Penyediaan pupuk merupakan bukti bahwa negara hadir untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Namun, subsidi pupuk justru makin turun.
Oleh. Nur Istiqamah, S.Gz.
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Ketersediaan pupuk masih menjadi masalah besar bagi para petani negeri ini. Presiden Jokowi pada acara pembinaan petani se-Provinsi Jawa Tengah di Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (2-1-2024) menyampaikan alasan pupuk bersubsidi bisa langka di banyak tempat. Jokowi menyampaikan, “Saya kalau ke desa, ketika bertemu dengan petani sejak tahun 2020 keluhannya selalu sama yaitu pupuk, utamanya pupuk bersubsidi. Betul? Supaya bapak, ibu, saudara tahu, ada ceritanya.”
Jokowi juga menyebutkan tentang perang Rusia-Ukraina yang membuat ekonomi dunia makin tidak menentu. Sedangkan keduanya merupakan negara penghasil bahan baku pupuk. Jokowi mengungkapkan, “Itu bahan bakunya (pupuk) berasal dari Rusia dan Ukraina. Ini fakta sehingga barang ini juga sulit keluar dari Ukraina dan Rusia. Bahan baku tidak ada berarti harganya mahal. Itulah problemnya, Bapak dan Ibu sekalian.” (CNBC Indonesia, 2/1/2024)
Protes Pupuk Langka
Pernyataan Presiden Jokowi tentang penyebab kelangkaan pupuk seolah-olah menjadi pemakluman bagi pemerintah. Rakyat diminta maklum terhadap kondisi yang ada, padahal dengan langka dan mahalnya pupuk, rakyat sangat kesulitan.
Kelangkaan ini hampir terjadi setiap tahun dan merata di setiap daerah. Ambil contoh di Pulau Sumbawa, pada tahun 2023 jumlah pupuk subsidi yang dibutuhkan sebanyak 94 ribu ton, tetapi yang tersedia hanya 14 ribu ton (Kontan.co.id, 10/02/2023). Betapa besarnya kesenjangan antara persediaan dengan jumlah yang dibutuhkan para petani.
https://narasipost.com/opini/01/2024/ketahanan-pangan-terwujud-dengan-sistem-islam/
Kemudian bergeser sedikit ke kota tepian air, Kota Bima yang hampir 50% masyarakatnya bermatapencaharian sebagai petani juga tak luput dari kelangkaan pupuk ini sehingga tak ayal selalu menimbulkan aksi protes dari warga. Seperti yang baru-baru ini terjadi, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Peduli Demokrasi (AMPPD) bersama petani di Kecamatan Sanggar melakukan aksi demonstrasi pada 15 Januari 2024.
Aksi demonstrasi ini dilakukan terkait kelangkaan dan mahalnya harga pupuk yang tidak sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) sebagaimana yang diatur dalam peraturan pemerintah nomor 10 tahun 2022 tentang Tata Cara Penyaluran Pupuk dan Harga Eceran Tertinggi. Mereka menyayangkan atas kelangkaan dan mahalnya harga pupuk subsidi yang dijual di tingkat pengecer. Padahal saat ini jagung yang ditanam sudah berumur hampir dua bulan, tetapi pupuk yang dibutuhkan tidak tersedia. Hal ini berpotensi menjadi ancaman gagal panen bagi para petani. Di daerah Lambu juga terjadi aksi protes yang sama.
Berharap Negara Hadir
PT Pupuk Indonesia mengeklaim bahwa pasokan yang ada di Bima memadai. Hal ini sangat berbeda dengan fakta yang ada di lapangan. Sudah diketahui bersama bahwa pupuk sangat dibutuhkan petani untuk mengoptimalkan hasil pertanian. Jika tidak ada pupuk bersubsidi, petani harus membeli pupuk nonsubsidi dengan harga mahal.
Hal ini tentu membebani petani. Petani sangat berharap negara hadir memberi solusi. Penyediaan pupuk merupakan bukti bahwa negara hadir untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Namun, subsidinya justru makin turun.
Berdasarkan data Ombudsman RI (21/2/2023), sejak 2019, tren belanja subsidi pupuk Indonesia turun dari Rp34,1 triliun menjadi Rp31,1 triliun pada 2020. Kemudian terus menurun hingga hanya Rp25,3 triliun pada 2023. Akibat menurunnya subsidi tersebut, hasil pertanian juga terus turun.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa produksi padi Indonesia cenderung menurun dalam satu dekade terakhir. Pada 2012 volume produksi padi nasional mencapai 69,05 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Jumlahnya sempat meningkat hingga mencapai 81,07 juta ton GKG pada 2017. Namun, mulai 2018 produksi padi anjlok menjadi 59,02 juta ton GKG dan kembali menurun pada 2019 menjadi 54,6 juta ton GKG.
