Minyak Sulit di Negeri Penghasil Sawit, Kok Bisa?

"Padahal, sebagian besar lahan yang mereka gunakan untuk menanam kelapa sawit itu hanyalah hak guna usaha (HGU) yang diberikan oleh pemerintah. Namun, mereka enggan untuk memenuhi beberapa kewajiban sebagai kompensasi dari pemberian HGU tersebut

"Padahal, sebagian besar lahan yang mereka gunakan untuk menanam kelapa sawit itu hanyalah hak guna usaha (HGU) yang diberikan oleh pemerintah. Namun, mereka enggan untuk memenuhi beberapa kewajiban sebagai kompensasi dari pemberian HGU tersebut."

Oleh. Mariyah Zawawi
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Dalam beberapa minggu terakhir, masyarakat kesulitan mendapatkan MinyaKita. Minyak yang diproduksi untuk masyarakat menengah ke bawah itu tiba-tiba menghilang. Kalau pun ada di pasaran, harganya naik di luar dugaan. Jika harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh pemerintah hanya Rp14.000 per liter, sekarang bisa mencapai Rp20.000 per liternya.

Menurut Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, kelangkaan MinyaKita dan kenaikan harganya dipicu oleh perubahan konsumsi masyarakat. Mereka yang biasanya membeli minyak premium, beralih menggunakan MinyaKita. Padahal, MinyaKita diproduksi untuk mereka yang berpenghasilan rendah.

Di samping itu, juga terjadi penurunan suplai pasokan dari produsen minyak goreng semakin berkurang sejak Desember 2022. Dari yang awalnya 100,94%, turun menjadi 86,31% dan turun lagi menjadi 71,81% pada bulan Januari 2023. Nah, mengapa hal ini bisa terjadi?

Ladang Cuan Para Taipan

Sebagai penghasil minyak sawit terbesar di dunia, devisa yang dihasilkan dari kelapa sawit cukup besar. Pada tahun 2021, devisa dari sawit mencapai Rp429,7 triliun. Ini setara dengan 8,17% APBN tahun 2022. Meskipun demikian, hanya 30% dari devisa tersebut yang masuk ke Indonesia.

Hal itu terjadi karena hasil kebun sawit tersebut sebagian besar diekspor dalam bentuk minyak sawit mentah. Harganya yang menggiurkan, membuat para produsen minyak pun tergoda. Saat itu, harga minyak sawit mentah di pasar global dua kali lipat dari harga di dalam negeri. Maka, dapat ditebak, para pengusaha itu pun lebih memilih untuk menjual hasil produksinya ke luar negeri.

Akibat ulah para pengusaha kelapa sawit tersebut, harga minyak goreng di Indonesia pun membumbung tinggi. Masyarakat pun kelimpungan dibuatnya. Sebab, mereka harus merogoh kocek lebih dalam untuk mendapatkan salah satu bahan pangan yang mereka butuhkan. Mereka yang menggunakan minyak goreng untuk mencari sesuap nasi pun banyak yang kebingungan. Banyak yang kemudian terpaksa menghentikan usahanya.

Pemerintah kemudian menetapkan kebijakan DMO (domestic market obligation) kepada para eksportir kelapa sawit. Mereka diizinkan untuk mengekspor CPO setelah menyetorkan DMO dengan perbandingan 1:6. Untuk satu ton DMO, mereka boleh mengekspor enam ton CPO.

DMO itu kemudian diolah oleh para produsen menjadi minyak goreng dengan nama MinyaKita. Pemerintah pun meluncurkan minyak murah berkualitas pada tanggal 6 Juli 2021. Maka, masyarakat kelas bawah pun dapat bernapas lega karena salah satu kebutuhannya dapat terpenuhi.

Sayangnya, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Belum genap satu tahun, minyaKita telah mendapatkan masalah. Salah satunya, dari para produsen minyak goreng itu sendiri. Menurut Sahat Siagian, Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia, para produsen enggan memproduksi minyaKita karena mereka tidak mendapatkan keuntungan. Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia itu, menjelaskan bahwa biaya produksi minyaKita lebih tinggi dari HET yang ditetapkan oleh pemerintah.

Sebelumnya, para produsen minyak goreng masih mendapatkan keuntungan dari ekspor minyak mentah atau crude palm oil (CPO) saat harganya tinggi. Namun, sejak harga CPO di pasar dunia turun, mereka pun enggan untuk mengekspor minyak sawit mentah. Keengganan untuk melakukan ekspor CPO itu juga karena adanya Bea Keluar (BK) yang harus ditanggung. Hal ini semakin mengurangi keuntungan mereka. (katadata.co.id, 7/2/2023)

Inilah watak asli kapitalis. Sikap individualis yang dikembangkan oleh sistem ini membuat mereka hanya memikirkan kepentingan diri sendiri. Padahal, sebagian besar lahan yang mereka gunakan untuk menanam kelapa sawit itu hanyalah hak guna usaha (HGU) yang diberikan oleh pemerintah. Namun, mereka enggan untuk memenuhi beberapa kewajiban sebagai kompensasi dari pemberian HGU tersebut.

Bagaimana Investor Asing Menguasai Sawit Indonesia

Meskipun menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia, ternyata penguasa lahan sawit di negeri ini adalah pihak swasta. Pada tahun 2019, jumlah pekebun rakyat memang mencapai 99,92%. Namun, mereka hanya menguasai 41,35% lahan. Sementara itu pemerintah hanya 0,01% dan menguasai 4,23% lahan. Lahan paling luas justru dikuasai swasta, yang mencapai 54,2%. Padahal, jumlah mereka hanya 0,07%. (tempo.co, 31/5/2022)

Data dari Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa pada awal tahun 2022, luas tutupan sawit nasional mencapai 15,98 juta hektar. Dari jumlah tersebut, seluas 7,9 juta hektar dikuasai oleh investor asing. Yang terbanyak adalah investor dari Malaysia, yang memiliki 3,7 juta hektar lahan.

