Sikap netral penguasa sulit diwujudkan dalam bingkai demokrasi. Sebab mereka bersama oligarki bersekongkol dalam menduduki kursi kekuasaan.
Oleh. Mariam
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Tidak netral! Polemik Jokowi yang menyatakan keberpihakannya kepada salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden ini banyak disoroti dan dikritik berbagai kalangan.
Dalam klarifikasinya, Jokowi mengatakan bahwa memang pernyataannya itu mengacu pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Berdasarkan pasal 299, Jokowi menegaskan bahwa presiden dan wakil presiden memiliki hak untuk melaksanakan kampanye alias tidak netral.
Jokowi memang menjelaskan bahwa maksud dari pernyataannya itu untuk merespons pertanyaan dari awak media soal banyaknya menteri yang aktif menjadi tim sukses salah satu paslon. Karena sebelumnya, Jokowi menyatakan seorang presiden diperbolehkan untuk memihak dan berkampanye dalam pilpres selama mengikuti aturan dan tidak menggunakan fasilitas negara. (CNNIndonesia.com,27/1/2024)
Pernyataan Jokowi ini menuai sejumlah kritik dari berbagai pihak, baik dari partai politik maupun masyarakat sipil. Karena hal ini berpotensi menyebabkan penyelenggaraan pemilu itu menjadi “tidak netral” dan diwarnai oleh berbagai kecurangan serta keberpihakan yang tidak adil.
Fadli Ramadhanil sebagai Manajer Program Perludem mengatakan bahwa pernyataan Jokowi itu patut diduga dengan bertujuan untuk menguntungkan paslon tertentu. Sikap Jokowi bersama menteri-menteri ini berpotensi dijadikan sebagai pembenaran untuk aktif berkampanye dan menunjukkan keberpihakan mereka. Padahal persoalan netralitas dalam kabinet Jokowi, konflik kepentingan hingga akan ada dugaan penyalahgunaan fasilitas negara tengah menjadi sorotan publik belakangan ini. (BBC.com, 24/1/2024)
Drama Panggung Politik: Netral, No!
Publik saat ini dibuat geli oleh drama-drama politik yang justru datang dari lingkaran presiden. Belum lagi masih teringat saat drama putusan MK perihal batas usia calon presiden dan calon wakil presiden yang akhirnya meloloskan anak sulung Jokowi.
Politik bersilat lidah dan memutarbalikkan narasi demi kepentingan, memang sering terungkap. Pernyataan pada 1 November 2023 di IKN Kalimantan Selatan, ketika Jokowi menegaskan bahwa pemerintah baik pemerintah daerah, kota, provinsi, maupun pusat semua harus netral. ASN, Menteri, TNI, dan Polri semua harus netral.
Namun, semua itu berbalik dengan pernyataan 24 Januari yang mengatakan bahwa presiden boleh tidak netral. Menurut Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto bahwa kondisi ini seharusnya bukan lagi drama melainkan fakta bahwa hukum di Indonesia sudah tidak sesuai dengan akal sehat akibat campur tangan Jokowi yang ingin memuluskan dinasti.
Bahkan untuk melanggengkan keluarganya, ia mampu memboyong sanak saudaranya untuk bisa duduk di tampuk kekuasaan. Drama panggung demokrasi ini entah sampai kapan akan berakhir.
Hipokrit Demokrasi
Terdapat dua alasan utama yang menjadikan alasan mengapa sistem politik di dalam demokrasi ini mustahil netral, bahkan dikatakan sebagai panggung yang mewujudkan drama politik.
Pertama, karena sistem ini berlandaskan pada sekuler liberal yang memisahkan antara agama dari kehidupan. Oleh karena itu, sistem ini tidak menjadikan agama sebagai pedoman dalam menjalankan sistem pemerintahan termasuk mekanisme pemilu.
Walhasil, aturan yang berlaku hanya dibuat mengandalkan akal manusia yang sangat terbatas. Inilah yang akan terus menimbulkan berbagai perselisihan dan polemik antarmanusia yang saling memiliki kepentingan dan haus akan kekuasaan. Siapa yang berkuasa, maka ia berhak untuk menentukan aturan sehingga tidak heran jika banyak aturan seperti MK mengeluarkan keputusan usia calon presiden dan wakil presiden maupun aturan untuk presiden dan menteri-menteri berkampanye dan memihak kepada salah satu pasangan calon.
Saat ini para politisi tanpa memakai aturan agama hanya untuk kemaslahatan penguasa sehingga terjadi politik uang, kecurangan, penipuan merajalela dan segala jenis kejahatan akan selalu hadir untuk mewarnai drama politik demokrasi. Inilah kondisi yang terjadi karena menerapkan sistem sekuler yang mengesampingkan campur tangan Pencipta, sehingga aturan yang diberlakukan hanya untuk memuaskan nafsu harta dan para penguasa rezim yang mempunyai kepentingan.
https://narasipost.com/opini/10/2020/kunjungan-as-bukan-kunjungan-biasa/
Kedua, sistem politik dalam demokrasi ini memang tidak bisa dipisahkan dengan model negara korporatokrasi, yakni negara yang sejatinya akan dipimpin oleh sejumlah korporasi, sedangkan posisi pejabat hanya sebagai “makelar” untuk memuluskan kepentingan para penguasa kelas kakap.
Memang kontestasi dalam sistem politik demokrasi ini memerlukan biaya yang sangat mahal. Bahkan, Fahri Hamzah sebagai Wakil Ketua Partai Gelora mengungkapkan bahwa untuk mencalonkan Presiden saat ini harus memiliki modal sekitar 5 hingga 15 triliun rupiah. Dan inilah yang pada akhirnya akan menyuburkan politik transaksional.
Di sinilah pertemuan antara kepentingan para pemilik modal yang ingin melancarkan bisnisnya dengan politisi yang membutuhkan modal untuk berkontestasi di ajang perpolitikan, sehingga terjadilah politik transaksional. Dengan konsep siapa yang mampu membayar lebih banyak, ialah yang akan lebih diprioritaskan. Sehingga omong kosong kepentingan rakyat diutamakan, nyatanya hanya memuluskan rencana para penguasa.
Perpolitikan dalam Islam
Berbeda halnya dalam sistem politik Islam, dalam Islam politik (siyasah) berasal dari kata saa-yasusu-siyasat yang berarti mengurusi kepentingan seseorang.
Dalam Islam, politik itu bermakna sebagai ri’ayah syu’un al -ummah (mengurusi urusan umat). Karena pemerintah merupakan sebuah lembaga yang mengatur urusan rakyat secara praktis sedangkan rakyat berkewajiban untuk mengontrol sekaligus mengoreksi pemerintah dalam pelaksanaan tugasnya.
Pemimpin negara atau khalifah bertanggung jawab terhadap kepentingan dan urusan rakyat sekaligus melindungi dari segala macam bahaya, dan fokus utama penguasa yang duduk dalam kursi pemerintahan adalah murni memikirkan dan mengurusi umat bukan para pemilik modal. Sehingga bagi penguasa pemerintahan yang lalai dalam memenuhi kebutuhan umat, maka Allah mengharamkan baginya surga. Terlebih, bagi penguasa yang menipu rakyat dengan menjual aset sumber daya alam negara yang seharusnya dimiliki umat seperti batu bara, minyak, air, gas, dan sebagainya.
“Siapa saja yang telah Allah jadikan pemimpin, lalu dia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, maka surga haram atas dirinya.” (HR. Ahmad)
Dalam Islam, kontestasi politik untuk mengangkat khalifah dilakukan sesuai syariat dan tidak memerlukan suntikan dana dari pihak luar. Para calon khalifah adalah mereka yang paham agama dan memiliki motivasi ruhiyah bukan mengincar materi semata. Imam An Nawawi dalam kitabnya Nihayah Al Muhtaj telah berkata akad Imamah sah dengan adanya baiat atau lebih tepatnya baiat dari Ahlul Halli wal ‘Aqdi yang mudah untuk dikumpulkan. Dalam sistem Islam, Khalifah dipilih bukan untuk menjalankan keinginan dan hukum manusia. tetapi, untuk menjalankan hukum Allah taala.
Inilah kontestasi politik dalam Islam yang sesuai dengan tuntunan syariat, sehingga tujuan utamanya adalah mengurusi umat dengan pedoman dan hukum berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunah.
Wallahu a'lam bishawab. []
Memang tidak mungkin netral. Karena dalam sistem politik demokrasi semuanya sarat akan kepentingan pribadi maupun kelompok.
Penuh dengan trik, intrik dan tipu2 politik. Baarakallahu fiik mb
Netral dalam politik saat ini memang tidak mungkin. Karena setiap calon atau pejabat sekalipun, selalu memiliki dan memperjuangkan kepentingan masing-masing.
Salah satu hipokrisi demokrasi adalah kentralan yang sebatas mitos.
Barokallahu fiik, Mbak
Kontestasi politik dalam Islam adalah sesuatu yang sangat sakral dan dilaksanakan dengan sangat hati-hati.
Bagaimana amirul mukminin Umar Bin Khattab menangis setiap malam sepanjang menjabat sebagai Khalifah, adalah bukti kepemimpinan politik dalam Islam bukan soal yang remeh sekedar mengais cuan dan kekuasaan. Tapi tanggungjawab besar di akhirat kelak saat penghisapan
Demokrasi melanggengkan kekuasaan para pemilik modal dan penguasa. Hasilnya tentu akan kembali kepada mereka.
Rakyat hanya jadi tumbal ambisi kekuasaan. Barakallah mba @Mariam
Masya allah.. Jazakillah Khair kak
Setiap menjelang pemilu, para politisi ramai membuat panggung dagelan. Percis seperti lagu dunia ini panggung sandiwara. Banyak kepura-puraan dan bersilat lidah. Kita yang melihatnya lelah. Bagaimana dengan pelakonnya? Demokrasi memaksa orang jadi hipokrit. Barokallihu fiik