Karpet merah investasi seolah sengaja digelar untuk memuluskan jalan para investor dalam menanam investasinya di Indonesia. Tidak mudah bagi Indonesia untuk menjadi negara berdaulat selama berada dalam cengkeraman neoliberalisme dan neoimperialisme. Akibatnya, Indonesia tertatih-tatih meraih kedaulatan, khususnya pada aspek politik dan ekonomi.
Oleh. Miladiah Al-Qibthiyah
(Pegiat Literasi dan Media)
NarasiPost.Com-Sungguh berada di luar nalar manusia. Negeri yang berenang di atas minyak, bergelimang emas dan batu bara, bertahtakan hasil hutan dan laut yang megah, rupanya menduduki peringkat ketujuh negara pengutang terbesar di dunia. Bank Indonesia melaporkan, posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir Januari 2021 tercatat sebesar USD 420,7 miliar atau setara dengan Rp 6.065 triliun (kurs 14.419 per Dolar AS).
Konsekuensi utang luar negeri sama saja mempersilakan hegemoni para kapitalis semakin kuat mencengkram negeri pengutang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di balik utang luar negeri, terdapat sejumlah konsekuensi yang harus diambil. Perkembangan utang luar negeri juga didorong oleh aliran masuk modal asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik yang meningkat, didukung oleh kepercayaan investor asing yang terjaga terhadap prospek perekonomian domestik.
Karpet merah investasi seolah sengaja digelar untuk memuluskan jalan para investor dalam menanam investasinya di Indonesia. Tidak mudah bagi Indonesia untuk menjadi negara berdaulat selama berada dalam cengkeraman neoliberalisme dan neoimperialisme. Akibatnya, Indonesia tertatih-tatih meraih kedaulatan, khususnya pada aspek politik dan ekonomi.
Indonesia memiliki peluang yang sangat kecil bahkan tidak berani untuk melepaskan diri dari cengkeraman asing. Hal ini disebabkan oleh posisi Indoenesia betah menjadi negara pembebek. Agaknya sulit beranjak dari posisi itu jika tetap menjadikan kapitalisme sebagai kiblat dalam urusan kenegaraan, politik, ekonomi, dan lain sebagainya.
Melihat utang Indonesia mencapai 6000 triliun, menyebabkan sistem pelunasan utang membutuhkan rentang waktu yang cukup lama. Lebih parahnya lagi, negara kapitalisme akan secara otomatis menambah beban bunga yang sangat besar yang harus ditanggung tatkala utang jatuh tempo. Dan tentu saja semua itu akan menjadi tanggungan rakyat dan generasi di masa mendatang melalui pembayaran pajak yang tinggi. Begitulah akal bulus kapitalisme-sekuler, akan senantiasa memaksa menarik pajak di semua sektor kehidupan.
Bahaya Utang Luar Negeri
Angka 6000 triliun tentu saja adalah angka yang sangat besar dan tentu saja sangat ironis. Bagaimana tidak? Negeri dengan SDA melimpah ruah, justru menjadi negara pengutang. Sampai saat inipun negara sepertinya tidak keberatan dengan angka tersebut. Pemerintah, dalam hal ini, Sri Mulyani, selaku Menkeu justru berdalih semua negara di seluruh dunia pasti pernah berutang, termasuk negara-negara Islam seperti Pakistan hingga Arab Saudi.
Padahal, ada 5 bahaya besar bagi negara yang mendapat kucuran utang. Seperti yang dikutip dari kitab “Politik Ekonomi Islam“ oleh Abdurrahman Al Maliki, mengungkap 5 bahaya besar bagi negara yang mendapat kucuran utang :
Pertama, sesungguhnya utang luar negeri untuk pendanaan proyek-proyek milik negara adalah hal yang berbahaya terutama terhadap eksistensi negara itu sendiri. Akibat lebih jauh adalah membuat masyarakat negara tersebut makin menderita karena ini adalah jalan untuk menjajah suatu negara. Sejarah negara-negara Barat sebelum Perang Dunia I menempuh cara dengan memberikan uang sebagai utang, kemudian dengan utang tersebutlah mereka melakukan intervensi dan kemudian menduduki suatu negara.
Kedua, sebelum utang diberikan, negara-negara donor harus mengetahui kapasitas dan kapabilitas sebuah negara yang berutang dengan cara mengirimkan pakar-pakar ekonominya untuk memata-matai rahasia kekuatan/kelemahan ekonomi negara tersebut dengan dalih bantuan konsultan teknis atau konsultan ekonomi. Ini jelas berbahaya, karena rahasia kekuatan dan kelemahan ekonomi akan menjadi terkuak dan sekaligus dapat dijadikan sebagai dasar penyusunan berbagai persyaratan pemberian pinjaman yang sangat mencekik leher rakyat, seperti pemotongan subsidi bahan pangan, pupuk, BBM, dll.
Ketiga, pemberian utang adalah sebuah proses agar negara peminjam tetap miskin, senantiasa bergantung dan terjerat utang yang makin bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu.
Keempat, utang luar negeri yang diberikan pada dasarnya merupakan senjata politik negara-negara kapitalis kafir Barat kepada negara-negara lain, yang kebanyakan adalah negeri-negeri muslim, untuk memaksakan kebijakan politik, ekonomi, terhadap kaum muslimin. Tujuan mereka memberi utang bukanlah untuk membantu negara lain, melainkan untuk kemaslahatan, keuntungan, dan eksistensi mereka sendiri. Mereka menjadikan negara-negara pengutang sebagai alat sekaligus ajang untuk mencapai kepentingan mereka.
Kelima, utang luar negeri sebenarnya sangat melemahkan dan membahayakan sektor keuangan (moneter) negara pengutang. Utang jangka pendek, berbahaya karena akan dapat memukul mata uang domestik dan akhirnya akan dapat memicu kekacauan ekonomi dan keresahan sosial. Sebab bila utang jangka pendek ini jatuh tempo, dengan pembayarannya menggunakan mata uang dolar yang merupakan hard currency. Maka dari itu, negara pengutang akan kesulitan untuk melunasi utangnya dengan dolar AS karena mengharuskan penyediaaan mata uang negara yang mengutangi tersebut, (untuk pembayaran utang swasta, ini akan berdampak pada keterpaksaan pembelian dolar, dimana dolar akan dibeli dengan harga yang sangat tinggi terhadap mata uang lokal, sehingga akhirnya akan membawa kemerosotan nilai mata uang lokal). Untuk utang jangka panjang, juga berbahaya karena makin lama jumlahnya semakin mencengkram, yang akhirnya akan dapat melemahkan anggaran belanja negara dan membuatnya makin kesulitan dan terpuruk atas utang-utangnya. Di situlah negara-negara donor akaan semakin memaksakan kehendak dan kebijakannya yang sangat merugikan negara pengutang.
Khilafah Jelas Tidak Akan Mengambil Utang
Sistem Khilafah yang menerapkan hukum-hukum syariat dalam semua aspek kehidupan termasuk dalam sumber pendanaan negara tentu tidak akan mengambil utang luar negeri sebagai sumber pendapatan negara. Sebab, utang yang di dalamnya mengandung unsur riba, selain haram untuk dilakukan, juga pasti akan mengancam kedaulatan negara.
Sistem keuangan dalam negara Khilafah memiliki sumber pendapatan yang kokoh, yakni Baitul Mal. Dalam Baitul Mal terdapat 3 pos pemasukan :
Pertama, kepemilikan umum. Yakni harta dimana kaum muslim berserikat atasnya, tidak boleh dikuasai perorangan. Harta kepemilikan umum tersebut wajib dikelola oleh negara secara mutlak. Seluruh hasilnya diberikan untuk kemaslahatan umat.
Harta kepemilikan umum dibagi menjadi 3 jenis :
1) Fasilitas dan sarana umum, seperti kereta api, instalasi air dan listrik, infrastruktur, jalan umum dan sebagainya. Negara wajib menjamin keberadaannya sehingga masyarakat dapat menikmati dengan murah bahkan gratis.
2) Sumber daya alam yang tabiat pembentukannya menghalangi dimiliki oleh individu perorangan, seperti air, padang rumput, api, jalan umum, laut, samudra, sungai besar. Kekayaan ini dapat dimanfaatkan secara langsung oleh rakyat. Namun, negara tetap mengawasi pemanfaatan milik umum ini agar tidak menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat.
3) Barang tambang yang depositnya tidak terbatas, juga mencakup kepemilikan semua jenis tambang. Baik yang tampak di permukaan bumi seperti garam, batu mulia, maupun tambang yang berada di dalam perut bumi, seperti emas, perak, besi, tembaga, minyak, timah, dan sejenisnya. Harta jenis ini tidak dapat dengan mudah dimanfaatkan secara langsung oleh individu masyarakat karena membutuhkan keahlian, teknologi tinggi serta biaya yang besar. Oleh karena itu, keberadaan negara wajib menggalinya, menjualnya, dan menyimpan hasilnya di baitul mal yang akan masuk dalam pos kepemilikan umum.
Dana hasil dari pengelolaan kekayaan alam ini dapat digunakan untuk menyubsidi kebutuhan dasar rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, sehingga rakyat mendapatkan kebutuhan ini dengan mudah bahkan gratis. Selain itu, digunakan juga untuk membiayai infrastruktur layanan publik seperti jalan raya, sekolah, kampus, rumah sakit, mesjid dsb. Bahkan, mampu membiayai kebutuhan ketika mendapat bencana seperti pandemi hari ini.
Kedua, kepemilikan negara. Yakni berasal dari harta ghanimah, anfal, fai', khumus, jizyah, usyur, dsb. Dana ini dapat digunakan untuk menggaji tentara, pegawai negara, hakim, guru dan semua pihak yang memberikan khidmat kepada negara untuk mengurus kemaslahatan kaum muslim.
Ketiga, pos zakat. Yakni berasal dari harta zakat, baik zakat fitrah, zakat mal, shadaqah, wakaf kaum muslim. Dana zakat hanya dikeluarkan untuk 8 asnaf. Dari pengelolaan dana zakat dalam negara khilafah sangat mampu mengentaskan kemiskinan.
Seperti inilah gambaran sumber dana negara Khilafah yang mandiri dan independen, sehingga, mampu mengurus kebutuhan rakyat tanpa ada intervensi dari asing maupun aseng.
Indonesia sebagai sebuah negeri yang dikaruniai berbagai sumber daya alam dalam jumlah potensi yang sebagian besarnya masuk dalam peringkat sepuluh besar di dunia, semestinya bisa menjadi negeri yang makmur dan sejahtera. Terlebih lagi dengan jumlah populasi penduduk yang sangat besar, jika dikelola dengan baik semestinya juga bisa menjadi faktor penggerak perekonomian yang potensial, hingga mengantarkan pada kemajuan yang melesat menuju kesejateraan dengan penerapan syariah kafah.
Wallaahu a'lam bi ash-shawwab[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]