Menurut Wiko Saputra, pengamat kebijakan ekonomi, investor dari Malaysia mulai masuk ke Indonesia saat terjadi krisis moneter pada tahun 1997-1998. Saat itu, Indonesia berupaya keluar dari krisis dengan mengajukan pinjaman ke IMF. IMF kemudian memberikan beberapa syarat. Salah satunya adalah, Indonesia harus menerima investor asing di berbagai sektor usaha, termasuk di sektor perkebunan kelapa sawit.

Sebelumnya, pemerintah Indonesia sangat membatasi kepemilikan asing, termasuk dalam sektor ini. Sebagian besar perkebunan kelapa sawit dikuasai oleh BUMN, PTPN, swasta nasional, atau perkebunan sawit rakyat. Namun, semenjak keran untuk investor asing dibuka lebar, sedikit demi sedikit usaha yang menguasai hajat hidup banyak orang itu pun dilepaskan. Perusahaan yang bermasalah, termasuk PTPN pun dilelang dan dijual kepada asing.

Terlebih, adanya perubahan sistem sentralisasi menjadi desentralisasi yang semakin memudahkan investor asing untuk masuk ke daerah. Sebab, pemerintah pusat melimpahkan kewenangan perizinan ke daerah. Maka, para pengusaha, termasuk minyak kelapa sawit, dapat melakukan investasi ke daerah dengan mudah.

Perusahaan-perusahaan tersebut juga sering kali tidak mematuhi aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Misalnya, tidak membayar pajak, melakukan perusakan lingkungan, atau mengusir penduduk asli yang mendiami wilayah yang dijadikan perkebunan. Misalnya, terjadinya kebakaran hutan seluas 17,115 hektar pada tahun 2015. Kemudian terjadinya konflik agraria antara perusahaan dengan masyarakat adat. Menurut KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), 50% konflik agraria yang terjadi pada tahun 2021 melibatkan sektor perkebunan sawit. (betahita.id, 21/3/2022)

Meskipun telah jelas kemudaratan yang diperoleh dari investor asing, tetapi pemerintah masih mempertahankan keberadaan mereka. Berbagai kelonggaran pun diberikan. Terlebih, dengan disahkannya UU Ciptaker yang semakin memanjakan para investor asing. Padahal, ini memungkinkan terjadinya penguasaan segelintir orang terhadap barang yang menjadi kebutuhan masyarakat.

Solusi Parsial

Pemerintah berupaya untuk mencari solusi atas kelangkaan MinyaKita. Di antaranya adalah dengan menaikkan DMO dari 300 ton menjadi 400 ton. Namun, hal ini dipandang belum menyentuh akar persoalan.

Seperti yang diungkapkan oleh ekonom Bhima Yudhistira dari Center of Economics and Law Studies (CELIOS). Menurut Bhima, kebijakan ini belum dapat menjamin ketersediaan pasokan minyaKita. Sebab, kebijakan ini tidak disertai dengan sanksi yang tegas bagi perusahaan yang tidak menyetor sesuai kewajiban.

Di samping itu, selisih harga yang sangat besar antara penjualan di dalam dan di luar negeri juga belum terselesaikan. Demikian pula dengan kebijakan B35 yang semakin mengurangi ketersediaan bahan baku minyak goreng. Semestinya, bahan pangan tetap diutamakan untuk pangan, bukan untuk yang lainnya. Dengan demikian, tidak akan terjadi kelangkaan minyak goreng di pasaran.

Sistem Islam Memperhatikan Kebutuhan Masyarakat

Penguasa dalam Islam harus menjamin tersedianya berbagai barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Baik itu kebutuhan terhadap sandang, pangan, serta papan, maupun kebutuhan akan pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Salah satu cara untuk menjamin tersedianya barang dan jasa itu adalah tidak membiarkan sekelompok orang untuk menguasainya.

Karena itu, Islam melarang penimbunan terhadap barang yang dibutuhkan masyarakat. Sebab, hal itu akan menyulitkan orang lain yang membutuhkannya. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,

"Tidak akan menimbun, kecuali orang yang salah."

Di samping itu, dalam Islam penguasa tidak boleh mematok harga. Sebab, penetapan harga merupakan hak Allah Swt. Rasulullah saw. bersabda dalam hadis riwayat Abu Dawud,

"Sesungguhnya seorang laki-laki mendatangi Rasulullah dan berkata, 'Ya Rasulullah, patoklah harga!' Beliau menjawab, 'Tidak, biarkan saja.' Kemudian, seorang laki-laki yang lain mendatangi Beliau dan berkata, 'Ya Rasulullah, patoklah harga!' Beliau menjawab, 'Tetapi, Allah yang berhak menurunkan dan menaikkan harga."

Maka, yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk menjaga tersedianya bahan pangan ini adalah mengembalikan kepemilikan perkebunan sawit kembali menjadi milik umum. Dengan demikian, rakyat dapat mengolah sendiri sesuai kebutuhan. Jika rakyat kesulitan, pemerintah dapat membantu pengolahannya, kemudian mendistribusikan dengan harga yang terjangkau, bukan dalam rangka mencari keuntungan.

Demikianlah, kesempurnaan sistem Islam dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Maka, kesejahteraan akan diraih dan rida Allah Swt. akan didapat.

Wallaahu a'lam bishshawaab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Mariyah Zawawi Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Maraknya Human Trafficking, Bukti Gagalnya Negara Menyejahterakan Rakyat?
Next
Childfree Branch of Mindfree!
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram