Maraknya kasus kecurangan dan manipulasi dalam bidang ekspor-impor adalah bukti nyata lemahnya negara di bawah asuhan sistem kapitalisme.
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com & Penulis Rempaka Literasiku/Bianglala Aksara)
NarasiPost.Com-Kasus importasi emas mulai memanas. Saat ini, penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung), masih terus melakukan pendalaman atas keterlibatan dua perusahaan swasta dalam manipulasi kode Harmonized System (HS) pada aktivitas ekspor dan impor komoditas emas. Manipulasi kode tersebut diduga untuk menghindari pembayaran pajak. Dua perusahaan swasta yang diduga terlibat adalah PT Untung Bersama Sejahtera (UBS) dan PT Indah Golden Signature (IGS).
Diberitakan oleh antaranews.com (26/1/2024), Direktur Penyelidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Kuntadi, menyebut bahwa kasus manipulasi kode HS yang tengah diselidiki tersebut merupakan tindak lanjut dari temuan Satuan Tugas Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Di mana, Satgas TPPU disebut telah menemukan adanya dugaan korupsi emas batangan impor sebesar Rp189 triliun. Meski demikian, Kuntadi menyebut bahwa pihaknya masih menunggu pendapat ahli apakah kasus pengelolaan kegiatan usaha komoditas emas tersebut masuk dalam sektor kepabeanan atau korupsi.
Dugaan manipulasi kode HS oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang ekspor-impor emas jelas memantik banyak tanya, mengapa bisa terjadi pemalsuan kode HS? Bagaimana sejatinya mekanisme ekspor-impor emas di negeri ini hingga terdapat celah untuk melakukan kecurangan tersebut?
Modus Bebas Cukai
Ada-ada saja cara yang dilakukan oleh perusahaan untuk menghindari pengenaan bea masuk impor. Salah satu modus yang sering digunakan adalah dengan melakukan manipulasi kode HS. Kasus manipulasi kode HS untuk kegiatan ekspor-impor kembali mencuat setelah Anggota DPR RI, Arteria Dahlan, mengungkap dugaan penggelapan impor emas senilai Rp47,1 triliun. Modus pengalihan kode HS sendiri merupakan bentuk yang paling sederhana dari praktik yang disebut circumvention (penadahan). (bisnis.com, 16/6/2021)
Demi menghindari pengenaan bea masuk impor emas, para pengusaha diduga mengubah kode tarif pos (HS) dari jenis emas yang dikenakan bea masuk 5% menjadi 0%. Misalnya, kode HS yang semula untuk barang perhiasan jadi yang kena bea masuk, kemudian dimanipulasi menjadi kode HS untuk emas batangan yang tidak kena bea masuk.
Dalam ketentuan bea cukai sendiri, komoditas emas batangan memiliki kode HS yang berbeda-beda dan tarif cukainya pun berbeda.
Jika diklasifikasikan, terdapat empat macam emas batangan dengan kode HS yang berbeda.
Pertama, kode HS 71081210 untuk emas batangan yang akan diolah kembali. Kode HS tersebut dikenakan tarif cukai 0%.
Kedua, kode HS 71081290 untuk emas selain bentuk ingot, bongkah, atau batang tuangan dikenakan tarif 5%.
Ketiga, kode HS 7108130 untuk emas bentuk setengah jadi lainnya dengan tarif 5%.
Keempat, kode HS 71159010 untuk emas batangan yang langsung siap jual dikenakan tarif sama yaitu 5%.
Semua pengawasan terhadap impor emas tersebut berada di bawah kewenangan Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan.
Dugaan manipulasi impor emas tersebut semakin kuat dengan fakta melonjaknya jumlah impor emas batangan selama satu dekade terakhir. Menilik data Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat lonjakan impor emas batangan dengan kode HS 71081210 yang notabene tidak memiliki tarif bea masuk. Bahkan, jumlahnya mencacat rekor fantastis pada tahun 2022, yakni sebesar 60.914 kg dengan nilai US$3,48 miliar. (bisnis.com, 16/6/2023)
Keterlibatan Bea Cukai?
Praktik manipulasi kode HS disebut telah merugikan negara dan tentu saja memengaruhi pemasukan pajak. Sebelumnya, kasus pemalsuan kode HS pun pernah terjadi di Indonesia pada 2018 dan 2019 silam. Saat itu eksportir besi dan baja asing telah mengalihkan kode HS baja karbon yang bertarif 15%, menjadi kode HS baja paduan yang bertarif 0% demi menghindari pengenaan bea masuk antidumping. Pengalihan kode serupa juga diduga pernah dilakukan oleh importasi emas yang berasal dari Singapura.
