Sinyal SOS Dokter, Bagaimana Nasib Dunia Kesehatan?

Sinyal SOS Dokter, Bagaimana Nasib Dunia Kesehatan?

"Sejak peristiwa hijrahnya Rasulullah saw. tahun 622 M sampai runtuhnya Kekhilafahan Turki Ustmani 1924 M, Al-Qur'an dan hadis tidak pernah ditinggalkan sebagai petunjuk dalam bernegara dan akidah Islam sebagai fondasinya. Sepanjang masa itu, kesejahteraan melingkupi seluruh alam. Segenap sektor kehidupan menggunakan tata kelola Islam termasuk kesehatan."

Oleh. Haifa Eimaan
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Tersedianya layanan kesehatan yang baik merupakan salah satu indikator kesejahteraan suatu negara. Terpenuhinya sarana dan prasarana kesehatan dengan fasilitas modern, tersedianya obat-obatan dengan harga terjangkau, hingga tercukupinya tenaga dokter baik umum maupun spesialis, merupakan beberapa faktor penentu bertanggungjawabnya negara dalam memberikan layanan kesehatan kepada rakyatnya.

Bagaimana dengan Indonesia? Jawabannya bisa ditebak. Indonesia tentu saja masih jauh dari kategori negara yang sejahtera. Dari sisi rasio ketersediaan dokter saja masih sangat memprihatinkan. Dilansir dari dataindonesia.id (20-05-2022), berdasarkan data Kementerian Kesehatan per tahun 2021, disebutkan bahwa persebaran dokter mencapai 173.779 orang. Dengan perincian dokter umum sebanyak 103.771 orang, dan dokter gigi 23.934 orang. Sedangkan untuk dokter spesialis berjumlah 41.891 orang, dokter gigi spesialis ada 3.243 orang, dokter subspesialis dengan kompetensi tambahan lainnya 685 orang, dokter subspesialis dasar 311 orang, dan 4 orang dokter subspesialis dengan kompetensi tambahan penunjang.

Angka-angka ini terkesan besar, tetapi sebenarnya minim jika dibandingkan 270 juta lebih penduduk yang harus dilayani. Standar yang ditetapkan WHO, idealnya perbandingan antara dokter dan penduduk adalah 1/1000. Sedangkan rasio ketersediaan dokter dan penduduk di Indonesia dari hanya sebesar 0,46/1000. Data dari WHO dan juga World Bank ini menempatkan Indonesia di posisi ke-3 terendah di ASEAN setelah Laos dan Kamboja. Sedangkan di dunia, Indonesia berada di peringkat 139 dari 195 negara. Dengan deretan angka ini, wajar bila muncul sinyal SOS dari dunia kedokteran. Krisis dokter itu nyata adanya.

Bila ditinjau dari persebarannya, dikutip dari Goodstat.com (15-10-2023), sebanyak 71.286 dokter atau setara dengan 57,63% tersebar di Jawa. Berikutnya Sumatra sebanyak 26.193, menyusul Sulawesi dengan 9.495 dokter, lalu Bali dan Nusa Tenggara dengan jumlah dokter 7.034 orang. Dari data ini menunjukkan bahwa persebaran tenaga dokter tidak merata. Sebagian besar dokter terkonsentrasi di Jawa.

Dengan kondisi tersebut, sangat wajar bila banyak pasien dari golongan kaya di seluruh penjuru Indonesia berobat ke Jawa. Sementara orang kaya di Jawa atau Sumatra banyak berobat ke luar negeri. Mereka mengejar teknologi pengobatan terbaru dan dokter subspesialis tertentu karena negara lain memiliki beragam pilihan metode pengobatan. Walaupun harus merogoh kocek lebih dalam, mereka tidak hiraukan demi mendapatkan layanan kesehatan terbaik. Hal ini berbanding terbalik dengan masyarakat miskin. Mereka harus puas dengan layanan minimal daerah.

PR Besar Bidang Kesehatan

Minimnya tenaga dokter menunjukkan kegagalan pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi rakyat. Padahal ketercapaian rasio dokter dan penduduk 1/1000 merupakan kunci sistem kesehatan. Negara juga gagal menjalankan amanat Undang-Undang Dasar pasal 34 ayat 3 yang menyatakan bahwa negara penanggung jawab atas ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan yang layak. Demikian pula dengan penyediaan fasilitas pelayanan umumnya.

Kurangnya tenaga dokter ini diakibatkan oleh penerapan sistem kesehatan kapitalis. Sistem kapitalisme menjadikan layanan kesehatan sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Penyediaan fasilitas kesehatan dan dokter-dokter di sistem ini dibangun atas paradigma untung rugi. Semakin bagus sebuah pusat layanan kesehatan, maka biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien semakin mahal agar pihak penyedia layanan kesehatan tidak merugi.

Kondisi ini turut menciptakan mahalnya biaya pendidikan dokter. Dilansir dari cxomedia.id (13-10-2022), orang tua harus menyiapkan biaya sekitar 150 juta rupiah untuk pendidikan kedokteran anaknya. Angka itu belum termasuk biaya program profesi sebesar 7,5-15 juta rupiah. Sedangkan biaya untuk pendidikan dokter spesialis lebih mahal lagi tergantung program spesialisasinya. Untuk program reguler, spesialisasi ilmu penyakit dalam biayanya sekitar Rp26 juta dan spesialisasi ilmu bedah kardiovaskular biayanya 23,5 juta rupiah. Apabila melalui program khusus, untuk spesialis penyakit dalam dibutuhkan biaya 61 juta rupiah dan program spesialis ilmu bedah kardiovaskular biayanya 41 juta rupiah. Dengan biaya setinggi ini, tidak mengherankan kalau banyak dokter umum yang tidak mau mengambil program spesialisasi.

Setelah lulus S1 kedokteran maupun PPDS, mereka otomatis masuk ke dunia kesehatan yang sudah di kapitalisasi. Biaya sekolah yang mahal menjadikan mereka berpikir tentang cara mengembalikan modal. Alih-alih melayani dengan tulus dan bersungguh-sungguh, idealisme mereka tergerus oleh sistem kapitalisme. Segenap potensi mereka terbajak oleh kepentingan bisnis industri kesehatan semata. Mereka terperangkap dalam alur kehidupan sistem kapitalisme yang tidak manusiawi bahkan turut serta menggerakkan laju kapitalisasi bidang kesehatan.

Tidak akan pernah ada dalam sistem kapitalisme layanan kesehatan yang murah, tetapi berkualitas. Ada uang, ada barang. Ada harga, ada rupa. Demikianlah tagline, sistem ekonomi kapitalisme yang berlaku juga di bidang kesehatan.

Khilafah Solusi Tuntas

Allah Swt. berfirman di dalam Al-Qur'an surah Yunus ayat 57.

يٰۤاَيُّهَا النَّاسُ قَدۡ جَآءَتۡكُمۡ مَّوۡعِظَةٌ مِّنۡ رَّبِّكُمۡ وَشِفَآءٌ لِّمَا فِى الصُّدُوۡرِۙ وَهُدًى وَّرَحۡمَةٌ لِّـلۡمُؤۡمِنِيۡنَ

"Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Rabb kalian, yaitu penyembuh bagi penyakit yang ada di dalam dada, sebagai petunjuk, dan rahmat bagi orang yang beriman."

Dikutip dari tafsirq.com, Imam Al Jalalain menafsirkan bahwa Al-Qur'an sebaik-baik petunjuk bagi manusia dan penyembuh bagi penyakit-penyakit. Di antaranya penyakit dari akidah yang rusak dan meragu-ragukan tentang kebenaran Islam. Sebaliknya, Al-Qur'an (Islam) merupakan rahmat bagi orang yang beriman.

Sejak peristiwa hijrahnya Rasulullah saw. pada 622 M sampai runtuhnya Kekhilafahan Turki Ustmani pada tahun 1924 M, Al-Qur'an dan hadis tidak pernah ditinggalkan sebagai petunjuk dalam bernegara dan akidah Islam sebagai fondasinya. Sepanjang masa itu, kesejahteraan melingkupi seluruh alam. Segenap sektor kehidupan menggunakan tata kelola Islam termasuk kesehatan.

Khalifah silih berganti sejak masa Rasulullah saw. sampai khalifah terakhir Ustmani, Sultan Abdul Majid II, telah menjadi sebaik-baik penanggung jawab dalam memberikan pelayanan kepada umat. Khilafah menyediakan sarana dan prasarana kesehatan, obat-obatan, dan dokter secara gratis dengan kualitas terbaik. Seluruh rakyat bisa berobat gratis dan lokasinya terjangkau. Apabila rawat inap, sepulang dari rumah sakit, pasien diberi uang saku. Sedangkan para dokter dan tenaga medis mendapatkan gaji setara 50–750 dolar, mendapatkan rumah, alat transportasi, dan kebutuhan dasar lainnya ditanggung Khilafah. Betapa luar biasa sistem kesehatan yang dibangun berlandaskan akidah Islam dengan aturan yang merujuk pada Al-Qur'an dan hadis. Tidak ada untung rugi sama sekali. Khalifah sebagai raa’in akan mewujudkan kemaslahatan rakyat.

Rasulullah saw. pernah mendapat hadiah dari Raja Maqauqis di Mesir seorang dokter pribadi. Akan tetapi, Rasulullah saw. menetapkannya sebagai dokter umum. Dalam riwayat lain, Anas ra. menuturkan ada rombongan mualaf dari kabilah Urainah. Mereka jatuh sakit di Madinah, Rasulullah saw. sebagai kepala negara meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola baitulmal di dekat Quba. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara cuma-cuma sampai sehat.

Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra. juga pernah mendatangkan tenaga medis untuk mengobati Aslam secara gratis. Seluruhnya merupakan dalil wajibnya negara memberikan pelayanan kesehatan secara mandiri. Negara tidak boleh bersandar kepada pihak lain ataupun bekerja sama dengan swasta. Dalil inilah yang dipegang dan diterapkan di sepanjang sejarah peradaban Islam.

Pada masa pemerintahan Harun Al Rasyid, rumah sakit didirikan, pendidikan dokter diutamakan, dan sarana farmasi dibangun. Rumah sakit Islam (bimaristan) memiliki ruang khusus untuk perempuan, dilengkapi dengan gedung-gedung obat-obatan. Beberapa di antaranya dilengkapi perpustakaan dan membuka pendidikan kedokteran. Philip K. Hitti dalam The History of Arabs (2018) mengisahkan juga tentang seorang dokter yang bernama Jibril Ibnu Bakhtisyu (w. 830 M). Keluarga Bakhtisyu "melahirkan" dokter sebanyak 6 atau 7 generasi hingga paruh abad ke-11. Salah satu murid Jibril Al Bakhtisyu yang terkenal adalah Yuhanna Ibnu Masawaih, hidup tahun 777-857 M. Ibnu Masawaih menghasilkan risalah sistematik berbahasa Arab tentang oftalmologi. Karyanya merupakan yang paling tua yang masih dapat dipelajari hingga kini. Murid Ibnu Masawaih juga seorang ahli oftalmologi bernama Hunain bin Ishaq.

Masih di masa Kekhilafahan Abbasiyah, Khalifah Al Muqtadir Billah (w. 913 M), memberi mandat pada wazirnya, Sinan Ibnu Qurroh untuk melakukan akreditasi pada seluruh dokter praktik yang berjumlah 913 dokter. Bagi dokter-dokter yang dinyatakan lulus, sebanyak 860 orang diberikan sertifikat. Berikutnya Sinan diminta oleh Khalifah Al Muqtadir untuk menyusun daftar dokter yang akan dikirim ke berbagai tempat sambil membawa obat-obatan. Sebagian dokter lainnya melakukan kunjungan harian ke berbagai penjara. Fakta-fakta semacam ini memperlihatkan kesungguhan khalifah dalam mewujudkan kesehatan publik yang saat itu belum dikenal di tempat lain. Masyaallah. Pada era itu telah ada upaya meningkatkan standar ilmiah profesi dokter. Demikian pula dengan sistem administrasi rumah sakitnya yang efisien.

Khatimah

Dari paparan di atas, tampak jelas sistem kesehatan ala kapitalisme dan Islam sangat berbeda. Sinyal SOS dari dokter tidak akan pernah terjawab. Nasib dunia kesehatan negeri ini pun tidak akan mengalami banyak perubahan. Apabila masih mempertahankan sistem kapitalisme yang jelas-jelas memisahkan aturan Islam dengan kehidupan, maka sudah saatnya mencampakkan aturan kapitalisme dan menggantinya dengan aturan Islam, yang bersumber dari akidah yang sahih. Insyaallah, seluruh problem kesehatan teratasi dan rakyat akan dilingkupi kesejahteraan di segenap kehidupannya. Wallahu a'lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Penulis Inti NarasiPost.Com
Haifa Eimaan Salah satu Tim Penulis Inti NarasiPost.Com. pernah memenangkan Challenge bergengsi NarasiPost.Com dalam rubrik cerpen. beliau mahir dalam menulis Opini, medical,Food dan sastra
Previous
MinyaKita Langka dan Mahal, Masihkah Minyak Kita?
Next
Ajak Investor Asing Sama dengan Mengundang Penjajah?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram