Stabilisasi pasokan dan harga pangan mustahil bisa efektif jika dilakukan dengan kebijakan ekonomi kapitalisme yang tidak berpihak pada rakyat.
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com & Penulis Rempaka Literasiku/Bianglala Aksara)
NarasiPost.Com-Pangan menjadi salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Namun sayang, harganya yang terus melonjak dari bulan ke bulan, menjadikan kebutuhan dasar yang satu ini begitu sulit dijangkau rakyat kecil. Realitas ini pula yang membuat Perum Bulog menetapkan arah kebijakan pangan dengan memperkuat pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk menstabilkan pasokan dan harga pangan.
Dikutip dari republika.co.id (10/2/2024), General Manager Unit Bisnis Bulog Sentra Niaga, Topan Ruspayandi, mengatakan bahwa Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sangat dibutuhkan, terutama di tengah besarnya tantangan pangan dunia saat ini. Topan pun menyebut, secara nasional ketersediaan beras Bulog saat ini sebesar 1,2 juta ton. Di sisi lain, Bulog juga memiliki perencanaan impor beras. Untuk tahun 2024 misalnya, izin impor beras sebanyak 500 ribu ton. Jumlah tersebut diharapkan bisa masuk seluruhnya pada akhir Maret ini, termasuk sisa penugasan impor tahun 2023 yang masih tersisa 100 ribu ton.
Lantas, apa upaya yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki stabilitas pasokan dan harga pangan? Apa pula yang menyebabkan negeri ini tidak mampu mandiri dalam menyediakan pasokan pangan? Bagaimana Islam memenuhi kebutuhan rakyatnya secara mandiri?
Upaya Stabilisasi Pasokan
Instabilitas pasokan dan harga beras yang terus naik, jelas butuh penyelesaian tuntas. Pemerintah memang tak tinggal diam dalam menyikapi permasalahan ini. Pemerintah telah menugaskan Perum Bulog untuk melaksanakan Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Ada beberapa langkah yang dilakukan Bulog untuk menyelesaikan persoalan pasokan dan harga pangan, baik dari sektor hulu maupun hilir.
Pada sektor hulu, misalnya, Bulog melakukan penyerapan produk pangan (termasuk beras) di dalam negeri. Penyerapan tersebut dikhususkan pada beras petani yang dilakukan dengan penetapan harga pembelian pemerintah oleh Badan Pangan Nasional. Sedangkan dari sisi hilir, pemerintah menyelenggarakan operasi pasar yang saat ini diberi nama program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Dua program tersebut dilakukan oleh Bulog sebagai langkah untuk menyalurkan cadangan beras pemerintah ke masyarakat.
Menurut Direktur Utama Perum Bulog, Bayu Krisnamurthi, dengan jumlah stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang dimiliki Bulog saat ini, ditambah dengan sisa kuota penugasan impor tersebut, stok beras disebut sangat kuat untuk program stabilitas harga di tahun 2024. (bulog.co.id, 21/12/2023)
Selain itu, Bulog juga telah merealisasikan bantuan pangan berupa beras sebanyak 1,46 juta ton dari total pagu 1,49 juta ton hingga 20 Desember 2023 lalu. Sedangkan untuk operasi pasar atau yang dinamakan SPHP, Bulog sudah menyalurkannya sebanyak 1,1 juta ton sepanjang tahun 2023. Upaya tersebut diharapkan mampu menstabilkan pasokan dan menurunkan harga pangan.
Sayangnya, kebijakan Bulog tersebut masih diwarnai dengan impor. Impor lagi-lagi menjadi solusi atas permasalahan pasokan pangan di negeri ini. Lantas, mampukah stabilisasi pasokan tetap terjaga jika terus mengandalkan impor?
Stabilisasi Minim Kemandirian
Kebijakan impor untuk menstabilkan pasokan dan harga pangan dalam negeri terus dilakukan dari waktu ke waktu. Mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah impor beras yang dilakukan pemerintah pada tahun 2023 sebesar 3,06 juta ton. Jumlah tersebut pun mencatatkan rekor sebagai impor terbesar dalam waktu lima tahun terakhir. (cnnindonesia.com, 15/1/2023)
Itu baru tentang beras. Belum lagi tentang komoditas pangan lainnya yang juga ditopang oleh kebijakan impor, seperti sayur-sayuran, buah-buahan, garam, gula, dll. Padahal, kebijakan impor bukanlah solusi atas permasalahan pangan di negeri ini. Impor hanyalah cara negara untuk menutupi kegagalannya dalam menyediakan pangan bagi rakyat.
Selain itu, meski pemerintah melalui Bulog sering kali mengeklaim bahwa stok pasokan beras dalam negeri telah aman, tetapi tetap saja tak mampu menurunkan harga beras di pasaran. Harga beras selalu fluktuatif, bahkan cenderung terus melonjak.
Jika ditelisik lebih jauh, upaya menstabilkan pasokan pangan dengan melakukan impor memang menyimpan banyak pertanyaan. Mengapa negeri yang dikaruniai SDA melimpah, tetapi masih melakukan impor pangan, bahkan dalam jumlah yang besar? Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, menyebut bahwa permasalahan pangan di negeri ini tak lepas dari ketergantungan terhadap impor. Menurutnya, kebijakan pemerintah dalam mewujudkan swasembada beras merupakan kebijakan populis yang hanya bersifat sementara. Jika pasokan pangan dalam negeri kurang, maka impor pun dilakukan sebagai solusi instan dari pemerintah.
https://narasipost.com/opini/11/2022/gawat-darurat-tata-kelola-pertanian/
Padahal, stabilisasi pasokan dan harga beras tak cukup hanya dengan mengambil kebijakan jangka pendek, seperti menyerap gabah dari para petani, menggelar operasi pasar, maupun impor. Seharusnya negara memiliki strategi kedaulatan pangan jangka panjang dan bersifat tetap, di antaranya dengan memperbaiki regulasi kedaulatan pangan di negeri ini. Misalnya, memperbaiki ketersediaan pupuk yang masih langka dan mahal, menyelesaikan persoalan prasarana pertanian yang masih minim, meningkatkan infrastruktur penunjang, mendorong peningkatan produksi, dan memberikan jaminan pasar kepada para petani. Sayangnya, hal ini masih minim perhatian pemerintah.
Kesalahan Paradigma
Karut-marutnya persoalan pangan di negeri ini, termasuk tingginya harga pangan, sejatinya tak lepas dari seluruh kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada rakyat. Seluruh kebijakan tersebut sejatinya lahir dari sistem rusak kapitalisme yang menjadi acuan dalam melahirkan berbagai kebijakan. Sebut saja kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian yang justru semakin menyulitkan rakyat.
Kebijakan intensifikasi pertanian yang digagas pemerintah justru semakin melemahkan produktivitas pertanian. Bagaimana tidak, kebijakan negara yang mengurangi subsidi bibit, pupuk, dan sarana produksi (saprodi) telah menyebabkan mahalnya ongkos produksi. Saat ongkos produksi naik, pemerintah bukannya mencari solusi untuk menurunkan biaya produksi, justru membuka lebar keran impor. Kondisi ini pun membuat harga pangan lokal kalah bersaing dengan pangan impor.
Begitu juga dengan kebijakan ekstensifikasi pertanian yang justru bertolak belakang dengan impian mewujudkan swasembada pangan. Masifnya alih fungsi lahan pertanian untuk perumahan, pembangunan jalan, dan kawasan industri, justru semakin menyempitkan jumlah lahan pertanian. Akibatnya, produksi pangan pun ikut menurun. Jika sudah seperti ini, bukankah kedaulatan pangan nasional akan lemah?
Persoalannya tak sebatas kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi saja. Sudah menjadi rahasia umum jika kebijakan yang lahir dari sistem kapitalisme hanya difokuskan pada faktor produksi, sedang aspek distribusinya justru diserahkan kepada mekanisme pasar. Akibat kebijakan inilah pangan hanya beredar secara merata kepada orang-orang kaya, sedangkan orang miskin tidak merasakan pemerataan distribusinya. Kesalahan paradigma ini adalah buah nyata dari penerapan sistem kapitalisme yang gagal mewujudkan stabilitas pangan.
Jaminan Pemenuhan Kebutuhan dalam Islam
Penerapan sistem ekonomi kapitalisme telah mengantarkan rakyat pada kemiskinan sistemis. Hal ini tentu berbeda dengan penerapan sistem ekonomi Islam. Penerapan sistem ekonomi Islam tegak di atas landasan akidah dan memfokuskan seluruh kebijakannya pada kemaslahatan rakyat. Dalam sistem ini, kesejahteraan rakyat benar-benar menjadi prioritas utama. Negara benar-benar menjadi pelindung dan pengurus seluruh urusan rakyat.
Dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyat, negara (Khilafah) memiliki beberapa mekanisme.
Pertama, Khilafah akan membuat kebijakan untuk memperkuat kedaulatan pangan. Dalam hal ini penguasa akan menerapkan kebijakan intensifikasi pertanian. Berbeda dengan kebijakan kapitalisme, intensifikasi dalam Islam justru akan mempermudah para petani dalam meningkatkan produksi. Negara juga akan memberikan subsidi untuk meningkatkan produktivitas, baik berupa pupuk, benih, alat pertanian, dll. Peningkatan produktivitas inilah yang nantinya akan menjaga persediaan pangan.
Kedua, Khilafah juga menerapkan kebijakan ekstensifikasi pertanian. Di sinilah negara benar-benar hadir sebagai pengurus rakyat, bukan pengurus para korporat. Meskipun negara melakukan alih fungsi lahan, tetapi semuanya hanya ditujukan untuk kepentingan seluruh rakyat. Di sisi lain, alih fungsi lahan tidak akan merusak lingkungan karena negara sangat memperhatikan kelestarian lingkungan.
Ketiga, negara menetapkan kebijakan distribusi yang merata dan adil. Negara akan memastikan tidak adanya hambatan dalam distribusi hingga ke ujung rantai distribusi, seperti ritel. Selain itu, negara akan bertanggung jawab penuh terhadap pemenuhan kebutuhan pokok seluruh rakyat, baik pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Dalam hal kepemilikan, negara akan memberikan hak kepemilikan lahan pertanian kepada rakyat dengan jalan menghidupkan tanah yang mati. Artinya, siapa pun yang mampu menghidupkan tanah mati, maka secara otomatis tanah itu menjadi miliknya. Bisa juga dilakukan dengan cara memagari tanah mati tersebut, jika para petani tidak langsung menggarapnya.
Namun, seluruh kebijakan tersebut hanya akan terlaksana jika negara berperan secara langsung dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya. Penerapan seluruh kebijakan dalam sistem Islam akan melahirkan berbagai keberkahan bagi seluruh rakyat, sebagaimana janji Allah Swt. dalam surah Al-A'raf ayat 96:
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ
Artinya: "Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi ...."
Khatimah
Mahalnya harga bahan pangan di suatu negara menjadi salah satu indikasi bahwa negara tersebut tidak sejahtera. Inilah realitas yang terjadi di Indonesia. Fakta ini sekaligus menunjukkan kegagalan negara dalam menyejahterakan rakyatnya. Stabilisasi pasokan dan harga pangan mustahil bisa efektif jika dilakukan dengan kebijakan ekonomi kapitalisme yang tidak berpihak pada rakyat. Satu-satunya cara mewujudkan stabilisasi tersebut adalah dengan menjadikan Islam sebagai solusi dan menerapkan hukum-hukumnya dalam seluruh aspek, termasuk pertanian. Hanya di bawah peradaban Islam, kesejahteraan rakyat akan terwujud dengan sempurna.
Wallahu a'lam bishawab. []
Salah satu upaya untuk mewujudkan stabilitas dan swasembada pangan yang dilakukan pemerintah adalah menggunakan food estate. Tapi faktanya, upaya ini juga gagal karena banyak hal yang tidak tepat di dalam program tersebut.
Foot estate itu seperti mencari solusi dengan menambah masalah ya, hehe ...
Karena pemerintah tidak pernah bersungguh-sungguh mewujudkan swasembada pangan dan memberikan perhatian besar kepada para petani, akhirnya jadi begini. Semua hanya ilusi dan harga pangan terus naik. Apalagi jelang ramadhan begini.
Semoga tulisan-tulisan mencerahkan begini dibaca juga oleh pemangku kebijakan.
Betul mbak. Memang begitulah karakter kapitalisme.
Aamiin
Katanya ingin mewujudkan swasembada pangan, tapi dilapangan justru mengurangi subsidi bibit, pupuk, dan pestisida.. ditambah lagi, kalau pasokan dalam negeri kurang bukannya diproduksi secara mandiri, eh malah membuka kran impor.. paradoks..paradoks dah ni sistem kufur....
Iya, begitulah kalau solusinyalahir dari sistem kapitalisme. Amburadul semuanya
Pangan selalu jadi masalah, harga beras terus melambung tinggi. Inilah era kapitalisme.
Sepakat hanya Islam solusi tuntasnya
Betul bu, ini problem sistemis. Jadi gak mungkin terselesaikan kalau solusinya kapitalisme
Ya Allah, kalau bicara pangan ini bikin nyesek dada, Mbak. Dengan harga pangan, terutama beras yang kian meroket. Rakyat "ngap-ngapan" untuk memenuhinya. Harga pangan lain tak jauh beda, melambung juga. Hiks
Butuh sebuah institusi penerap Islam kaffah yang bisa menyejahterakan dan menjamin stabilitas pangan.
Barokallahu fiik, Mbak
Betul mbak Afi. Rakyat kecil sangat berat dengan harga beras yang terus naik tapi gak mau turun. Di kampung saya sudah sekitar 770 ribu yang 50 kg.
Wa fiik barakallah mbak
Faktanya sekarang beras sangat mahal. Ibu-ibu harus mengatur kebutuhan dapur agar dapur bisa tetap ngebul. Harga pangan melesat, bahkan meroket.
Betul mbak. Sayangnya kita orang Indonesia gak bisa hemat makan nasi ya, hehe ...
Barakallah mbak....
Faktanya sekarang beras sangat mahal. Ibu-ibu harus mengatur kebutuhan dapur agar dapur bisa tetap ngebul. Harga pangan melesat, bahkan meroket.
Ya begitulah, nyesek ya