Kampus yang bersuara lantang menuntut perubahan hanya akan menemui kebuntuan selama masih dalam tataran sistem saat ini.
Oleh. Deena Noor
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Kampus bersuara. Kalangan intelektual dari berbagai kampus menyuarakan keprihatinannya atas kondisi saat ini. Mereka juga mengkritik kepemimpinan sang presiden yang membawa negeri ini menjadi hilang arah.
Dalam pernyataan sikapnya, UI menyatakan bahwa Indonesia tampak kehilangan kemudi karena kecurangan dalam perebutan kuasa, nihil etika, dan makin tergerusnya keluhuran budaya dan kesejatian bangsa. Inilah saatnya untuk kembali menabuh genderang, membangkitkan asa, dan memulihkan demokrasi negeri ini yang terkoyak. Begitu pula suara dari Forum Guru Besar dan Dosen Unhas yang menyerukan agar masyarakat dan seluruh elemen bangsa bersama-sama mewujudkan iklim demokrasi yang sehat dan bermartabat untuk memastikan pemilu berjalan adil, jujur, dan aman. Sementara itu, Koalisi Dosen Universitas Mulawarman (Unmul) meminta agar demokrasi diselamatkan dan supaya Jokowi tidak memihak pada Pemilu 2024. (cnnindonesia.com, 2/2/2024)
Suara dari kampus meluas. Bukan hanya dari kampus yang berada di ibu kota, tetapi juga di berbagai daerah lainnya. Kampus Unibraw, UGM, Unhas, Unmul, UII Yogyakarta, Universitas Padjadjaran, Universitas Andalas, dll. bersuara seirama. Pada intinya mereka menyampaikan bahwa etika dan perilaku berdemokrasi pada pemerintahan sekarang ini telah rusak. Oleh karena itu, kritikan dari berbagai kampus ini disebut sebagai upaya penyelamatan bangsa dan memulihkan demokrasi yang tercabik.
Benarkah suara-suara kritis dari kampus ini bentuk kegagalan demokrasi dalam menyerap aspirasi rakyat? Mampukah protes kampus tersebut membawa pada perubahan yang hakiki? Bagaimana solusi Islam terkait kondisi bangsa saat ini?
Kampus Bersuara, Wujud Gagalnya Demokrasi
Maraknya kampus dan kalangan akademisi yang bersuara mengkritik Jokowi menjadi sesuatu yang cukup disyukuri di satu sisi. Kalangan intelektual akhirnya bersuara atas penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi secara brutal. Sekian lama kita tidak mendengar suara lantang dari kampus. Selama ini, para intelektual kampus seakan tenggelam dalam kesibukan intelektualitas dan keilmuannya atau malah melegitimasi kezaliman penguasa. Mereka berlepas dari rakyatnya, padahal mereka menjadi tumpuan rakyat untuk bisa mengawal kekuasaan agar berjalan dengan benar.
Di sisi lain, kita melihat bahwa seruan, protes, kritikan, manifesto, dan apa pun itu yang disampaikan pada para penguasa adalah bentuk kegagalan demokrasi menyerap aspirasi rakyat. Demokrasi yang digadang-gadang sebagai sistem yang aspiratif dan peduli pada rakyat kecil ternyata tidak demikian adanya. Demokrasi telah gagal mendengarkan suara dari bawah untuk diteruskan kepada pemegang kekuasaan sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat. Jargon "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat" hanyalah fatamorgana.
https://narasipost.com/opini/04/2023/wahai-mahasiswa-tetaplah-lantang-bersuara/
Jangankan kampus bersuara untuk menentukan masa depan, beraspirasi sedikit kritis saja dianggap membuat keributan. Kritikan sering kali dijawab dengan persekusi. Mengingatkan penguasa dianggap makar, padahal katanya dalam demokrasi ada kebebasan berpendapat. Namun faktanya, yang didengarkan adalah mereka yang sejalan dengan penguasa. Mereka yang pendapatnya kontra dengan kekuasaan tak akan didengar, apalagi diperhatikan.
Hak rakyat untuk beraspirasi sering kali dibatasi, bahkan diamputasi. Rakyat hanya dibutuhkan suaranya sekali dalam lima tahun. Namun, urusan mereka tetap diabaikan. Tak ayal bila keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat masih jauh dari kenyataan.
Kampus Bersuara untuk Perubahan Nyata?
Kampus yang bersuara lantang menuntut perubahan hanya akan menemui kebuntuan selama masih dalam tataran sistem saat ini. Para intelektual yang menyampaikan kritikan masih berpikir dalam kerangka sistem demokrasi kapitalisme. Mereka menganggap demokrasi dirusak oleh pemegang kekuasaan sehingga orangnya saja yang diperbaiki atau diganti. Mereka tidak melihat bahwa kerusakan berasal dari akarnya, yakni sistem demokrasi kapitalisme itu sendiri.