Lantas, mengapa praktik kecurangan tersebut terus terjadi, padahal pengawasan pun telah dilakukan? Sejatinya praktik-praktik kecurangan semacam ini tidak mudah terjadi, jika tidak ada lembaga maupun oknum pegawai negara yang terlibat. Ini pula yang dikatakan oleh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Arteria Dahlan, pada rapat kerja dengan Kejaksaan Agung pada 2021 silam. Arteria menyebut, terdapat upaya penghindaran bea masuk oleh pejabat bea cukai dan importir dengan memalsukan kode emas batangan sebagai emas bongkahan. Di mana, emas bongkahan memang bebas bea masuk.
Meski pihak Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) membantahnya, tetapi banyak pihak menduga ada oknum-oknum pegawai bea cukai yang terlibat. Apalagi jika melihat fakta banyaknya kasus suap yang terjadi di bea cukai. Mengutip data dari cnnindonesia.com, terdapat kasus korupsi tentang impor tekstil pada DJBC Tahun Anggaran 2018–2020 dengan nilai Rp1,6 triliun. Dalam kasus tersebut, Kejaksaan Agung menetapkan empat pejabat bea cukai Batam dan satu orang pengusaha sebagai tersangka.
Kemudian pada awal Maret 2021, KPK juga melaporkan dugaan korupsi pengaturan barang kena cukai dalam pengelolaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan Wilayah Kabupaten Bintan Tahun 2016–2018. Dengan terkuaknya fakta-fakta kecurangan yang dilakukan oknum-oknum pejabat bea cukai, tentu semakin membuat publik percaya bahwa ada keterlibatan bea cukai dalam manipulasi kode tersebut.
Kebobrokan Konsep Kepemilikan
Adanya dugaan keterlibatan perusahaan swasta dalam ekspor dan impor emas batangan, menunjukkan bahwa monopoli swasta atas pengelolaan barang-barang tambang negeri ini demikian kuat. Monopoli kepemilikan dan pengelolaan SDA oleh swasta sejatinya berpijak pada prinsip kebebasan kepemilikan yang dipuja banyak negara. Dengan prinsip kebebasan tersebut, setiap orang bisa memiliki harta tanpa ada pemisahan, baik harta individu maupun harta milik umum.
Pasalnya, kebebasan kepemilikan yang dianut sistem kapitalisme memang tidak memiliki batasan tentang mana harta yang boleh dikelola individu dan mana yang tidak. Prinsip inilah yang akhirnya melahirkan liberalisasi yang dijadikan role model atau contoh dalam ekonomi kapitalisme. Padahal, penerapan sistem kapitalisme telah nyata melahirkan kesengsaraan abadi bagi rakyat. Konsep kebebasan kepemilikan ini pula yang berpotensi merugikan negara karena telah kehilangan haknya sebagai pengelola tambang milik rakyat.
Konsep Kepemilikan dalam Perspektif Islam
Banyaknya permasalahan yang mencuat dalam sistem kapitalisme, sejatinya terjadi karena tidak jelasnya batas-batas kepemilikan. Namun, realitas ini tidak ditemukan dalam Islam. Pasalnya, syariat Islam telah sempurna dan sangat jelas dalam menempatkan konsep kepemilikan, di mana harta individu menjadi milik individu, harta rakyat menjadi milik rakyat, dan harta negara menjadi milik negara.
Syariat Islam telah menjelaskan dengan gamblang tentang pembagian konsep kepemilikan, sebagaimana yang dipaparkan dalam kitab Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah karya Syekh Abdul Qadim Zallum. Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa Islam telah membagi konsep kepemilikan menjadi tiga bagian, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan publik, dan kepemilikan negara. Kepemilikan publik misalnya, merupakan seluruh kekayaan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. kepada kaum muslim.
Karena itu, kekayaan tersebut menjadi milik seluruh kaum muslim seutuhnya. Masyarakat diperbolehkan memanfaatkan harta milik publik tersebut, tetapi tidak boleh memilikinya secara pribadi. Di sisi lain, kepemilikan publik pun masih terbagi menjadi tiga bagian, yakni sarana umum yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari (air, hutan, sumber energi, pembangkit listrik, dll.), kekayaan alam yang terlarang bagi individu untuk memilikinya (jalan umum, laut, sungai, masjid, lapangan, dll.), dan barang tambang yang jumlahnya melimpah (emas, minyak bumi, gas alam, dll.).
