VP berpotensi menjadi ketakutan baru. Pasalnya, aksi petugas VP diduga menerobos ruang privat warga melalui ranah digital.
Oleh. Nurjamilah, S.Pd.I.
NarasiPost.Com-Indonesia merupakan negeri mayoritas muslim yang sejak lama menerapkan demokrasi. Demokrasi yang digadang-gadang dapat menjamin kebebasan berpendapat itu, ternyata hanya isapan jempol semata. Faktanya, kritik terhadap penguasa malah dibatasi bahkan diancam akan dijatuhkan sanksi.
Polri secara resmi telah mengaktifkan Virtual Police (VP), sebagai bentuk kegiatan baru yang dilakukan Direktorat Siber Polri untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (Harkamtibmas) khususnya di ruang digital agar bersih, sehat, dan produktif. Unit yang digagas Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo itu dibentuk guna mencegah tindak pidana terkait Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di ruang digital. (antaranews.com, 24/02/2021)
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Ahmad Ramadhan menjelaskan cara kerja Virtual Police sebagai berikut: VP akan mengirimkan peringatan melalui direct message (DM) kepada pemilik akun yang mempublikasikan konten yang dianggap melanggar UU ITE (konten hoaks, isu SARA, ujaran kebencian, provokasi dll) untuk segera menghapusnya. Anggapan pelanggaran ini berasal dari pihak kepolisian yang melakukan pengkajian bersama pakar pidana, pakar bahasa, dan ahli ITE. Jika peringatan tidak diindahkan, maka VP akan kembali melayangkan teguran. Mediasi akan ditempuh selama berkas perkara belum dikirim ke jaksa penuntut umum. Jalan terakhir, penjatuhan sanksi bagi pelanggar. (kompas.com, 26/02/2021)
Kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Anggota Komisi III DPR RI Ahmad Dimyati Natakusumah dari fraksi PKS ini mendukung langkah Polri ini sebagai ikhtiar polisi dalam mengedukasi masyarakat dalam media sosial agar keadilan restoratif. Akan tetapi pada praktiknya jangan sampai terjadi kriminalisasi atau abuse of power (liputan6.com, 26/02/2021).
Beda halnya dengan Asfinati, Ketua Yayasan LBHI menganggap VP ini akan mempersulit warga untuk melakukan pembelaan diri ketika dianggap melakukan pelanggaran UU ITE. (cnnindonesia.com, 27/02/2021)
Virtual Police Sejatinya Memberangus Nalar Kritis Masyarakat
Miris. Beriringan dengan pernyataan Jokowi meminta saran kritik dari masyarakat serta narasi akan direvisinya UU ITE, masyarakat justru menerima kenyataan yang berbeda. Kebebasan masyarakat dalam mengeluarkan aspirasi dibayang-bayangi oleh UU ITE, serangan para buzzer, dan kini ditambah dengan VP.
Alih-alih memberikan rasa aman, VP malah berpotensi menjadi ketakutan baru. Pasalnya, aksi petugas VP diduga menerobos ruang privat warga melalui ranah digital. Patut diduga VP juga meniadakan ruang pembelaan. Karena masyarakat hanya diberikan dua pilihan, yaitu patuh dengan menghapus konten yang dianggap melanggar UU ITE atau dihukum. Iklim diskusi dan debat pun terancam terganggu. Negara ini tampaknya telah menerapkan Orwellian State, sebuah istilah yang ada dalam buku besutan penulis Inggris, George Orwell, dimana masyarakat diawasi secara penuh untuk patuh oleh negara, baik di dunia nyata maupun dunia maya (digital).
Sungguh ironis, Indonesia yang mendeklarasikan dirinya sebagai negara demokratis, faktanya menghianati nilai demokrasi itu sendiri. Kebebasan berpendapat yang menjadi salah satu pilarnya, dipasung negara dengan dalih inkonstitusional. Kritik dari masyarakat terhadap penguasa, baik berupa kebijakan ataupun dari sisi pribadi dianggap sebagai sebuah ancaman dan kebencian. Nalar kritis masyarakat diberangus sedemikian rupa oleh demokrasi itu sendiri. Padahal memberangus kritik berarti melanggengkan kezaliman penguasa. Masyarakat dipaksa diam terhadap berbagai bentuk intervensi dan ketidakadilan yang terjadi di depan mata. Kekuasaan menjadi alat untuk menggebuk siapapun yang tak sejalan dengan kehendak penguasa.
Kelemahan demokrasi ini berasal dari akidah sekularisme (paham yang memisahkan antara agama dan kehidupan). Menafikan agama sebagai pengatur kehidupan. Sebaliknya dengan penuh jumawa mendaulat manusia sebagai pembuat aturan kehidupan. Wajar saja jika kemudian hukum atau aturan yang dibuat berubah-ubah, disesuaikan dengan kepentingan penguasa sebagai pembuat hukum. Jika ada pihak yang berseberangan dengan kehendak penguasa bersiaplah mendapatkan sanksi tegas tanpa ampun.
Muhasabah lil Hukkam Sebagai Penyeimbang dalam Khilafah
Islam merupakan agama sekaligus ideologi yang mengatur berbagai urusan kehidupan manusia, dari ranah pribadi hingga pemerintahan. Daulah Islam yang selanjutnya disebut Khilafah merupakan institusi yang dicontohkan Rasulullah Saw dalam menerapkan aturan Islam. Dalam Islam, penguasa memiliki kedudukan yang sangat penting karena diberikan wewenang yang sangat besar untuk mengurusi urusan umat. Tindak-tanduknya tidak hanya berimbas pada pribadi dan keluarganya saja, tetapi kepada masyarakat secara keseluruhan.
Tak seperti demokrasi, Islam menempatkan aktivitas muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa) dalam posisi yang mulia. Bahkan merupakan kewajiban. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zalim” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, an-Nasai, al-Hakam dll).
Islam sangat mendorong setiap muslim juga warga negara Khilafah untuk melakukan aktivitas muhasabah lil hukkam. Karena yang menjalankan aturan yang paripurna ini adalah manusia yang tidak sempurna. Maka ada peluang terjadinya penyimpangan. Sehingga butuh diluruskan, agar penguasa tidak keluar dari koridor syariat Islam. Masyarakat tidak boleh apatis terhadap kezaliman yang dilakukan oleh penguasa. Penguasa harus dikoreksi baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Semua itu dilakukan, walaupun nyawa yang menjadi taruhannya. Rasulullah saw pernah bersabda:
“Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib dan laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa zalim lalu ia memerintah penguasa itu (dengan kemakrufan) dan melarang (dari kemunkaran) kemudian penguasa itu membunuhnya” (HR. Al-Hakim dan ath-Thabarani).
Semua lapisan masyarakat diberikan ruang untuk mengoreksi penguasa. Baik individu maupun kelompok, bahkan difasilitasi dengan keberadaan Majelis Umat dan Mahkamah Mazalim. Inilah jaminan penyaluran aspirasi dan kritik masyarakat di negara Khilafah.
Majelis umat merupakan suatu lembaga yang anggotanya dipilih oleh rakyat, baik dari kalangan muslim atau nonmuslim, baik laki-laki maupun perempuan. Tugasnya adalah melakukan musyawarah dan mengoreksi penguasa. Fungsinya menjaga akuntabilitas pemerintahan di berbagai level dengan dua tugas tadi.
Mahkamah Mazalim adalah lembaga peradilan negara yang siap menampung aduan masyarakat terhadap kezaliman penguasa. Juga secara berkala mengawasi penguasa dan undang-undang yang diberlakukan, apakah masih sejalan dengan aturan Islam atau tidak.
Demikianlah betapa Islam sangat menghargai saran dan kritik dari masyarakat untuk para penguasa. Sebagai penyeimbang sekaligus membentuk iklim ideal antara rakyat dan penguasa. Gambaran indah dan harmonis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Semua itu hanya akan kita temukan dalam negara Khilafah yang telah terbukti selama 13 abad mampu menerapkan Islam kafah dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu ‘alam bi ash-showwab[]
Photo : Google Source
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]