjadi di seluruh dunia. Setiap detiknya seorang anak meninggal dunia karena gizi buruk.
Sementara itu, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menyatakan kekhawatirannya atas kenaikan harga pangan dan diperkirakan akan memperluas kemiskinan di dunia. Faktor ekonomi sangat erat kaitannya dengan jeratan kemiskinan. Maka hal tersebut merupakan salah satu kunci untuk menurunkan angka stunting. Kemiskinan sangat berkolerasi dengan penyebab ibu dan anak tak memperoleh asupan gizi yang adekuat dan seimbang. Memang tidak semua orang miskin anaknya mengalami stunting, tetapi sebagian besar stunting diakibatkan kemiskinan. Maka seharusnya, penyelesaian stunting ini dilakukan secara sistemis agar tercabut hingga ke akar masalahnya.
Pertanyaannya, apakah hanya dengan program pendampingan, konseling dan pemeriksaan kesehatan permasalahannya akan selesai, sementara kemiskinan masih menghantui rakyat di negara ini? Tampaknya tidak, sebab kemiskinan yang terjadi di negeri ini adalah kemiskinan struktural/sitemis yang berpangkal pada sistem yang diterapkan oleh negara dan penguasa yaitu sistem kapitalisme. Ungkapan, “yang kaya makin kaya, yang miskin tambah miskin” seolah benar adanya. Apalagi di tengah situasi pandemi yang melanda, rupanya membawa mujur bagi para konglomerat. Kesejangan ekonomi sangat kentara di tengah masyarakat. Kemiskinan yang menjerat rakyat seakan tak pernah sirna, malah makin merajalela.
Di sisi lain, marak oknum yang kaya mendadak. Inilah wajah sistem kapitalis, melahirkan segelintir orang-orang egois, serakah, dan minim empati. Jurang kekayaan antara si miskin dan si kaya kian melebar. BPS mencatat, jumlah penduduk miskin melambung tinggi selama pandemi, sementara pada saat yang bersamaan, harta kekayaan crazy rich meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 1,5 triliunan dolar atau setara dengan Rp21,4 kuadriliun (19/1/2022).
Ketimpangan sosial dan kesenjangan global menjadi hal yang mutlak terjadi dalam sistem kapitalisme. Kesenjangan inilah yang membuat sistem ini menampakkan banyak kelemahan dan berdampak buruk bagi kehidupan. Kemiskinan sistemis menjadikan segelintir pihak menjadi “Tuhan”, sementara rakyat jelata menjadi pengemis kepada mereka adalah hal yang tak terelakkan. Masihkah kita ingin berada dalam sistem yang jelas-jelas telah membawa dampak buruk bagi masa depan kita?
Negara Tak Bertaring
Permasalahan sistemis yang dihadapi negeri ini sesungguhnya berakar pada sistem perekonomian global yang dianut oleh mayoritas negara dunia, khususnya negara barat. Sistem yang bertumpu pada asas kapitalisme bernapas sekularisme liberal mengabaikan rasa keadilan bagi masyarakat, sehingga menimbulkan kemiskinan yang merajalela. Sistem ini hanya memperkaya pemodal semata tanpa memedulikan kemaslahatan rakyat. Sistem ini pun telah tampak membuat negara seolah tak bertaring menghadapi persoalan ini. Sejumlah pakar ekonomi dunia pun mengakui kebenarannya, bahwa ekonomi kapitalis ternyata tidak memiliki arah yang jelas.
Berbeda dengan Islam yang tegak atas prinsip-prinsip syariat Islam. Dalam membangun institusi negara, sistem Islam harus sejalan di setiap lini kehidupan, mulai dari sistem politik, sosial ekonomi, kesehatan, pendidikan, budaya, hingga pertahanan dan keamanan. Sistem politik Islam yang mengharuskan penguasa sebagai raa’in (pemelihara urusan rakyat) dan junnah (pelindung dari segala kerusakan). Penguasa tidak akan menetapkan kebijakan yang bertentangan dengan syariat dan mengutamakan kemaslahatan rakyat. Fenomena kemiskinan yang menjerat sesungguhnya disebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan primer rakyat secara sempurna.
Islam Menyolusi Kemiskinan
Sistem politik dan ekonomi Islam adalah unsur utama pembentuk sistem kesehatan Islam, baik dari aspek fungsi negara, kurikulum pendidikan yang akan membentuk sumber daya manusia yang berkualitas, serta pembiayaan kesehatan dan fasilitasnya yang memadai. Sebagai sebuah sistem, daulah Islam melalui soeorang khalifah akan meri'ayah rakyat dengan sepenuh hati. Tentulah bukan dengan membagikan makanan, pakaian atau rumah secara gratis kepada rakyat setiap saat, hingga terbayang rakyat dapat bermalas-malasan lantaran kebutuhannya sudah terpenuhi. Jaminan yang dimaksud adalah meniscayakan sebuah mekanisme agar kebutuhan rakyat akan kebutuhan primer ini terpenuhi. Dengan mewajibkan laki-laki menfkahi diri dan keluarganya sehingga masalah kemiskinan dapat diselesaikan (lihat surat al-Baqarah;233). Kecuali kepala keluarga yang terkendala untuk mencari nafkah, misalnya meninggal, sakit-sakitan, cacat mental atau fisik, usia lanjut, dan lain-lain. Maka, kewajiban mencari nafkah dibebankan kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah. Akan tetapi, jika seseorang ini sebatang kara atau memiliki kerabat yang hidupnya pas-pasan, maka pemberian nafkah itu wajib ditanggung oleh negara yang didanai dari Baitul Mal (kas negara). Adapun jika Baitul Mal kosong, maka kewajiban nafkah ini beralih kepada kaum muslimin secara kolektif.
Problem kemiskinan ini biasanya juga disebabkan oleh tingkat pendidikan yang rendah, sehingga memengaruhi kualitas SDM. Di sinilah peran negara untuk memberikan pendidikan secara gratis kepada rakyat. Begitu pula dengan pelayanan kesehatan, negara menjamin pelayanan kesehatan yang gratis dan berkualitas kepada rakyatnya, sebab pendidikan dan kesehatan termasuk kebutuhan primer yang wajib dipenuhi oleh negara. Demikianlah Islam sebagai solusi atas semua problem kehidupan, yang telah memberikan pengaturan secara rinci untuk mengatasi kemiskinan struktural dan kultural dengan pemenuhan kebutuhan dasar bagi rakyat. Pengaturan seperti ini tidak akan dijumpai dalam sistem kapitalis. Mekanisme ini hanya akan dapat terwujud tatkala Islam diterapkan sebagai aturan kehidupan dalam bingkai daulah islamiah. Wallahu’alam[]