Ketika kampus bersuara, seruan perubahan yang didengungkan hanya sebatas mengganti orang, sedangkan sistemnya tak disentuh. Ibarat kendaraan mogok karena mesin yang rusak, yang diganti hanya sopirnya. Mesinnya tetap dibiarkan rusak. Selihai apa pun sang sopir, jika mesinnya rusak, kendaraan tak akan bisa jalan. Tentu saja ia tak akan bisa mengantarkan sampai tujuan.
Meskipun berganti-ganti pemimpin, jika sistemnya yang rusak, akan tetap berkutat pada hal yang serupa. Sistem yang rusak hanya akan menghasilkan kerusakan.
https://narasipost.com/opini/06/2022/menilik-sikap-antikritik-di-balik-pemerintahan-kapitalistik/
Akibat Penerapan Demokrasi
Demikian pula saat ini. Kondisi negeri yang makin tak karuan adalah akibat penerapan sistem demokrasi kapitalisme. Sistem yang telah terbukti gagal dan rusak. Sistem ini melahirkan aturan dan kebijakan liberal yang membawa kerusakan dan bertentangan dengan aturan Sang Pencipta.
Apalagi pada masa mendekati pemilu, situasi politik negeri kian tak karuan. Pejabatnya pun bertindak seenaknya. Segala cara dilakukan untuk mengamankan kekuasaan. Permainan kekuasaan berjalan tanpa nalar. Ambisi untuk menduduki tampuk kekuasaan mengabaikan akal sehat dan nurani.
Atas nama kebebasan, siapa saja bisa berkuasa asalkan ia punya modal. Kualitas individunya tak jadi soal. Mantan koruptor dan napi pun boleh mencalonkan diri dalam pemilu. Selama punya dana untuk pencalonannya, maka ia bisa melenggang. Uang yang bekerja.
Begitu pula calon pemimpin yang diajukan adalah pilihan dalam bingkai kepentingan pemilik kapital. Para kapitalis menggunakan demokrasi sebagai alat untuk memengaruhi keputusan politik. Baik dan buruk dilihat dari sisi keuntungan. Para aktivis kampus harus menyadari hal ini ketika mereka bersuara.
Adakah Perubahan Nyata?
Tak heran jika dalam politiknya tak ada yang namanya kawan atau lawan abadi. Yang ada adalah kepentingan abadi. Saat ini berkoalisi, tetapi besok bisa berganti jadi oposisi. Namun, sayangnya itu bukan demi kepentingan rakyat, melainkan demi kepentingan mereka sendiri.
Sudah berulang kali kita mengadakan pemilu, tetapi keadaan tak kunjung membaik. Sudah berganti-ganti pemimpin, apakah kondisi masyarakat makin adil dan sejahtera? Adakah perubahan nyata adanya?
Dengan hati dan pikiran yang jernih, kita bisa menilainya secara jujur. Bahwa sistem kehidupan yang diterapkan saat ini tak membawa pada perubahan ke arah yang lebih baik, nyata adanya. Perubahan yang terjadi hanyalah semu. Jangan berharap ada perubahan yang hakiki jika negeri ini masih menerapkan demokrasi.
Demokrasi telah menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan. Demokrasi dipakai untuk melegitimasi kekuasaan para pemilik modal alias kapitalis. Para pemilik kapital inilah yang sejatinya menguasai negeri. Oligarki mengendalikan demokrasi untuk mencapai tujuan. Oligarki ingin memastikan bahwa siapa pun pemimpinnya, ia tetap berdiri di sisi oligarki.
Kampus Bersuara untuk Perubahan Hakiki
Kampus tidak cukup hanya bersuara, tetapi harus mampu mewujudkan perubahan hakiki. Rasulullah telah mencontohkan cara agar perubahan hakiki itu bisa terjadi, yakni melalui dakwah pemikiran dan tanpa kekerasan. Inilah yang harus kita ikuti karena sudah terbukti kebenarannya. Keberhasilan Rasulullah mengubah masyarakat yang berada dalam kegelapan menjadi masyarakat yang dilingkupi cahaya Islam sehingga bisa menerangi seluruh dunia. Rasulullah telah mengubah peradaban jahiliah menjadi peradaban yang agung dengan Islam.
Memang tidak mudah mengubah kondisi masyarakat sekarang karena pemikiran sekularisme kapitalisme yang telah mengakar kuat. Namun, mencabut sistem rusak ini menjadi sebuah pekerjaan berat yang harus dilakukan bila ingin hidup dalam kesejahteraan yang hakiki.
Kampus Bersuara, Dakwah Pemikiran Tanpa Kekerasan
Perubahan bisa dilakukan ketika terdapat tiga aspek, yakni menyadari fakta kerusakan yang ada, metode perubahan yang dipakai, dan kehidupan ideal yang diinginkan. Tiga aspek ini tidak bisa dilepaskan dari ideologi yang dibawa. Jika ideologinya benar, ketiganya bisa selaras membawa pada perubahan yang hakiki.