Pijakan dalam pembagian kepemilikan tersebut adalah hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ: فِي الْكَلأِ، وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
Artinya: "Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: padang, air, dan api."
Pengaturan Ekspor-Impor
Dari penjelasan tersebut, jelaslah bahwa barang tambang yang melimpah jumlahnya (termasuk emas) adalah harta milik umum yang tidak boleh dikelola dan dimiliki oleh individu. Artinya, pihak swasta baik lokal maupun asing tidak boleh menguasainya, apalagi dengan legal membisniskannya. Satu-satunya pihak yang wajib mengelolanya adalah negara (Khilafah) dan hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat. Selain menjadi pengelola SDA, Khilafah juga mengatur distribusi, termasuk perdagangan luar negeri atau ekspor dan impor.
Perdagangan memang menjadi salah satu aspek penting dalam menopang keberlangsungan ekonomi negara. Bahkan, perdagangan juga dapat dijadikan wasilah untuk dakwah Islam. Aktivitas perdagangan dalam dan luar negeri sendiri dihukumi boleh. Hanya saja, terkait perdagangan luar negeri semuanya harus tetap berpegang pada rambu-rambu syariat.
Jika di dalam negeri terdapat barang-barang yang dibutuhkan maka negara tidak boleh melakukan impor produk. Andaipun akan melakukan impor, maka harus tetap dibatasi karena negara tidak boleh mematikan para pengusaha di dalam negeri. Sedangkan untuk aktivitas ekspor, maka ada batasan terhadap komoditas yang diekspor. Yakni bukanlah komoditas yang akan melemahkan kekuatan dan kewibawaan negara seperti sistem komunikasi, persenjataan, dan alat-alat strategis lainnya. Sedangkan untuk komoditas yang tidak akan melemahkan dan membahayakan negara, seperti pakaian, alat rumah tangga, dan lainnya, maka boleh dilakukan.
Khatimah
Maraknya kasus kecurangan dan manipulasi dalam bidang ekspor-impor adalah bukti nyata lemahnya negara di bawah asuhan sistem kapitalisme. Meski para pelaku sebagiannya telah tertangkap, tetapi bibit-bibit lainnya tetap saja akan muncul karena iming-iming keuntungan. Sudah saatnya umat mencampakkan sistem serakah kapitalisme yang telah membentuk individu-individu kapitalistik yang hanya mengejar profit. Lalu kembali pada Islam sebagai solusi yang benar-benar mampu mewujudkan kesejahteraan.
Wallahu a'lam bishawab.[]
Hukum sak karepe dewe. Sistem ekonomi kapitalisme tenan menerapkan hukum rimba. Kecurangan akan terus dijumpai dalam sistem rusak ini.
Betul mbak, sudah karakter bawaan sistem yang memang rusak, jadi semuanya sak karepe dewe.
Permainan kapitalisme demi menghasilkan keuntungan dan tidak mau rugi. Padahal sudah ngeruk harta rakyat, masih mencari keuntungan dari kecurangan lagi.
Wes wes, begini mhe kalau dalam asuhan kapitalisme. Kalaupun nanti dihukum pasti nda ada bikin jera. Begitu syulit deh di alam kapitalisme
Iya betul. Kalau dipenjara pun, masih bisa bergerak dari penjara. Makanya dibilang kapitalisme itu emaknya kesusakan.
sistem hukum yang lemah dalam sistem kapitalisme turut membuat kasus kecurangan tidak segera tuntas.
Betul, salah satu sebab banyaknya kejahatan dan kecurangan saat ini karena sistem hukumnya yang lemah.
Sebegitunya praktek kecurangan untuk menghindari pajak. Pada dasarnya tidak ada yang suka pajak. Pemaksaan. Akhirnya terjadi kongkalingkong pihak dalam untuk menghindari pajak. Pengusaha emasnta double dosanya. Mengambil milik rakyat, lalu curang pula.
Betul mbak, kalau bahasa kita namanya kemaruk ya, hehe ...
hem, sudahlah emas yang jadi kepemilikan umum diambil, masih pula memanipulasi kode agar bebas bea cukai. otak kapitalis dalam sistem kapitalisme benar-benar culas
Betul, namanya juga sistem kapitalisme. Sudah rusak, juga melahirkan individu rakus dan serakah.