Demokrasi selama ini selalu diklaim sebagai sistem pemerintahan terbaik karena menjaga netralitas. Nyatanya, netralitas itu hanya mitos belaka.
Oleh. Wiwit Irma Dewi, S.Sos.I.
(Kontributor NarasiPost.Com & Pemerhati Sosial dan Media)
NarasiPost.Com-Masyarakat kembali dibuat heboh atas pernyataan yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini. Dikutip dari Kompas.com (26/01/24), Presiden Jokowi mengatakan, dibolehkannya seorang presiden dan wakil presiden berkampanye dalam pemilihan umum (pemilu) sudah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pernyataan tersebut disampaikan presiden dalam rangka menjawab pertanyaan wartawan perihal boleh tidaknya menteri berkampanye. Ia menyampaikan aktivitas yang dilakukan bawahannya tersebut merupakan bagian dari hak demokrasi. Bahkan menurutnya, presiden boleh berkampanye dan memihak calon tertentu dalam kontestasi pesta demokrasi. Karena hak politik dan hak demokrasi setiap orang itu sama, baik menteri ataupun presiden.
Jokowi menekankan agar pernyataannya tersebut jangan ditarik ke mana-mana. Ayah dari Cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka ini mengaku hanya menyampaikan ketentuan (Undang-Undang) yang berlaku. Ia juga menambahkan, agar tidak terjebak pada konflik kepentingan, kampanye yang dilakukan sebaiknya tidak menggunakan fasilitas negara kecuali fasilitas pengamanan dan menjalani cuti di luar tanggungan negara.
Netralitas Hanyalah Mitos
Tampaknya pernyataan Jokowi terkait bolehnya presiden berkampanye semakin menjadi polemik dan menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Karena pernyataan tersebut bisa dipahami bahwa dirinya boleh mendukung salah satu paslon, yaitu putranya. Hal tersebut dianggap berpihak pada kepentingan politik keluarga, bahkan isu membangun dinasti politik pun menjadi perbincangan.
Tak heran jika hal ini memunculkan sikap keras dari beberapa kalangan, salah satunya dari PP Muhamadiyah yang meminta agar presiden mencabut semua pernyataan yang disampaikan, dikutip dari laman kumparan.com (27/01/24), pernyataan tersebut bisa menjurus pada ketidaknetralan institusi dan meminta presiden menjadi teladan yang baik dengan selalu taat hukum dan menjunjung tinggi etika dalam penyelenggaraan negara.
“Pernyataan Jokowi bahwa presiden dibenarkan secara hukum untuk berkampanye dan berpihak merupakan statement yang berlindung dari teks norma yang dilepaskan dari esensi kampanye dan pemilu itu sendiri,” papar Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo.
Demokrasi selama ini selalu diklaim sebagai sistem pemerintahan terbaik karena menjaga netralitas. Nyatanya, netralitas itu hanya mitos belaka. Politik praktis demokrasi sangat rentan adanya praktik abuse of power penyalahgunaan kekuasaan. Penyalahgunaan kekuasaan biasa dilakukan seorang pejabat untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan diri sendiri, orang lain, partai politik, ataupun korporasi.
Penyalahgunaan kekuasaan dalam pemilu merupakan sebuah pelanggaran hukum, bukan tidak mungkin hal tersebut dilakukan oleh kepala negara atau pejabat yang masih aktif secara terselubung. Meskipun telah ada aturan normatif yang berlaku, namun terkadang para pelaku penyalahgunaan kekuasaan sengaja memanfaatkan kesempatan tertentu untuk memengaruhi orang lain yang ada di bawah kepemimpinannya, baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk memilih pilihan yang ia rekomendasikan.
Candu Kekuasaan ala Kapitalisme Demokrasi
Harus diakui bahwa politik dalam kapitalisme bersifat candu, sebab tak jarang politik dalam sistem demokrasi digunakan sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan. Maka tak heran jika kita lihat banyak orang berlomba-lomba memenangkan kontestasi pemilu, dengan satu tujuan utama yaitu mendapatkan keuntungan melalui kekuasaan.
Kebobrokan demokrasi menjamin terpilihnya pemimpin dengan adanya uang, jabatan popularitas, ataupun pengaruh jabatan pihak lain. Alhasil sistem ini akan melahirkan pemimpin yang tidak kompeten dan tidak memiliki kredibilitas. Kekacauan ini adalah konsekuensi penerapan demokrasi, yang lahir dari sistem kapitalisme dan berdiri di atas asas pemisahan agama dari kehidupan. Maka, wajar mereka rela menghalalkan segala cara termasuk melakukan kecurangan ataupun kezaliman untuk mencapai tujuannya.
Selain itu, demokrasi menjadikan kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat, demokrasi menganggap suara rakyat adalah suara Tuhan. Negara dengan sistem ini jelas menihilkan peran agama, menjadikan kebebasan sebagai pandangan hidupnya. Akibatnya, politik transaksional tercium jelas dalam sistem ini. Si kaya yang punya kuasa akan menundukkan para penguasa.
Faktanya, demokrasilah yang menghasilkan oligarki, yaitu kekuasaan berputar di segelintir orang yang memiliki dukungan dana yang besar. Kongkalikong penguasa dan pengusaha akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan para kapitalis dan akan menyengsarakan rakyat.
Islam Berbeda dengan Demokrasi
Berbeda dengan sistem demokrasi, Islam sebagai sebuah agama sekaligus ideologi memiliki konsep praktis dalam pemilihan pemimpinnya. Pemimpin dalam Daulah Khilafah (negara dalam sistem Islam) akan menerapkan dan menjalankan hukum syariat secara total dan menyeluruh. Khilafah akan menjadikan hukum syarak sebagai pemegang kedaulatan tertinggi sekaligus sumber hukumnya (Al-Qur'an, sunah Rasulullah, ijmak sahabat, dan qiyas).
Dalam Islam, tak akan ada kongkalikong atau politik transaksional yang terjadi antara pemilik modal dengan para penguasa selayaknya dalam sistem demokrasi. Pemimpin dalam Islam atau khalifah harus taat pada aturan Islam sebagai aturan yang dilegitimasi negara, sekalipun khalifah memiliki kekuasaan tertinggi dalam mengambil kebijakan.
Adapun dalam pemilihan khalifah, Islam memiliki satu-satunya metode baku yaitu dengan cara baiat syar'i. Dalam baiat tersebut terdapat komitmen umat untuk menaati khalifah, dan khalifah juga dibaiat untuk berkomitmen mengamalkan hukum syariat di tengah-tengah masyarakat.
Sementara untuk mekanisme pemilihan pemimpinnya (sebelum baiat) bersifat tidak baku, boleh dilakukan dengan berbagai cara. Mengenai proses pemilihan pemimpin dalam Khilafah dilakukan secara sederhana, efektif, efisien, dan hemat biaya dengan durasi waktu yang sangat singkat yaitu maksimal tiga hari. Khalifah terpilih akan langsung menjalankan tugasnya yaitu melakukan riayah suunil umah atau mengurus seluruh urusan umat.
Untuk menutup celah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dalam pemilihan calon khalifah, maka dalam masa kekosongan selama proses pemilihan tugas khalifah akan digantikan oleh pihak lain, hal itu jika calon khalifah adalah khalifah sebelumnya.
Di sisi lain, ketakwaan individu yang tinggi dan kesadaran bahwa segala sesuatu akan diminta pertanggungjawaban di akhirat maka akan melahirkan 'self control' yang membuat seseorang bersikap jujur dan menjauhi perbuatan curang, termasuk dalam proses pemilihan khalifah.
Khatimah
Untuk itu, sudah saatnya umat sadar bahwa hanya Khilafah Islam sajalah yang mampu mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan jauh dari praktik kecurangan dalam pemilihan pemimpinnya. Jangan biarkan umat terus tenggelam dalam tipu-tipu demokrasi yang menyesatkan. Alih-alih sibuk dalam kontestasi pemilu, sejatinya umat Islam sadar bahwa mereka memiliki tujuannya sendiri yaitu berjuang melanjutkan kembali kehidupan Islam dalam naungan Khilafah Islamiah. Wallahu a'lam bi ash-shawab. []
Betul, tidak pernah ada netralitas dalam demokrasi. Semua akan saling mendukung jika memiliki kepentingan yang sama.
Teman bisa berbeda-beda, tetapi kepentingan akan tetap sama. Ah, demokrasi ...
Dalam demokrasi, orang bisa berubah-ubah. Yang gak berubah itu kepentingannya.
Mereka bisa jadi pemimpin karena ada uang, jabatan popularitas, ataupun pengaruh jabatan pihak lain.
Kalau seperti ini, ya pasti akan melahirkan pemimpin yang gak kompeten dan gak kredibel.
Demokrasi adalah kolam kotor. Mustahil melahirkan sesuatu yang baik. Setiap pemilu rakyat dikadalin, ditipu. Tetapi belum mau move on dari sistem yang membuka segala bentuk kerusakan. Padahal solusinya sudah ada dalam Islam.