Langkah pertama adalah memahamkan masyarakat bahwa kondisi saat ini telah rusak parah akibat sistem kehidupan buatan manusia seperti demokrasi kapitalisme. Akibat meninggalkan aturan Sang Pencipta, yakni Islam, masyarakat hidup dalam kerusakan. Untuk itu, jalannya adalah kembali pada Islam.
Setelah masyarakat sadar bahwa mereka harus hidup dalam aturan Islam dan meninggalkan aturan yang batil, selanjutnya dipahamkan tentang perubahan yang benar. Metodenya dengan dakwah pemikiran tanpa kekerasan seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Kampus Bersuara untuk Islam
Para aktivis kampus yang bersuara hendaknya melakukan dakwah pemikiran untuk mengajak masyarakat berpikir menurut Islam. Masyarakat diajak untuk melihat fakta apa pun melalui sudut pandang Islam. Ketika fakta yang ada tidak sesuai dengan Islam, maka harus diubah agar sesuai dengan Islam. Masyarakat harus diajak untuk berpikir tentang makna hidup sebenarnya, tugas manusia di dunia, dan konsekuensi dari setiap perbuatan.
Masyarakat juga dipahamkan mengenai baiknya kehidupan yang diatur dengan Islam. Aturan Islam mengatur seluruh urusan manusia, mulai dari masalah keluarga hingga masalah negara. Aturan Islam yang lengkap ini akan memungkinkan segala masalah mendapatkan solusi.
Dengan pengaturan Islam, masyarakat akan tertata secara baik. Kehidupan akan diliputi keberkahan dari langit dan bumi sebagaimana firman Allah dalam surah Al-A’raf ayat 96, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi ... ”
Khatimah
Dengan ramainya kampus bersuara, sudah jelas bahwa negeri ini harus melakukan perubahan secara revolusioner. Perubahan harus mengakar, bukan parsial semata. Itu hanya bisa dilakukan bila Islam yang menjadi kepemimpinan berpikir. Dengan perubahan ala Islam, kerusakan yang melingkupi masyarakat akan dapat dihentikan. Oleh karena itu, kembali kepada Islam menjadi pilihan yang harus diperjuangkan.
Wallahua’lam bishawab[]
Wah bener banget Mba mesti ada perubahan hakiki yang berlandaskan aqidah Islam
Setuju sekali, Bu Dewi
MasyaaAllah. Barakallahfiik Mba Deena.. Tugas pengemban dakwah semakin sulit ketika media sosial dipenuhi konten-konten yang tidak mendidik dan semakin merusak pemikiran kaum muslim.. Generasi muda dan masyarakat kian merosot pemikirannya dan selalu menganggap bahwa pergantian pemimpin dapat menjadi solusi atas mengguritanya problematika di negeri ini.
Generasi muda muslim harusnya menjadi penggerak perubahan yg hakiki.. bukan mengikut pada maunya mainstream atau penguasa..
Kampus bersuara adalah bukti bahwa kaum intelektual mulai berani menyuarakan pendapatnya sekaligus bukti bahwa suara yang didengar tetaplah mereka yang berkuasa.
Semoga suaranya untuk ke arah perubahan yg benar ya..
Barakallah mbak Dina.
Bener. Telah lama para intelektual diam, kita rindu para intelektual yang bersuara lantang untuk mengungkapkan kebenaran. Semoga saja ini bukan hanya kritikan, tetapi ajang kebangkitan. Para intelektual muda bukan hanya mengkritik pemerintahan saja, tetapi mencari solusi hakiki bagi berbagai negeri ini. Dakwah pemikiran harus terus digemakan agar rakyat pun ikut bangkit untuk mengambil bagian dalam perjuangannya
Aamiin..
Semoga makin banyak yg sadar dan ikut berjuang ya..
Betul, mba. Tatkala para intelektual mulai gelisah adalah kewajaran karena mereka selama ini bekerja dengan mengedepankan logika. Namun harus dipertajam hingga menukik bukan pada individu melainkan sistemnya yang memang tidak layak dipertahankan. Semoga ke depan, kampus makin bersuara lantang mendorong perubahan hakiki.
Aamiin
Masyaallah, keren tulisannya.
Ya, siapapun pemenang pemilu, pemenang sejatinya adalah para kapitalis. Dan kita rakyat biasa, bukan kehidupannya semakin lebih baik. Malah justru semakin rumit dan semrawut.
Semoga banyak generasi intelektual bangsa yang peka lagi sadar dengan fakta yang ada saat ini.
Aamiin..
Semoga rakyat makin sadar dan rindu perubahan yg hakiki..