Fenomena caleg gagal kena mental dan caleg lolos terjebak politik transaksional akan terus berulang, selama pemilu di negeri ini berlandaskan demokrasi kapitalisme.
Oleh. Tsuwaibah Al-Aslamiyah
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Tak lama lagi publik akan disuguhi fenomena caleg gagal kena mental. Pasalnya, pada pesta demokrasi di tahun-tahun sebelumnya pun kondisi seperti ini benar-benar terjadi. Oleh karena itu, pemerintah mengantisipasinya dengan menginstruksikan pada sejumlah RSUD, RSUP, RSJ agar mempersiapkan ruangan berikut tetek-bengeknya untuk menampung gelombang ODGJ baru pasca pemilu.
Dilansir dari Jawapos.com, 14/12/2023 ada sekitar 7 RS yang telah menyiapkan fasilitas khusus dalam rangka merehabilitasi caleg gagal yakni: RSUP Dr. Hasan Sadikin di Bandung, Jabar; RSUD Kabupaten Tangerang, Banten; RSUD Balaraja, Kabupaten Tangerang, Banten; RSUD Oto Iskandar Dinata, Kabupaten Bandung, Jabar; RSUD Kalisari Kabupaten Batang, Jateng; RSUD Sayang, Cianjur, Jabar; dan RSUD Wonosari Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta.
Lantas, apa menyebabkan caleg gagal ini berujung gangguan mental (kejiwaan)? Bagaimana wujud asli pemilu dalam demokrasi? Bagaimana Islam memandang kekuasaan?
Caleg Gagal Kena Mental
Sejumlah rumah sakit mengerahkan sejumlah dokter spesialis jiwa seperti psikolog dan psikiater andal, obat-obatan dan terapi, tak lupa ruangan khusus bagi calon anggota legislatif (caleg) yang depresi akibat gagal dalam pertarungan pemilu 2024.
Direktur Utama RSUD Sayang Cianjur, dr. Irvan Nur Fauzy mengatakan akan memberikan berbagai pelayanan bagi caleg gagal mulai dari rawat inap, home visit, hingga rujukan perawatan ke RSJ Lembang, KBB. Biasanya mereka ini mengidap psikosomatis. (kompas.com, 14/11/2023)
Lebih dalam, psikiater sekaligus Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional DR. dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ mengatakan caleg yang mencalonkan diri tanpa tujuan yang jelas sangat rentan mengalami gangguan mental. Terlebih yang nyaleg karena ambisi kekuasaan dan ingin memperkaya diri. Mereka biasanya terbelit utang dan kecewa berat hingga nekat mengakhiri hidupnya sendiri. Nahasnya, bukan hanya para caleg yang stres, tapi keluarga dan tim suksesnya pun mengalami gangguan kesehatan mental akibat kekalahan itu (antaranews.com, 11/12/2023).
Mengenal Psikosomatis
Dikutip dari siloamhospital.com, 21/9/2023 psikosomatis berasal dari kata psyche (pikiran) dan soma (tubuh). Jika digandengkan dengan kata gangguan, yakni gangguan psikosomatis berarti timbulnya keluhan fisik tanpa alasan medis yang jelas, sebab hal tersebut muncul akibat pengaruh pikiran dan emosi. Misalnya, jika seseorang mengalami rasa cemas, takut, dan stres berat maka keluhan fisik yang muncul makin buruk.
Lantas, apa yang menjadi penyebabnya? Berikut penjelasannya, otak manusia memproduksi senyawa kimia yang berguna bagi tubuh, di antaranya endorfin (hormon pereda rasa sakit dan meningkatkan suasana hati) dan gamma globulin (zat yang menguatkan sistem imun). Keduanya bekerja sesuai dengan pikiran dan emosi. Contohnya orang yang sakit, tapi pikirannya tetap positif. Maka pikiran yang positif akan melepaskan banyak hormon endorfin sehingga membantu dalam proses pemulihan tubuh. Sebaliknya, jika pikirannya negatif, otak akan memerintahkan hormon untuk meningkatkan tensi darah, menambah laju detak jantung, dan ketegangan otot.
Adapun gejala-gejala yang timbul pada gangguan psikosomatis yakni nyeri perut atau ulu hati, sakit kepala, nyeri pinggang, sesak napas, nyeri dada, kelelahan, keringat dingin, gemetaran, dan jantung berdebar. Bisa juga ditandai dengan memburuknya penyakit yang sebelumnya memang telah diderita. Berbagai gejala ini muncul akibat stres, beban pikiran yang berat, atau berada di bawah tekanan. Penanganan atas gangguan psikosomatis ini mesti dirujuk pada psikiater agar mendapatkan diagnosis yang tepat.
Berikut beberapa jenis penanganan pada pasien gangguan psikosomatis yakni:
- Psikoterapi
- Hipnoterapi
- Pemberian obat
- Menerapkan gaya hidup sehat
Wujud Asli Pemilu dalam Demokrasi
Fenomena caleg gagal kena gangguan mental menjadi sesuatu yang “lumrah” terjadi pada sistem demokrasi. Pasalnya, ada banyak hal yang menyebabkan terjadinya fenomena itu yakni:
1. Pemilu Berbiaya Mahal
No free lunch, itulah prinsip yang dipegang manusia sekuler zaman now. Fakta memang menunjukkan demikian. Untuk sekadar buang hajat saja mesti merogoh kocek, apalagi meraih hajat besar berupa harta dan kekuasaan melalui kontestasi pemilu. “Pemilu itu mahal, bukan cuma modal dengkul!” Pernyataan ini bukanlah isapan jempol semata. Pasalnya, siapa pun orang yang akan maju menjadi caleg, apalagi capres dan cawapres membutuhkan biaya selangit untuk membiayai kampanyenya.
Menurut Prajna Research Indonesia modal caleg itu beragam sesuai levelnya. Caleg DPRD kabupaten/kota Rp 250 juta-Rp300juta; caleg DPRD provinsi Rp500 juta-Rp1 miliar; dan caleg DPR RI Rp1 miliar-Rp2 miliar. Bahkan Ketua PKB, Muhaimin Iskandar, lebih fantastis lagi ketika mengungkap modal caleg DPR RI yakni sekitar Rp40 miliar. Maka, tak terbayang modal yang harus disiapkan capres-cawapres RI, dipastikan lebih besar dari nominal itu (cnbcindonesia.com, 24/8/2023).
“Your money your vote”, inilah kiranya yang menentukan kemenangan dalam pemilu. Politik uang menjadi ciri khas pemilu dalam demokrasi, bukan lagi gagasan yang ditonjolkan, namun uang yang berbicara.
Uang sebanyak itu digunakan untuk meningkatkan branding sang caleg/capres/cawapres melalui kampanye yang dilengkapi akomodasi, atribut, logistik, transportasi, tim sukses, bansos, pengumpulan massa, dll. Pencitraan menjadi senjata paling ampuh dalam memikat hati rakyat, walaupun faktanya zero gagasan dan minim adab.
2. Kekuasaan Menjadi Tunggangan untuk Meraih Kekayaan
Para peserta kontestasi pemilu berani berkorban dengan menggelontorkan modal yang begitu fantastis demi memenangkan pemilu. Lantas, benefit apa sebenarnya yang bakal mereka dapatkan ketika kursi panas itu mereka duduki? Kalau dilihat dari gaji dan tunjangan, anggota DPR RI bisa menerima sekitar Rp50 juta/bulan, jika dikalikan 12 bulan selama 5 tahun menjabat berarti Rp3 miliar. Nilai segini rasanya bakal habis untuk memenuhi kebutuhan harian sang wakil rakyat beserta keluarga, belum lagi jika mengikuti “syahwat gaya hidup” nominal sebesar itu tak ‘kan cukup. Maka, “wajar” jika mereka tergiur untuk mengorupsi uang rakyat.
Lalu bagaimana mereka mengembalikan modal pemilu? Sebab rasanya mustahil modal sefantastis itu diambil dari kocek pribadi saja. Jamak diketahui bahwa orang yang paling tajir dan bergelimang harta adalah pengusaha, terlebih jika dia telah menjelma menjadi korporasi. Nah, biasanya para pengusaha atau korporasi inilah yang “berbaik hati” mensponsori atau membantu calon penguasa ini.
Namanya juga pengusaha, prisipnya ogah rugi dong, “bantuan” ini bukan cuma-cuma, namun harus dikembalikan dengan cuannya sekaligus. Caranya dengan politik transaksional berupa pengesahan UU yang menguntungkan bisnis para pengusaha misal: UU Cipta Kerja (omnibus law), pemenangan tender proyek strategis negara oleh korporasi swasta, peringanan pajak bahkan penghapusan di beberapa item pajak, dll.
Sejak awal, sebagian besar tujuan calon wakil rakyat dan penguasa ini mengikuti kontestasi pemilu adalah demi cuan/materi. Maka ketika kalah dalam pemilu mereka akan stres dan depresi karena harus kehilangan harta yang tak sedikit ditambah lilitan utang yang jumlahnya selangit.
3. Berjuang demi Rakyat Hanya Sebatas Jargon Politik
Minim sekali caleg dan calon penguasa yang maju dalam pemilu tulus berjuang demi rakyat. Kalaupun ada itu 1000:1, pada umumnya mereka akan berakhir pada kegagalan. Jikapun ada yang lolos dan menduduki kursi itu, mereka akan dihadapkan pada 2 pilihan yakni komitmen untuk mempertahankan idealisme, tapi teralienisasi atau terbawa arus sekularisme dan luntur idealismenya. Sebab mereka bagai “berdiam di sarang penyamun”. Upaya mereka untuk memperjuangkan hak rakyat pun akan mengalami banyak hambatan dan musuh, sebab mayoritas wakil rakyat lainnya justru mati-matian membela kepentingan pengusaha/korporasi demi politik balas budi. Dalam kondisi ini suara minoritas akan dikalahkan suara mayoritas.
4. Oligarki Memegang Kendali atas Hasil Akhir Pemilu
Sebanyak apa pun uang yang berseliweran demi membiayai pesta demokrasi, aslinya itu hanya bisa dinikmati sesaat, faktanya rakyat makin melarat. Sebanyak apa pun peserta kontestasi pemilu dengan segudang prestasinya (jika ada), tetap saja pemenang pemilu telah dipersiapkan jauh hari sebelumnya. Untuk menjadi “seorang pemenang pemilu” tak perlu cerdas; berkharisma; multitalenta; apalagi beriman, cukup tunduk pada oligarki dan bersedia “mati” karenanya.
Indonesia ini negeri yang kaya akan SDA, julukannya saja “gemah ripah lohjinawi”. Namun, mengapa rakyatnya miskin? Sebab kekayaan negeri ini tidak dikelola oleh negara dengan sistem dan mekanisme yang tepat. Hanya segilintir orang yang berkuasa dan bermodal raksasa (oligarki) yang mengelola sekaligus menikmati keberlimpahan hasilnya, itu pun tidak murni penduduk pribumi, melainkan asing dan aseng.
Syarat menjadi penguasa adalah mengabdi pada oligarki. Sebab oligarki inilah yang memegang kendali atas pemenangan pemilu. Oligarki akan tetap berkuasa dalam perlindungan sistem demokrasi kapitalisme dan ketundukan para penguasanya yang sekuler.
Kekuasaan dalam Perspektif Islam
Kekuasaaan dan jabatan dalam perspektif Islam adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah taala di akhirat kelak. Saking beratnya amanah ini, banyak para sahabat yang mundur dan takut menerima amanah ini. Oleh karena itu, perlu keimanan yang kuat dan komitmen yang teguh dalam menjalankan amanah kekuasaan ini. Tak tanggung-tanggung, Allah Swt. ancam pemimpin yang tidak amanah dengan balasan neraka. Rasulullah saw. bersabda:
“Barang siapa diberi beban oleh Allah untuk memimpin rakyatnya lalu mati dalam keadaan menipu rakyat, niscaya Allah mengharamkan surga atasnya.” (HR. Muslim)
Tak cukup komitmen, sang pemegang amanah kekuasaan pun harus memahami betul ketentuan Allah Swt. dan Rasul-Nya dalam menjalankan kekuasaan, apalagi dalam lingkup negara. Seperangkat aturan Islam yang sengaja Allah Swt. rancang untuk mengatur kehidupan manusia wajib diterapkan oleh penguasa, tanpa kecuali. Dengan ketentuan ini, siapa pun yang akan terpilih menjadi penguasa akan menjadikan amanah ini sebagai bentuk ketaatan kepada Allah, bukan pada manusia. Bagi yang kalah pun tak akan stres apalagi depresi, sebab masih banyak jalan ketaatan lain yang bisa ditempuh dalam meraih jannah-Nya.
Pemilu dalam Islam praktis, simple, sederhana, dan ekonomis. Tidak membutuhkan modal besar untuk meningkatkan branding diri, sebab masyarakat telah mengenalnya secara alami, bukan dengan pencitraan. Oleh karena itu, tidak perlu merogoh kocek dalam-dalam, apalagi berutang sana-sini untuk modal kampanye. Tak ada beban moril dan materil pasca pemilu, sehingga kesehatan mental peserta pemilu akan baik-baik saja tanpa khawatir terkena gangguan mental.
Oligarki pun tak diberi celah untuk mengendalikan kekuasaan. Sebab perangkat aturan berasal dari wahyu Ilahi yang tak bisa diotak-atik wakil rakyat/penguasa sesuka hati. Fungsi wakil rakyat atau biasa disebut Majelis Umat hanya menyampaikan koreksi untuk penguasa dan menyerap aspirasi dari rakyat yang diwakilinya. Tidak ada fungsi legislasi seperti caleg di sistem demokrasi kapitalis, yang memproduksi dan melegalkan hukum (aturan) berdasarkan kepentingan oligarki. Sehingga kendali kekuasaan bukan di tangan oligarki, namun di tangan Ilahi melalui penerapan syariat Islam kaffah.
Khatimah
Fenomena caleg gagal kena mental, caleg lolos terjebak politik transaksional, penguasa yang dikendalikan oligarki, dan berbagai kemudaratan lainnya akan terus berulang, selama pemilu di negeri ini berlandaskan demokrasi kapitalisme. Sebab inilah tabiat buruk demokrasi. Saatnya kembali pada sistem Islam yang menghadirkan pemilu yang amanah, jujur, adil, dan tetap menjaga kesehatan mental para pesertanya. Pun penguasa dan rakyat terlepas dari cengkeraman oligarki dan kembali pada kehidupan yang sejahtera lagi berkah dalam keridaan-Nya.
Wallahu a’lam bishawab. []
Ada segelintir pertanyaan di benak.
Mengapa orang berlomba-lomba jadi caleg? Apa yang disukai? Tanggung jawabnya? Uangnya? Lahan basahnya? Atau apa?
Ah, bersiap jadi caleg berarti bersiap masuk RSJ kasarannya begitu keknya.
Barokallahu fiik, Mbak
Betul. Caleg gagal sangat rawan terkena gangguan jiwa. Soalnya mereka cuma siap menang tapi gak siap kalah.
Meski banyak caleg yang gagal dan berpotensi jadi ODGJ, tapi yang berburu "kursi" tetap saja banyak ya.
Wes wes. Belum belum udah disiapin ajah nih rumaj sakit jiwa buat caleg gagal. Yah tapi bener sih kalau dalam kapitalisme pasti ada tuh. Sebagaimana yang lalu-lalu.
Barakallah mba Emi
Iya mbak betul sekali kalau dibilang demokrasi system mahal,mengancam mental, mana yang terpilih kebanyakan jauh dari harapan. Beda banget sama islam. Semoga mereka sadar sistem Hari ini layak ditinggalkan.
Tulisannya mantap pisan euy. Barakallahu fiik untuk penulis. Memang benar, caleg gagal kena mental jadi fenomena lumrah dalam sistem kapitalisme.