Represif dalam Pembangunan, Paradoks Demokrasi

Represif

Represif tidak akan dirasakan oleh rakyat, begitu pun dalam masalah pembangunan, sebab kesejahteraan rakyat menjadi prioritas utama kepemimpinan Islam.

Oleh. Siti Komariah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Represif adalah gaya kepemimpinan dengan cara memberi tekanan, mengekang, bahkan sampai menindas untuk mempertahankan kekuasaan. Gaya kepemimpinan ini diduga ada pada pemerintahan Presiden Joko Widodo selama dua periode. Diwartakan cnnindonesia, (10/02/2024), lembaga non-pemerintahan, Human Rights  Working Group  (HRWG) Indonesia telah menyurati Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena kepemimpinan Jokowi diduga memiliki sisi gelap dan bersikap represif.

Penanggung Jawab Divisi Kampanye Kelompok Kerja Hak Asasi Manusia HRW Indonesia, Jesse Adam, mengungkapkan bahwa organisasi ini telah mengirimkan dua surat ke PBB. Pertama, pada tanggal 15 Januari, mereka mengirim surat ke Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya PBB (ICESCR) yang bertema "Sisi Gelap Pembangunan di Era Jokowi". Kedua, pada 5 Februari, mereka juga mengirimkan surat ke Komite Hak-Hak Sipil dan Politik PBB (CCPR) bertema "Dua Modus Represif (Populisme Sekretarian dan Dalih Pembangunan)."

Jesse Adam menjelaskan, populisme sekretarian biasanya menggunakan kelompok mayoritas dan minoritas untuk mendulang dukungan bagi kepentingan dirinya, bahkan bisa dikatakan populisme sekretarian adalah sebuah gagasan yang ingin memisahkan masyarakat menjadi dua bagian yang saling bertentangan. Hal ini dilakukan untuk semakin melanggengkan kekuasaannya.

Represif ala Pemerintahan Suharto

Dalam surat tersebut, lembaga non-pemerintahan, Human Rights Working Group  (HRWG) Indonesia juga menyoroti tentang pemerintahan Joko Widodo yang dianggap sama seperti pemerintahan represif ala Suharto pada masa Orde Baru yang membungkam siapa saja yang melawan pembangunan kepentingan nasional atau disebut juga repressive developmentalisms.

Sebagaimana kita ketahui bahwa pemerintahan pada masa Orde Baru dianggap sebagai pemerintahan yang represif. Pada masa pemerintahan itu banyak pelanggaran HAM yang terjadi. Pada masa pemerintahan Orde Baru, penguasa membungkam seluruh elemen masyarakat yang dipandang akan mengusik keberlangsungan penguasa dan menghalangi kepentingan penguasa. Mereka akan diculik, ditahan tanpa persidangan, bahkan dihabisi nyawanya.

Masih lekat dalam ingatan, bagaimana munculnya gelombang demonstrasi akibat ketidakpuasan masyarakat Indonesia dahulu karena pemerintah dianggap terlalu fokus menarik investor asing untuk pertumbuhan ekonomi negeri ini. Namun, kesempatan investasi lebih diberikan kepada para perwira  militer atau keturunan Tionghoa.

Kondisi ini memicu masyarakat melakukan demonstrasi yang berujung pada kerusuhan Malari (Malapetaka Limabelas Januari) . Dengan adanya peristiwa ini, pemerintah menutup setidaknya dua belas surat kabar dan menahan para jurnalis tanpa persidangan. Hal ini dilakukan untuk mencegah perlawanan dari rakyat kecil di pedesaan.

Di sisi lain, beberapa kasus lainnya seperti  penculikan 13 aktivis yang masih misterius hingga kini,  pembunuhan terhadap mahasiswa Trisakti di Jakarta, tragedi Semanggi I dan II, dan berbagai kasus-kasus lainnya (investment.com).

Represif ala Pemerintahan Joko Widodo

Pemerintahan Joko Widodo kini pun dianggap melakukan pelanggaran HAM dan melakukan tindakan represif. Hal itu terlihat bagaimana pemerintah ini lebih terfokus pada investasi dan mengabaikan nasib rakyatnya. Berbagai kebijakan lebih condong pada kepentingan asing atau swasta.

Ada beberapa poin yang dianggap pemerintahan ini represif yaitu:

Pertama, adanya kemudahan izin investasi bagi para pengusaha dan asing melalui UU Cipta Kerja dengan mengabaikan kelestarian lingkungan dan hak-hak perlindungan masyarakat.

Kedua, kebijakan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang mendorong adanya kerusakan lingkungan akibat dari masifnya proyek pembangunan fisik oleh pemerintah maupun swasta. 

Ketiga, adanya revisi UU Minerba yang memberikan intensif kepada perusahaan tambang lebih banyak tanpa melihat dampak buruk yang ditimbulkannya.

Keempat, revisi atas KUHP dan UU ITE yang masih terus mempertahankan pasal-pasal represif dan dinilai over kriminalisasi, bahkan mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi, termasuk kebebasan akademik. (yappika-actionaid.or.id, 12/02/2024).

Paradoks Demokrasi

Laporan lembaga non-pemerintahan, Human Rights  Working Group  (HRWG) Indonesia kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengindikasi adanya paradoks dalam sistem demokrasi. Sistem pemerintahan  demokrasi dicitrakan menuhankan suara rakyat, tetapi faktanya justru terjadi tindakan represif dalam pembangunan kepada rakyat sendiri.

Penerapan sistem demokrasi hampir di seluruh dunia tidak sesuai dengan makna yang digaungkannya yakni  "dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat". Ada ketimpangan antara makna dan pelaksanaan dari sistem pemerintahan tersebut. Walaupun tidak terjadi ketimpangan pun, sistem pemerintahan ini juga tidak akan membawa pada kedamaian dan kesejahteraan rakyat. Sebab, demokrasi merupakan derivat dari sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).

Ideologi inilah yang kemudian melahirkan kapitalisme dalam konteks pembangunan suatu negara, baik dalam ekonomi maupun politik, dan liberalisme dalam perilaku manusia. Pelaksanaan ideologi ini pun tidak sesuai dengan fitrah manusia, sebab kedaulatan berada di tangan manusia yang sifatnya relatif dan dapat berubah-ubah.

Sebagaimana apa yang dipaparkan Direktur Institute of Islamic Analysis and Development (Inqiyad) Assoc. Prof. Dr. Fahmy Lukman, M.Hum. Ia mengungkapkan bahwa standar nilai demokrasi bisa berubah sesuai dengan kepentingan dari individu tertentu, kelompok, negara, dan oligarki.

https://narasipost.com/world-news/08/2022/berharap-pada-demokrasi-no-way/

Di sisi lain, keberadaan keuntungan adalah prioritas utama dalam sebuah pembangunan dan kepemimpinan di alam demokrasi. Maka dalam pembangunan di suatu negeri, termasuk Indonesia akan dipengaruhi oleh keuntungan semata. Alhasil, walaupun rakyat menjadi tumbal dari suatu pembangunan, maka hal tersebut tidak akan memengaruhi pembangunan tersebut untuk dihentikan.

Masih lekat dalam ingatan, bagaimana perjuangan rakyat di Rempang untuk mempertahankan tanahnya dari penggusuran atas nama investasi asing. Penguasa tetap kukuh untuk merelokasi rakyat di Rempang. Padahal, rencana pembangunan pabrik kaca berdampak buruk bagi kesejahteraan rakyat di sana. Kisah rakyat di Rempang hanya secuil dari kisah rakyat yang menderita akibat dari berbagai pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam yang represif.

Pembangunan Islam Jauh dari Represif

Islam merupakan ideologi yang sempurna nan paripurna. Sistem pemerintahan Islam pun dibangun berdasarkan kedaulatan di tangan syarak. Allah berfirman,

"Apa pun yang kamu perselisihkan, keputusannya (diserahkan) kepada Allah. (Yang memiliki sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan hanya kepada-Nya aku kembali.” (TQS. Asy-Syura: 10)

Kebijakan yang dibuat pun berdasarkan syariat Islam yang diturunkan oleh Allah sehingga aturannya tidak dapat diubah-ubah. Pelaksanaannya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan, bukan individu tertentu, kelompok, apalagi oligarki.

Alhasil, tindakan represif tidak akan dirasakan oleh rakyat, begitu pun dalam masalah pembangunan, sebab kesejahteraan rakyat menjadi prioritas utamanya. Khalifah memiliki tanggung jawab penuh dalam pembangunan, mulai dari penyediaan dana hingga perancangannya, serta pelaksanaannya. Pembangunan tidak boleh diserahkan kepada asing ataupun oligarki, sebagaimana dalam sistem demokrasi.

Paradigma pembangunan dalam Islam dilandaskan pada nilai ruhiyah yakni pembangunan fisik yang nantinya akan semakin mendekatkan manusia kepada Penciptanya, bukan sekadar memperoleh keuntungan semata. Sebagaimana pembangunan pada masa dinasti Abbasiyah. Khalifah Abu Ja’far al-Mansur merancang dan membangun ibu kota Baghdad dengan melibatkan Abu Hanifah, seorang mujtahid mutlak dan ahli fikih. Alhasil, pembangunan tersebut makin meninggikan keimanan penduduknya kepada Sang Penciptanya.

Oleh karenanya, seluruh pembangunan mulai dari pembangunan infrastruktur jalan, bandara, kawasan pariwisata, serta pembangunan lainnya disandarkan pada nilai ruhiyah serta kesejahteraan rakyat. 

Khatimah

Sesungguhnya, Islam-lah yang mampu untuk menciptakan sistem kepemimpinan yang tidak represif terhadap rakyatnya dan mampu menyejahterakan rakyatnya.  Hal ini pun telah terbukti pada masa kejayaan Islam silam. Berbagai pembangunan senantiasa membawa manusia pada kesejahteraan, bukan penderitaan. Oleh karena itu, sudah saatnya kita sadar dan mengambil Islam sebagai sistem kehidupan manusia. Wallahu a'lam Bisshawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com
Siti Komariah Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Bandwagon Effect: Cognitive Bias
Next
Ilusi Stabilisasi Pangan
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

10 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Firda Umayah
Firda Umayah
9 months ago

Adanya kepemimpinan yang represif merupakan bukti bahwa tidak ada asas ruhiyah di dalam kepengurusan rakyat.

Haifa
Haifa
9 months ago

Merindukan kepemimpinan yang tidak represif. Kepemimpinan yang bermuara pada kemaslahatan umat

Wd Mila
Wd Mila
9 months ago

Meskipun, kerusakan akibat penerapan sistem demokrasi di depan mata, mayoritas masyarakat masih berpikir bahwa kerusakan yg terjadi hanya bersifat individual.. Sejatinya sistem ini tidak pernah gagal melahirkan penguasa yang represif terhadap rakyatnya...

Siti Komariah
Siti Komariah
Reply to  Wd Mila
9 months ago

Bener Mbak. Makanya solusinya hanya sekadar ganti pemimpin. Padahal, yang rusak dari akarnya

Rosmiati
Rosmiati
9 months ago

Benar, hanya dalam Islam pembangunan itu berkolerasi dengan keimanan lagi kesejahteraan rakyat. Dalam sistim lain itu hanya angan-angan saja.

Dewi Kusuma
Dewi Kusuma
9 months ago

Realitas pembangunan yang tanpa pikir panjang, pada akhirnya rakyat jua yang sengsara.
Sepakat hanya Islam solusinya

Sartinah
Sartinah
9 months ago

Betul, realitas pembangunan pada rezim saat ini memang jorjoran. Sayangnya, itu tidak bisa dinikmati oleh seluruh rakyat juga.

Tidak mengherankan memang jika melihat ideologi kapitalisme yang menaunginya. Pasalnya pembangunan dalam sistem kapitalisme bukan untuk memprioritaskan kesejahteraan rakyat.

Siti Komariah
Siti Komariah
Reply to  Sartinah
9 months ago

Betul sekali. Demi kepentingan penguasa dan pengusaha mah

Afiyah Rasyad
Afiyah Rasyad
9 months ago

Siapa pun pemimpinnya, paradigma pembangunan dalam sistem kapitalisme akan mendominasi mereka pada asas ideologi kapitalisme itu sendiri. Menumbalkan rakyat sekalipun mereka tak akan berpikir panjang lagi. Naudzubillah

Barokallahu fiik, Mbak

Siti Komariah
Siti Komariah
Reply to  Afiyah Rasyad
9 months ago

Iya Mbak, katanya pembangunan untuk rakyat. Eh rakyat justru jadi tumbal. Miris

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram