Pekatnya Aroma Korporatokrasi di Balik Polemik Limbah Batu Bara

Islam dengan tegas melarang kita untuk merusak lingkungan, termasuk industri yang menghasilkan limbah berbahaya bagi kesehatan manusia dan ekosistem lingkungan.


Oleh: Nurjamilah, S.Pd.I.

NarasiPost.com - Pencemaran dan perusakan lingkungan di Indonesia begitu memprihatinkan. Dari tahun ke tahun semakin meluas dan meningkat secara signifikan. Pelakunya bukan sekadar individu yang membuang sampah sembarangan atau limbah rumah tangga. Akan tetapi, korporasi kelas kakap yang mengeruk barang tambang dan sumber daya lainnya yang abai terhadap limbah yang dihasilkannya. Padahal UU telah mengatur terhadap persoalan ini, sebelum adanya revisi yang menuai polemik di kalangan masyarakat khususnya para pakar lingkungan belakangan ini.

Baru-baru ini, pemerintah telah mengeluarkan limbah batu bara dari kategori limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Ketentuan tersebut diatur dalam PP Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. PP tersebut adalah aturan turunan dari UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020. PP 22/2021 ditandatangani presiden pada 22 Februari 2021 untuk menggantikan PP 101/2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Limbah yang dikeluarkan dari kategori limbah B3 itu adalah Fly Ash and Bottom Ash (FABA). Limbah ini merupakan limbah jenis padat yang dihasilkan dari pembakaran batu bara pada PLTU, boiler, dan tungku industri untuk bahan baku dan keperluan sektor konstruksi. (katadata.com, 12/03/2021)

Lembaga swadaya masyarakat, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) berpendapat bahwa bentuk pelonggaran regulasi pengelolaan abu batu bara ini memberikan ancaman bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup. Sebuah studi mengatakan bahwa FABA berbahaya bagi kesehatan karena beracun, yaitu merusak organ vital dalam tubuh manusia. (news.detik.com, 12/03/2021)

Guru Besar IPB, Hermanto Siregar menyoroti urgensi UU Ciptaker yang digadang-gadang akan meningkatkan Foreign Direct Investment (FDI). Menurutnya, hal ini tidak bisa dilakukan mengingat pandemi masih berlangsung. Penyebaran Covid-19 yang belum terkendali berarti uncertainty economic and bussines masih tinggi. Dengan semakin lambatnya penanganan pandemi ini, maka akan semakin lama investor asing masuk ke tanah air. (mediaindonesia.com, 15/10/2020)

Demi Investasi, Rakyat dan Alam Jadi Tumbal

Persoalan di negeri ini bagai tidak ada habisnya. Terlebih polemik batu bara, dari mulai penambangannya hingga limbah yang dihasilkannya. Pasalnya limbah batu bara yang secara nyata merusak lingkungan dan membahayakan masyarakat malah dikeluarkan dari kategori Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Bahkan yang dikeluarkan dari limbah B3 bukan hanya batu bara, tetapi juga limbah penyulingan kelapa sawit, limbah nikel, dan limbah besi baja. Ketika masih digolongkan pada B3 saja masih banyak pelanggaran, apalagi sekarang dibebaskan sama sekali. Miris.

Diduga kuat ada intervensi dari pengusaha batu bara yang ingin berlepas diri dari tanggungjawabnya dalam mengelola limbah itu. Mengingat pengelolaan limbah tersebut menelan biaya cukup besar. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, LBP menyatakan, ketika limbah FABA masuk pada kategori limbah B3, akan sulit dimanfaatkan di tengah biaya pengelolaan yang besar. Terlebih di masa pandemi ini. Hal tersebut diamini Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), menyambut antusias dengan aturan baru ini karena dapat meringankan beban para pelaku usaha dalam mengelola limbah. Itu berarti keuntungan yang diperoleh akan utuh, tidak ada pengurangan untuk anggaran kelola limbah. Parahnya mereka juga tidak perlu lagi memerhatikan Amdal yang bisa berdampak pada lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Bila kita perhatikan dalang dari persoalan ini adalah UU Omnibus Law Ciptaker. UU sapu jagat ini telah menurunkan banyak aturan yang merugikan rakyat. Berfokus pada upaya menarik investasi secara besar-besaran, khususnya investasi asing di negeri ini. Berbagai kemudahan disuguhkan, termasuk mereduksi lingkungan hidup dan upah buruh murah.


Para wakil rakyat di alam demokrasi ini telah melahirkan UU yang menjadi biang permasalahan. Tak berlebihan kiranya jika negeri ini diduga kuat telah mempraktikkan prinsip korporatokrasi, yaitu menjadikan pengusaha sebagai pemilik power material sebagai pengendali dan pembuat keputusan politik. Penguasa tak ubahnya sebagai pelindung dari kepentingan para korporasi.

Tidak digubrisnya pendapat pakar dan terbitnya berbagai macam peraturan yang kental dengan kepentingan korporasi, secara vulgar menampakkan bahwa aroma bisnis menjiwai berbagai kebijakan. Sejak awal memang ekonomi ini bertumpu pada tiga aspek yaitu: pajak, utang, dan investasi asing. Tak ayal negeri ini memang sudah dirasuki sistem kapitalisme. Konsekuensinya semua kepemilikan umum yang harusnya dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat akhirnya diserahkan secara besar-besaran kepada swasta asing. Negara hadir bukan untuk melindungi rakyat, tetapi mengamankan kepentingan korporasi, yang berjasa menaikkan mereka pada tampuk kekuasaan. Kemudian terjadilah politik transaksional dan politik balas budi. Pinjaman modal untuk membiayai kampanye dan segala tetek-bengeknya dibayar dengan berbagai kebijakan pro pengusaha. Jeritan rakyat tak dihiraukan. Mereka berdalih asing lebih profesional dan mampu membuka lapangan pekerjaan untuk rakyat, faktanya rakyat diperas tenaganya demi upah yang tak manusiawi. Bahkan alam pun turut direduksi. Limbah industri telah memporak-porandakan ekosistem lingkungan. Sungai tercemar, tumbuhan terkoyak, dan hewan ikut binasa dilumatnya. Bahkan amukan alam seperti banjir bandang, longsor, kekeringan, cuaca ekstrem, kebakaran hutan, abrasi dll disinyalir akibat dari emisi karbondioksida dunia. Adapun PLTU batu bara memberi sumbangsih terbesarnya sebanyak 46 persen. Sungguh, begitu besar daya rusaknya.

Khilafah sebagai Pengurus dan Pelindung Rakyat

Peradaban Islam telah menorehkan tinta emas dalam sejarah dunia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan kesejahteraan turut mewarnai kegemilangan hidup di bawah peradaban Islam. Kondisi ini ada pada saat Islam diterapkan secara totalitas sebagai aturan dalam kehidupan individu, masyarakat, dan negara di bawah naungan Khilafah. Inilah keberkahan yang dijanjikan ketika Islam kafah diberikan ruang dalam kehidupan.

Islam tidak alergi terhadap kemajuan teknologi khususnya industri. Khilafah merupakan sistem pemerintahan Islam yang menerapkan seluruh syariat Islam dengan cara yang manusiawi, menjamin keseimbangan ekonomi dan lingkungan hidup. Dalam hal industri, Khilafah ternyata memiliki spektrum yang luas. Donal R. Hill dalam bukunya, Islami Technology: an Illustrated History (UNESCO & The Press Sindycate of The University of Cambridge, 1986) memaparkan mengenai berbagai industri yang dikembangkan Khilafah sepanjang sejarah Islam, mulai dari industri mesin; persenjataan; bahan bangunan; perkapalan; pertambangan, pangan dll.


Industri dalam Khilafah bersifat mandiri, dikelola oleh negara sendiri tanpa campur tangan asing sehingga negara tidak bergantung pada asing.

Tak hanya itu, industri ada dalam rangka kemaslahatan umat, bukan demi kepentingan asing. Oleh karena itu apapun akan dilakukan demi mencegah kemudaratan bagi rakyat, termasuk urusan limbah.


Fungsi negara adalah sebagai pengurus sekaligus pelindung rakyatnya. Mengurus berbagai hal yang menjadi kebutuhan rakyatnya sehingga tercapai kesejahteraan. Melindungi rakyatnya dari berbagai kemudaratan dan bahaya, menjaga keselamatan dan kesehatan rakyat, juga lingkungannya.


Bahkan Islam dengan tegas melarang kita untuk merusak lingkungan, termasuk industri yang menghasilkan limbah berbahaya bagi kesehatan manusia dan ekosistem lingkungan.

Allah Swt berfirman: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya Rahmat Allah amat dekat pada orang-orang yang berbuat baik.” (TQS. Al-A’raf: 56)

Betapa indahnya hidup di bawah naungan Khilafah. Berbeda jauh dengan kehidupan saat ini yang berasaskan demokrasi kapitalisme. Rakyat dan alam selalu jadi tumbal atas ambisi pemuja kekuasaan.


Sudah saatnya kita akhiri penderitaan rakyat dengan tegaknya Khilafah. Mari berjuang melawan kezaliman dan raih kemenangan. Kembalilah pada fitrah suci kita, cegah kerusakan lingkungan yang semakin meluas dari keserakahan manusia lalim.
Wallahua'lam bi ash-showwab

Picture Source by Google


Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Wanita Dambaan Pria Beriman
Next
Musyrifahku Bagiku
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle

You cannot copy content of this page

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram