Food Estate di Bawah Dominasi Korporasi?

Tidak semua produk pangan di masa subur akan dihabiskan untuk konsumsi, tetapi ada yang disimpan untuk cadangan bersiap-siaga menghadapi masa sulit yang kadang tak terduga. Untuk itu perlu dikembangkan teknik bertanam bahan pangan dari hulu hingga hilir pasca panen, teknik pengawetan pangan, sistem distribusi pangan, dan standar bangunan penyimpanan pangan.


Oleh. Ummu Naira Asfa (Forum Muslimah Indonesia/ ForMind)

NarasiPost.com - Kementerian Pertahanan (Kemenhan) menargetkan pembangunan area lahan kawasan perkebunan singkong pada 2021 mencapai 30 ribu hektare. Upaya tersebut merupakan bagian dari program Kemenhan dalam mewujudkan cadangan logistik strategis nasional (republika.co.id, 14/3/2021).

Komoditi singkong ini adalah bagian dari program Food Estate yang berada di Desa Tewaibaru, Kecamatan Sepang, Kabupaten Gunung Mas. Dengan didampingi oleh Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng), H.Sugianto Sabran, Menteri Pertahanan Republik Indonesia (Menhan RI), Prabowo Subianto melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Gunung Mas.
Bagaimana pengalaman program Food Estate di Indonesia selama ini? Apakah program ini adalah solusi tuntas dalam menghadapi ancaman krisis pangan global?

Apa itu Food Estate?


Food Estate adalah program pengembangan pangan yang melibatkan sektor pertanian, perkebunan dan peternakan di sebuah kawasan tertentu. Rencananya Food Estate ini akan menjadi salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Dalam arahan Presiden Jokowi pada rapat terbatas Food Estate 23 September 2020, ada 3 tujuan Food Estate yang disampaikan yaitu (1) mengantisipasi krisis pangan akibat pandemi COVID-19, (2) mengantisipasi perubahan iklim, (3) mengurangi ketergantungan impor.

Sampai saat ini terdapat tiga kawasan pengembangan Food Estate, yaitu di Provinsi Kalimantan Tengah (Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau), Sumatera Utara (Kabupaten Humbang Hasundutan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara dan Pakpak Barat) dan NTT. Tak hanya itu, rencananya akan ada pengembangan di provinsi lain seperti di Papua dan Sumatera Selatan.


Program pengembangan pangan semacam ini pernah dilakukan oleh pemerintah seperti program cetak sawah 1 juta hektare lahan gambut Kalimantan Tengah pada tahun 1995, Food Estate Ketapang tahun 2013, Food Estate Bulungan tahun 2012, dan program Food Estate yang bertajuk Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) tahun 2010 di Papua. Sayangnya semua program tersebut akhirnya berujung pada kegagalan.

Alasan pembangunan Food Estate untuk mengantisipasi krisis pangan memang cukup beralasan. Hal ini mengingat bahwa kondisi atau status ketahanan pangan di Indonesia pada lima tahun terakhir ini kurang begitu bagus jika dibandingkan dengan negara lain. Posisi Indonesia dalam Indeks Ketahanan Pangan Global 2020 (Global Food Security Index 2020) turun dari posisi 62 ke posisi 65, dari total 113 negara. Tidak hanya posisi dalam indeks, posisi Indonesia dalam beberapa indikator juga tidak terlalu bagus. Indonesia berada di posisi ke-55 pada indikator keterjangkauan, posisi ke-34 pada kategori ketersediaan serta posisi ke-89 pada kategori kualitas dan keamanan.


Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan, berdasarkan definisi Food and Agriculture (FAO) terdapat empat pilar dalam ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, akses atau keterjangkauan, baik secara fisik dan ekonomi, utilisasi atau keragaman (gizi, nutrisi dan keragaman) dan stabilitas atau keberlangsungan. Posisi Indonesia dalam Global Food Security Index mengindikasikan belum terpenuhinya salah satu atau beberapa pilar dalam ketahanan pangan. (ekonomi.bisnis.com, 13/3/2021)

Selanjutnya berkaitan dengan indeks kelaparan global 2020, ternyata Indonesia memeroleh skor yang juga cukup tinggi yaitu 19,1 (semakin tinggi skor semakin jelek) jauh di bawah Thailand dengan skor 10,2; Malaysia skor 13,3 dan Vietnam dengan skor 13,6 (lokadata.id, 26/11/2020).


Merujuk pada data indeks ketahanan pangan tersebut, apakah pembangunan Food Estate tersebut benar-benar untuk meningkatkan ketahanan pangan dan kelestarian/keberlanjutan pangan di Indonesia?

Dominasi Korporasi dalam Program Food Estate

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengkritisi kebijakan baru yang dikeluarkan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait akses yang diberikan untuk pembangunan Food Estate di kawasan hutan lindung.


Konsekuensi logis dari penerbitan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate, menurut Walhi, adalah naiknya laju penebangan hutan alam, selain akan memperkuat dominasi korporasi terhadap kawasan hutan Indonesia.

Saat ini sekitar 33,45 juta hektare (ha) atau 26,57 persen kawasan hutan telah dikapling untuk kepentingan bisnis korporasi. Dalam waktu 20 tahun belakangan, tercatat lebih dari 26 juta ha kawasan hutan dilepaskan untuk kepentingan bisnis. (antaranews.com, 15/11/2020)

Menurut Direktur Walhi, Nur Hidayati, Food Estate ini merupakan konsep pertanian tanpa “petani” (Walhi or id. 15 November 2021). Hal senada juga dikatakan oleh Menteri PUPR yang menyatakan bahwa program Food Estate ini akan dilaksanakan dengan skema investasi dengan melibatkan Kementerian BUMN, Kementerian Pertanian, Kementerian LHK dan Kementerian teknis lainnya. Sifat dasar Food Estate ini adalah skala usahanya yang besar dengan mengandalkan korporasi dan swasta asing.

Dalam paparannya, Kementerian Pertahanan telah menanam singkong di Kabupaten Gunung Mas, Kalteng seluas 700 ha di hutan alam di kawasan hutan produksi. Di tengah pandemi COVID-19 ini pemerintah menggunakan isu krisis pangan sebagai satu alasan untuk mempercepat proyek Food Estate. Bukannya belajar dari kegagalan program serupa di masa lalu, pemerintah justru mengulangi program yang sama di lahan yang juga sama yaitu lahan eks- Proyek Lahan Gambut Kalteng. Program Food Estate Jokowi ini dinilai oleh berbagai kalangan sebagai program yang tidak transparan, minim kajian ilmiah dan rendah partisipasi masyarakatnya.


Dalam arahan presiden RI pada Ratas Food Estate 23 September 2020, setidaknya ada 3 tujuan Food Estate yang disampaikan. (1) mengantisipasi krisis pangan akibat pandemi COVID-19, (2) mengantisipasi perubahan iklim, (3) mengurangi ketergantungan impor.
Menyikapi ketiga poin tersebut, Walhi juga menyatakan bahwa ketiga alasan diatas menjadi tidak berdasar melihat fakta saat ini, (1) alasan COVID-19 justru harusnya dijawab dengan desentralisasi produksi pangan, serta memberikan dukungan langsung pada petani, baik pada faktor produksi maupun ketersediaan lahan, mengingat ketimpangan kepemilikan lahan masih tinggi. (2) Argumentasi perubahan iklim menjadi tidak berdasar, merujuk catatan IPCC dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) pemerintah Indonesia salah satu faktor penyumbang emisi terbesar berasal dari sektor AFOLU (agriculture, Forestry, Other Land Use/Pertanian, Kehutanan, dan alih fungsi lahan lainnya). (3) argumentasi ketergantungan impor, justru menunjukkan ketidakkonsistenan saat Omnibus Law disetujui justru melonggarkan hal ini, pada sisi lain proyek pangan skala luas belum pernah terbukti berhasil. (walhi.or.id, 17/02/2021)

Strategi Ketahanan Pangan dalam Islam

Ketahanan pangan dalam suatu negara idealnya akan menjadikan negara tersebut mandiri dan berdaulat, tidak bergantung kepada negara lain. Dalam Al- Quran Surat Yusuf ayat 43, dikisahkan bagaimana Nabi Yusuf as membangun ketahanan pangan. Allah Swt berfirman : َ”Dan raja berkata (kepada para pemuka kaumnya), "Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus; tujuh tangkai (gandum) yang hijau dan (tujuh tangkai) lainnya yang kering. Wahai orang yang terkemuka! Terangkanlah kepadaku tentang takwil mimpiku itu jika kamu dapat menakwilkan mimpi."


Nabi Yusuf berhasil menerjemahkan mimpi raja Mesir tentang 7 sapi kurus memakan 7 sapi gemuk, dengan tafsiran siklus ekonomi 7 tahunan negeri Mesir saat itu, yaitu akan terjadi 7 tahun masa panen yang subur dan disusul 7 tahun masa kering paceklik dan kemudian subur kembali.

Dari cerita Nabi Yusuf tersebut dapat kita ambil pelajaran bahwa tidak semua produk pangan di masa subur akan dihabiskan untuk konsumsi, tetapi ada yang disimpan untuk cadangan bersiap-siaga menghadapi masa sulit yang kadang tak terduga. Untuk itu perlu dikembangkan teknik bertanam bahan pangan dari hulu hingga hilir pasca panen, teknik pengawetan pangan, sistem distribusi pangan, dan standar bangunan penyimpanan pangan. Selain itu semua, yang tak kalah penting adalah pengaturan gaya hidup dan konsumsi masyarakat jangan sampai bergaya hidup konsumtif, boros, dan hedonis yang merupakan bagian dari gaya hidup kapitalisme. Semua itu harus terintegrasi dalam sistem ketahanan pangan negara yang mandiri dan berdaulat, tidak dikuasai oleh pihak swasta bahkan pihak asing di luar kekuasaan negara. Hanya sistem Islam kafah yang memiliki segala hal yang dibutuhkan untuk mewujudkan sistem yang tahan banting ini, mulai dari hulu hingga ke hilir. Wallahu a’lam bish-shawwab.[]

Picture Source by Google


Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Previous
Bahaya Utang Bagi Kedaulatan Indonesia
Next
Anak-Anak Tak Berdaya Ke Mana Mereka Harus Berlindung?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram