"Islam memfungsikan negara sebagai raa’in, yaitu pihak yang memenuhi kebutuhan rakyat. Dengan demikian, berbagai kebijakan yang dibuat adalah semata-mata demi kemaslahatan umat dengan menggunakan politik ekonomi Islam."
Oleh. Hesti Andyra
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Sekitar bulan September 2021 harga minyak goreng di Indonesia mulai merangkak naik. Harga terus meroket sampai pertengahan 2022 hingga menyentuh harga Rp35.000 per liter. Pemerintah berupaya mengatasi kenaikan ini dengan menyalurkan minyak goreng kemasan sederhana sebanyak 11 juta liter lewat operasi pasar dengan HET Rp14.000 per liter. Minyak goreng kemasan sederhana yang diluncurkan pemerintah ini diberi nama dagang Minyakita. Pemerintah mensyaratkan kebijakan Domestic Price Obligation (DPO) bagi para produsen minyak goreng untuk mendapatkan izin ekspor. Para pemilik industri minyak goreng ini harus memproduksi minyak murah dalam kemasan agar bisa mendapatkan kuota ekspor CPO. Semakin besar Minyakita yang diproduksi dan dipasarkan di dalam negeri, maka kuota ekspor yang diberikan pemerintah akan semakin besar. (kompas.com, 03/02/2023)
Dengan harga minyak kemasan premium yang tetap bertengger tanpa ada tanda-tanda penurunan harga, Minyakita menjadi satu-satunya pilihan masyarakat. Secara teori dengan kewajiban produksi Minyakita yang dibebankan pada produsen, seharusnya minyak goreng kemasan sederhana ini tersedia dalam jumlah besar di masyarakat. Namun kenyataannya, produk yang dipersiapkan untuk menekan harga minyak di pasaran ini justru belakangan mulai langka. Bahkan di beberapa daerah harga Minyakita mulai melewati HET sampai menyentuh angka Rp20.000 per liter.
Dikutip dari cnn.indonesia.com (01/02/2023), Ekonom Core Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan ada beberapa faktor penyebab kelangkaan Minyakita di pasaran. Faktor pertama adalah berkurangnya alokasi pangsa CPO untuk komoditas pangan, salah satunya minyak goreng. Sedangkan faktor yang kedua adalah masalah distribusi yang disebabkan oleh para spekulan yang melakukan penimbunan.
Minyak goreng adalah salah satu kebutuhan pokok rakyat. Kelangkaan minyak menjadi bukti tak terbantahkan bahwa terjadi kesalahan pengelolaan dalam pemenuhan hak rakyat. Fluktuasi harga CPO di pasar internasional serta krisis energi yang menghantam negara di berbagai belahan dunia, membuat industri lebih mengutamakan kuota ekspor dan mengurangi produksi dalam negeri. Jika harga dalam negeri lebih rendah dari luar negeri, bisa dipastikan pengusaha akan memilih harga yang lebih tinggi. Sesuai dengan ilmu ekonomi kapitalisme, pengusaha akan memilih ekspor untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan.
Penerapan sistem ekonomi kapitalisme melahirkan spekulan yang menimbun barang dan memainkan harga. Mereka ibarat tangan tak terlihat yang menguasai jaringan distribusi dan menjadi penentu harga pasar suatu produk. Sementara itu, pemerintah yang seharusnya berfungsi sebagai pelayan rakyat malah menambah beban rakyat dengan mengurangi subsidi dan mematok harga berbagai bahan kebutuhan pokok rakyat. Sejatinya, semua pengusaha menjadikan keuntungan sebagai tujuan, sehingga mustahil “rela” memenuhi kebutuhan rakyat dengan harga yang murah dan untung yang sedikit.
Berbeda jika sistem ekonomi yang diterapkan adalah sistem ekonomi Islam. Pemerintah sebagai pe- ri’ayah umat akan memastikan hilangnya segala bentuk penyelewengan perdagangan seperti penimbunan, monopoli, spekulan, serta beredarnya produk-produk haram. Pemerintah akan menjamin perdagangan berjalan sesuai syariat tanpa perlu mematok atau intervensi harga sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
“Allah-lah sesungguhnya penentu harga, penahan, pembentang, dan pemberi rezeki. Sesungguhnya, aku berharap agar menghadap ke hadirat Allah, sementara tidak ada seorang pun yang menuntutku karena suatu kezaliman yang aku lakukan padanya, dalam masalah harta dan darah.” (HR Ahmad)
Islam juga melarang penimbunan karena menyulitkan rakyat untuk membeli barang yang ditimbun. Spekulan menumpuk barang dagangan dan menunggu harga naik demi bisa menjualnya dengan harga yang mahal. Akibatnya, tentu rakyat kembali mengalami kesulitan karena penimbun barang bisa mendominasi pasar dan memaksakan harga sekehendak hatinya. Rakyat pun terpaksa membeli dengan harga tinggi. Islam tegas melarang praktik penimbunan dan hukumnya haram sebagaimana diriwayatkan dalam Sahih Muslim dari Said bin Al-Musayyab, bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda,
“Siapa saja yang melakukan penimbunan, dia telah berbuat salah.” (HR. Muslim)
Islam memfungsikan negara sebagai raa’in, yaitu pihak yang memenuhi kebutuhan rakyat. Dengan demikian, berbagai kebijakan yang dibuat adalah semata-mata demi kemaslahatan umat dengan menggunakan politik ekonomi Islam. Alih-alih tersandera kepentingan para pemilik modal sebagaimana dalam sistem kapitalisme, negara dipastikan mampu berdikari memenuhi kebutuhan rakyat dengan harga yang murah, mengendalikan kondisi harga, dan menjaga ketersediaan stok. Negara menjamin terealisasinya pemenuhan semua kebutuhan umat sekaligus meningkatkan taraf kehidupan. Wallaahu a'lam bisshawaab.[]