Pada 2020 produksinya naik sedikit menjadi 54,64 juta GKG, tetapi turun lagi menjadi 54,41 juta ton GKG pada 2021. Selanjutnya data produksi padi pada tahun 2022 mencapai 54,74 juta ton GKG. Capaian ini walaupun naik sedikit dibandingkan tahun sebelumnya, tetapi jauh lebih rendah dibandingkan dekade lalu.
Impor Bahan Baku Pupuk
Masalah lain yang kerap kali muncul dalam hal ini adalah kebiasaan impor pemerintah yang diklaim menjadi solusi jitu atas kelangkaan. Data menunjukkan bahwa tingkat kebutuhan impor bahan baku pupuk masih sangat tinggi, yakni sekitar 70%.
Aktivitas impor ini banyak dipasok dari negeri-negeri Timur Tengah dan Afrika. Adapun pupuk jadi seperti urea diimpor dari beberapa negara seperti Kanada, Cina, Rusia, Mesir, Yordania, Australia, Malaysia, Vietnam, Jerman, Taiwan, dan lain-lain. Jadi apabila terdapat situasi perang di negara tersebut, bukan tidak mungkin faktor produksi pupuk akan terkendala dan biaya impor lebih mahal.
Kapitalisme Gagal Mewujudkan Kemandirian Industri Pupuk
Adalah sebuah keharusan bagi negara untuk memiliki independensi dalam soal industri, tetapi hal itu nihil akan dijumpai dalam sebuah negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Karut-marut pengelolaan dan distribusi pupuk membuat kita merasa butuh kemandirian industri pupuk, bukan kemudian gampang takluk pada oligarki. Pengamat kebijakan publik, Dr. Deni M. Danial, S.Sos., M.M. menilai masalah kebijakan pupuk subsidi ini sudah terjadi sejak 1969.
Setidaknya ada 10 hal yang berkaitan dengan masalah pupuk bersubsidi, di antaranya:
Pertama, subsidi tidak sepenuhnya dinikmati oleh petani, tetapi justru oleh pengecer.
Kedua, kartu tani yang dibuat pemerintah tidak sinkron. Contohnya, kartu tani dibuat 50 buah, tapi yang bisa membeli pupuk subsidi hanya 25 orang.
Ketiga, meski bersubsidi, harga pupuk tetap mahal. Inilah yang membuat ketidakseimbangan hasil produksi dengan biaya yang dikeluarkan.
Keempat, perdagangan pupuk bersubsidi antardaerah banyak yang ilegal sehingga harganya melebihi HET yang ditetapkan pemerintah.
Kelima, produksi pupuk kadang tidak sesuai dengan musim tanam petani sehingga tidak ada gunanya.
Keenam, banyak data penerima pupuk bersubsidi dipalsukan.
Ketujuh, pengecer resmi menjual pupuk bersubsidi secara bebas tanpa mengacu pada daftar kartu tani.
Kedelapan, pengecer resmi menjual pupuk bersubsidi dengan harga di atas HET.
Kesembilan, pengecer ketika menjual pupuk bersubsidi disertai paket lain yang harus dibeli oleh petani sehingga makin membebani petani.
Kesepuluh, realisasi anggaran pupuk bersubsidi kurang dari separuh dari yang seharusnya.
Ulah Mafia
Munculnya berbagai permasalahan pupuk bersubsidi tidak lepas dari kreasi mafia kapitalis. Kelangkaan rantai pasok pupuk terjadi karena ada penimbunan yang dilakukan oleh mereka. Di samping itu, mereka sengaja membuat petani bergantung dengan pupuk kimia, sedangkan jelas bahwa produsennya ialah industri yang dikuasai oleh para kapitalis.
Dengan ketergantungan ini, mereka bisa memainkan harga dengan mekanisme kelangkaan sehingga menguntungkan mereka dan merugikan petani. Pernyataan Jokowi yang mengeluhkan terhambatnya pasokan bahan baku pupuk dari Rusia dan Ukraina ke Indonesia sehingga produksi pupuk ikut terhambat hanyalah pemaparan fakta.
Rakyat membutuhkan langkah konkret pemerintah untuk menyelesaikan kendala tersebut. Bukan justru pemerintah meminta pemakluman dari rakyat. Fakta yang dipaparkan Jokowi menunjukkan ketergantungan industri pupuk kita pada impor bahan baku. Untuk menyelesaikan hal ini, kita butuh membangun kemandirian industri pupuk, bukan justru bertekuk lutut di bawah kendali oligarki yakni segelintir pemilik modal yang mengimpor bahan baku untuk kemudian dia olah dan dijual mahal pada petani. Relasi pengusaha terhadap petani tentu relasi mencari keuntungan, hal ini karena motif pengusaha adalah mencari keuntungan sebesar mungkin.
