Mengenai ekspor impor, Islam akan memperhatikan kebutuhan pangan negara. Ekspor dilakukan bila pasokan pangan negara terpenuhi dan mengalami surplus, sedangkan impor berkaitan dengan kegiatan perdagangan luar negeri. Perdagangan luar negeri ini, tidak dilihat dari aspek komoditi barang yang diperdagangkan, tetapi dilihat dari pelaku bisnisnya.
Oleh: Falda Syaheeda
NarasiPost.com - Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Begitulah sepenggal lirik lagu “Kolam susu” yang dipopulerkan Koes plus pada setengah abad yang lalu. Indonesia merupakan negara agraris dengan tanah yang sangat luas dan subur, seyogyanya mampu untuk swasembada pangan. Sebagaimana awal April nanti, para petani akan merayakan panen raya. Menurut Deni Nurhadiansyah, salah satu petani di Subang, Jawa Barat mengatakan tanaman padi saat ini tampak mulai menguning dan gemuk, bahkan tidak ada hama penyakit sehingga kualitas sangat bagus dan sehat, rata-rata panen di atas 7 ton (padi per hektar). Tetapi, panen raya saat ini petani lalui dengan rasa was-was dan cemas, karena harga gabah kering terus anjlok disebabkan pemerintah mewacanakan akan impor beras sebanyak 1,5 juta ton. (bbc.com, 10/3/2021)
Dalih “Terpaksa” Impor Beras
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengemukakan bahwa impor beras dilakukan untuk menjaga stok beras, dengan dalih karena pemerintah perlu melakukan pengadaan beras besar-besaran untuk pasokan beras bansos (bantuan sosial) selama masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Kemudian faktor cuaca buruk, yaitu adanya banjir di beberapa daerah yang mengancam ketersediaan pasokan beras.
Sementara itu, Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi mengatakan, impor beras akan digunakan untuk menambah cadangan (iron stock) bagi Bulog agar dapat memastikan beras selalu ada tanpa dipengaruhi oleh panen atau apapun.(money.kompas.com, 6/3/2021).
Pernyataan Mendag tidak senada dengan Bulog. Dirut Bulog, Budi Waseso mengaku kewalahan untuk menyalurkan beras yang kini disimpan di gudang jika pemerintah mengimpor beras 1 juta ton lagi, sedangkan jumlah sisa hasil impor beras tahun 2018 sempat mencapai 900.000 ton masih tersimpan di gudang Bulog. (pikiran-rakyat.com, 16/3/2021).
Pelemahan Ketahanan Pangan
Anggota Komisi IV DPR RI, Hermanto tidak sepakat dengan rencana pemerintah yang akan impor 1 juta ton beras kali ini. Menurutnya, Impor beras ini akan mengganggu kedaulatan pangan Indonesia dan merugikan petani. Agar hasil panen raya bisa terserap semua untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan para petani, maka anggaran untuk impor beras itu semestinya dialokasikan untuk membeli beras yang akan segera panen pada area food estate. (tribunnews.com, 14/3/2021)
Indonesia tidak bisa lepas dari bayang-bayang impor
Di masa Jokowi, kebijakan impor menjadi satu-satunya kebijakan andalan ketika negara mengalami kekosongan stok barang. Hal ini dikarenakan sikap pemerintah yang lemah terhadap komoditas pangan asing yang masuk ke pasar domestik telah memosisikan Indonesia sebagai net-importer, termasuk komoditas beras. Menurut Surya Hasibuan (2015), hal ini terjadi sejak Indonesia masuk dalam Agreement on Agriculture (AoA) World Trade Organization (WTO) pada 1995 yang mengharuskannya mengikuti protokol pasar bebas. Sehingga sektor pertanian berada dalam cengkeraman rezim multilateral melalui kesepakatan liberalisasi pertanian.
Kesepakatan yang termaktub dalam AoA tersebut, memberikan dampak negatif kepada kelangsungan hidup para petani di negara-negara berkembang, khususnya yang tidak mampu bersaing secara langsung dengan produk impor tanpa perlindungan dan bantuan dari pemerintah. Ketentuannya bersifat “tricky” (memperdaya) yang lebih menguntungkan negara maju, sebaliknya mengancam kebijakan sektor pangan negara berkembang, termasuk Indonesia.
Alhasil, produk impor semakin mendominasi pertanian Indonesia dan menguntungkan para importir berdasarkan mekanisme pasar. Bahkan, kemudahan melakukan impor diperkuat dengan lahirnya Perpres No.58 Tahun 2020 yang mengatur penataan dan penyederhanaan izin impor untuk kebutuhan pangan pokok, cadangan pangan pemerintah, serta bahan baku, baik untuk pencegahan atau penanganan bencana, maupun guna pemenuhan kebutuhan lainnya yang ditetapkan pemerintah. (katadata.co.id, 23/4/2020)
Syariat Islam, Solusi masalah impor pangan dan menjamin kedaulatan pangan
Islam mempunyai konsepsi yang sangat gamblang tentang pengelolaan pangan, yaitu visi mewujudkan kemandirian pangan dan menjamin tersedianya pasokan pangan. Islam menganggap bahwa pangan adalah salah satu kebutuhan dasar rakyat yang harus dipenuhi negara. Sehingga negara akan melakukan beragam upaya untuk merealisasikannya. Seperti peningkatan produktivitas lahan dan produksi pertanian melalui ekstensifikasi pertanian, yaitu dengan menghidupkan tanah-tanah mati.
Dalam Islam, tanah mati yaitu tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh satu orangpun. Menghidupkan tanah mati (ihya’ al-mawat) artinya mengelola tanah untuk siap ditanami atau mengolah tanah untuk mendirikan bangunan di atasnya. Setiap tanah mati, apabila telah dihidupkan oleh seseorang, maka menjadi miliknya.
Rasulullah Saw bersabda, “Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu miliknya.” (H.R. Bukhari dari Umar bin Khaththab ra). Dalam Hadits lain, Nabi Saw bersabda, “Siapa saja yang telah mengelola sebidang tanah, yang bukan menjadi hak orang lain, maka dialah yang lebih berhak atas tanah itu” (H.R. Bukhari dari Aisyah Ra). Bila terdapat tanah yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun, maka hak kepemilikan tanah akan hilang dan diambil alih oleh negara untuk mendistribusikannya kepada yang mampu mengelolanya. Sehingga tidak ada lahan kosong yang dibiarkan tanpa ada pemanfaatannya untuk kemaslahatan rakyat. Sedangkan di Indonesia, 30 juta hektar lahan potensial menganggur.
Islam juga mendorong kebijakan intensifikasi pertanian, yaitu optimalisasi lahan pertanian dengan meningkatkan hasil pertanian. Yaitu dengan cara peningkatan kualitas benih, pendayagunaan teknologi, hingga membekali para petani dengan ilmu pertanian yang mumpuni. Semua itu akan mendapat dukungan dan fasilitas dari negara.
Islam juga akan menetapkan mekanisme pasar yang sehat dalam menjamin pasokan pangan. Negara tegas melarang penimbunan, penipuan, praktik ribawi, dan monopoli. Kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand, bukan dengan kebijakan pematokan harga, sebagaimana yang diterapkan dalam kapitalisme.
Mengenai ekspor impor, Islam akan memperhatikan kebutuhan pangan negara. Ekspor dilakukan bila pasokan pangan negara terpenuhi dan mengalami surplus, sedangkan impor berkaitan dengan kegiatan perdagangan luar negeri. Perdagangan luar negeri ini, tidak dilihat dari aspek komoditi barang yang diperdagangkan, tetapi dilihat dari pelaku bisnisnya. Seorang kafir harbi tidak diperbolehkan masuk dan melakukan perdagangan dengan negara Islam, kecuali dengan paspor yaitu izin masuk khusus, baik yang terkait dengan diri maupun harta mereka. Kecuali harbi fi’lan, tidak boleh sama sekali ada hubungan perdagangan dengan mereka sama sekali. Seperti Israel, AS, Inggris, Rusia, dan lainnya.
Sedangkan seorang kafir mu’âhid, maka boleh dan tidaknya mereka melakukan perdagangan di negara Islam diperlakukan sesuai dengan naskah perjanjian yang disepakati antara Khilafah dengan negaranya. Sementara itu, bagi seorang warga negara Khilafah, baik Muslim maupun non-Muslim (ahli dzimmah), bebas melakukan perdagangan, baik domestik maupun luar negeri. Akan tetapi, mereka dilarang mengekspor komoditas strategis yang dibutuhkan di dalam negeri, sehingga bisa melemahkan kekuatan negara Khilafah dan menguatkan musuh. Sebab, hal tersebut dianggap sebagai tindakan tolong menolong dalam perkara dosa, sebagaimana yang diharamkan dalam Syariat Islam.
Demikianlah, Islam memberikan seperangkat sistem yang paripurna dan komprehensif sebagai solusi dalam mengatasi masalah pangan. Berbeda jauh dengan kapitalisme yang hanya berorientasi pada profit oriented. Kemandirian pangan bukanlah hal utopi untuk diwujudkan di dalam sistem Khilafah.
Picture Source by Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]