Retorika-retorika penguasa memang kerap menimbulkan kebingungan di tengah-tengah masyarakat. Seruan mencintai produk dalam negeri dan benci produk luar negeri hanya menjadi isapan jempol jika tidak disertai dengan kebijakan yang pro rakyat, yakni kebijakan politik ekonomi yang kuat yang mampu melindungi dan mengunggulkan produk dalam negeri.
Oleh: Eni Imami, S.Si
(Pendidik, Pegiat Literasi Pena Cendekia)
NarasiPost.Com-Seruan cinta produk dalam negeri dan benci produk luar negeri digaungkan Presiden Jokowi saat membuka rapat kerja nasional Kementerian Perdagangan 2021 di Istana Negara pada Kamis (4/3/2021). Hal ini dilakukan agar masyarakat Indonesia menjadi konsumen yang paling loyal pada hasil karya anak negeri. Jokowi meyakini produk dalam negeri akan menjadi pasar yang besar apabila terus didorong dengan baik. (Liputan6.com, 4/3/2021)
Jokowi juga meminta Kementerian Perdagangan membuat kebijakan dan strategi yang tepat untuk mengembangkan pasar produk nasional. Seperti, memberikan ruang yang strategis di pusat perbelanjaan ataupun mal untuk brand-brand lokal, produk-produk usaha kecil, mikro, dan menengah (UMKM). Sedangkan brand atau produk luar negeri digeser ke tempat yang tidak strategis. Dengan demikian, produk dalam negeri akan mudah dikenali dan dicintai masyarakat Indonesia.
Banyak kalangan tokoh yang menilai pernyataan tersebut blunder. Dilansir dari cnnindonesia.com (5/3/2021), Direktur Eksekutif Parameter Politik Adi Prayitno menilai pernyataan Jokowi tersebut adalah wujud kegalauan pemerintah, sekaligus menunjukkan sikap paradoks. Pasalnya, seruan benci produk luar negeri disampaikan saat pemerintah terus membuka keran impor sejumlah komoditas yang sebebarnya bisa diproduksi sendiri. Seperti, beras, gula, garam, hingga cangkul dan cobek.
Meski pada nantinya brand lokal atau produk dalam negeri diberikan tempat yang strategis di pusat perbelanjaan atau mal apakah mampu menjadi solusi? Terlebih saat ini e-commerce lebih diminati daripada belanja secara konvensional. Produk impor sudah meraksasa di markerplace dengan tawaran yang beragam dan harga lebih murah.
Retorika-retorika penguasa memang kerap menimbulkan kebingungan di tengah-tengah masyarakat. Seruan mencintai produk dalam negeri dan benci produk luar negeri hanya menjadi isapan jempol jika tidak disertai dengan kebijakan yang pro rakyat, yakni kebijakan politik ekonomi yang kuat yang mampu melindungi dan mengunggulkan produk dalam negeri.
Cinta produk dalam negeri akan susah terwujud jika produk impor terus membanjiri pasar-pasar dalam negeri. Hal ini adalah konsekuensi dari pasar bebas dan perdagangan bebas akibat penerapan sistem ekonomi liberal. Para pengusaha besar bebas menembus pasar dunia demi menggaet konsumen sebanyak-banyaknya. Sedangkan pemerintah hanya berperan sebagai regulator untuk kepentingan bisnis mereka. Karena sudah terikat dengan perjanjian-perjanjian ekonomi dunia, seperti World Trade Organization (WTO).
Seruan cinta produk dalam negeri terkesan basa-basi jika negara tak berlepas diri dari ketergantungan impor produk luar negeri. Untuk itu dibutuhkan kejelasan visi negara sebagai pelayan rakyat bukan pebisnis. Butuh perombakan sistem ekonomi yang sistemik. Lepas dari sistem ekonomi liberal-kapitalistik dan berganti dengan sistem ekonomi Islam. Kenapa harus demikian?
Sejatinya sistem ekonomi Islam diterapkan untuk memenuhi kebutuhan warga negara. Bukan berorientasi untung dan rugi dengan menghalalkan segala cara. Pengaturan makro dan mikro ekonomi mengacu kepada syariat Islam. Adapun kegiatan impor dan ekspor juga diatur sedemikian rupa. Sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi produk dalam negeri dan ketergantungan pada produk luar negeri.
Dalam buku Politik Ekonomi Islam yang ditulis oleh Abdurrahman al-Maliki dijelaskan bahwa perdagangan terkait dengan hukum-hukum jual beli, yakni tentang kepemilikan harta bukan hukum tentang harta. Jadi, hukum komoditas atau produk bergantung pada pedagangnya bukan semata-mata produknya. Dalam sistem Islam, warga negara boleh melakukan perdagangan baik dalam maupun luar negeri. Pun masyarakat sah-sah saja menyukai produk dalam maupun luar negeri. Asal produk tersebut halal dan tidak membahayakan negara. Namun, yang harus dipahami bahwa negara Islam hanya melakukan impor dari luar negeri yang terikat perjanjian yang disebut dengan negara kafir muahid. Sedangkan produk-produk luar negeri dari negara yang tidak terikat perjanjian, apalagi memusuhi negara Islam yakni negara kafir harbi fi'lan tidak diizinkan masuk negara Islam.
Dengan demikian, sistem Islam sangat selektif dalam menjalin perdagangan luar negeri. Sehingga tidak gampang melakukan impor. Alhasil, produk lokal terus dikembangkan dan rakyat dapat menikmatinya dengan kualitas prima. Maka tak heran di masa sistem Islam berjaya banyak penemuan-penemuan yang bermanfaat dan diproduksi massal untuk kemaslahatan rakyat. Allahu 'alam bis showab.[]
Photo : google Source
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]