Motif ini menjadi masalah ketika di dalam sistem kapitalisme penguasanya bermental makelar. Penguasa hanya menghubungkan antara rakyat yang punya kebutuhan dengan pengusaha yang memproduksi barang-barang. Seharusnya pemerintah memposisikan dirinya sebagai ra’in dan mas’ul, yaitu pengurus dan penanggung jawab urusan rakyatnya, termasuk urusan pertanian.
Dengan posisi sebagai pengurus dan penanggung jawab ini, negara akan menjamin ketersediaan pupuk bagi petani. Ketika ada kendala bahan baku, negara akan mengerahkan para peneliti untuk mencari bahan baku subtitusi. Jika tidak ada, negara akan mencari alternatif lainnya yang bisa digunakan petani untuk mengoptimalkan hasil pertanian. Walhasil, hasil pertanian tetap tinggi.
Khilafah Memberi Solusi Tuntas
Hanya khilafah yang bisa mewujudkan negara yang berposisi sebagai pengurus dan penanggung jawab urusan rakyat. Adapun dalam sistem kapitalisme, negara justru berlepas tangan dari tugasnya mengurusi rakyat (termasuk petani). Negara bahkan menggelar karpet merah bagi swasta untuk melakukan kapitalisasi sektor pertanian demi keuntungan pemilik modal.
Sedangkan dalam Khilafah, negara berorientasi pada kemaslahatan rakyat berdasarkan timbangan syariat. Khalifah akan menjamin ketersediaan pupuk dan sarana produksi pertanian lainnya. Negara juga menjamin harganya terjangkau, bahkan jika perlu, digratiskan. Negara akan mendata kebutuhan di sektor pertanian dengan akurat. Hal ini seperti perilaku Khalifah Umar bin Khaththab yang memberi benih pada seorang pria untuk kemudian ia tanam.
Khilafah juga akan melakukan revolusi di bidang pertanian sehingga efektif dan efisien. Caranya dengan menggabungkan keilmuan para ahli dalam bidang pertanian serta menggunakan teknologi tercanggih. Negara akan berusaha sungguh-sungguh untuk menemukan teknologi yang akan meningkatkan produksi hasil pertanian.
Negara akan mengalokasikan anggaran dari baitulmal sehingga hasil pertanian akan melesat dan bisa memenuhi kebutuhan seluruh rakyat. Sedangkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pupuk di tengah masyarakat, negara akan memastikan pendistribusian dengan pengawasan ketat agar sampai pada setiap petani yg membutuhkan. Negara Khilafah tidak akan melakukan penetapan harga seperti saat ini pada sistem kapitalisme.
Khilafah akan mencegah terjadinya praktik mafia yang memonopoli pasokan pupuk. Bagi para mafia penimbun akan dikenai sanksi tegas dari khalifah. Dengan demikian, para petani akan bisa memproduksi hasil pertanian dengan maksimal. Khilafah bahkan sangat mungkin mengalami surplus pangan sehingga memiliki stok untuk jaga-jaga jika dibutuhkan pada masa depan.
Cadangan pangan ini, jika dibutuhkan bisa digunakan untuk membantu negara lain yang sedang mengalami bencana. Hal ini seperti yang terjadi pada masa Utsmaniyah. Saat itu khilafah membantu beberapa negara Eropa yang sedang mengalami paceklik.
Khatimah
Masyaallah, luar biasa, bukan? Kini saatnya kita sebagai umat Islam fokus pada solusi hakiki, yaitu solusi fundamental mengganti sistem kapitalisme dengan sistem Islam dalam naungan khilafah dengan cara terus berdakwah dan memahamkan umat akan keagungan sistem Islam ini. Allahu Akbar![]
Kemandirian pupuk justru diartikan lain sepertinya oleh negara ini. Yakni, subsidi pupuk dicabut dan petani harus menanggung sendiri. Ah, pupuk yang mahal dan sulit didapatkan tentu saja ada kebijakan negara di sana.
Barokallahu fiik, Mbak
Tidak hanya pupuk. sembako yang bersubsidi pun banyak yang dijual di atas HET. Masyarakat pun sulit mendapatkannya.
Miris deh, negara sebesar ini masih menggantungkan bahan mentah pupuk dari impor. Kalau terus impor jorjoran, mustahil negeri ini bisa mewujudkan swasembada pupuk. Artinya, rakyat masih harus mengelus dada karena mahalnya harga pupuk.
Kenyataan negara kapitalis yang dipikirkan untung melulu. Kebutuhan pupuk untuk para petani selalu tak bisa menangani. Bukti gagalnya negara mengayomi rakyatnya
Ya Allah, persoalan dari 1969? Ini sudah ganti presiden berapa kali. Memang ga niat bantu petani. Padahal eksistensi mereka harus dijaga karena menjaga pasokan pangan. Semua sektor amburadul dalam kapitalisme. Yang menang oligarki