Memalak Pajak pada Rakyat, Kesalahan Mendasar Kapitalisme

Memalak Pajak pada Rakyat, Kesalahan Mendasar Kapitalisme

”Beragam jenis pajak ini tidak membawa dampak positif bagi rakyat. Alih-alih rakyat merasakan dampak positif, penguasa malah mengancam pidana dan sanksi moral jika tidak atau telat membayar pajak. Kebijakan ini jelas menggambarkan bahwa sistem kapitalis sekuler adalah rezim pemalak, bukan pe-ri’ayah dan pemberi solusi bagi rakyat.”

Oleh. Halizah Hafaz Hutasuhut, S.Pd.
(Kontributor NarasiPost.Com, Aktivis Dakwah, dan Praktisi Pendidikan)

NarasiPost.Com-Pajak adalah salah satu sumber pendapatan terbesar mayoritas negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pajak juga berkontribusi besar terhadap fasilitas dan layanan yang diberikan negara untuk warga negaranya. Namun, faktanya pemerintah akan menerapkan pemblokiran Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) mulai tahun 2023 ini. Blokir diterapkan jika masa berlaku STNK selama lima tahun telah habis, namun tidak diperpanjang dalam kurun waktu dua tahun berturut-turut. Hal ini dilakukan sesuai implementasi UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, khususnya pasal 74 tentang penghapusan data registrasi kendaraan bermotor bagi penunggak pajak 2 tahun setelah masa berlaku STNK. (medanbisnisdaily.com, 27/01/2023)

Kebijakan seperti ini tentu lazim diambil oleh negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Sebab, pajak menjadi bagian dari kebijakan fiskal yang dianggap membantu negara untuk mencapai kestabilan ekonomi. Maka, tidak aneh jika sistem ini mudah mengeluarkan kebijakan tersebut. Dalam sistem kapitalisme sekuler, pajak adalah cara termudah untuk mendapatkan dana segar. Sehingga, mampu menutupi defisit anggaran negara serta membantu melunasi utang yang membengkak. Inilah alasan mengapa negara seolah memalak rakyat dengan adanya pajak di berbagai barang dan jasa.

Tidak hanya itu, pajak dalam negara kapitalisme memiliki beragam jenisnya. Seperti pajak pusat yang dipungut oleh negara atau pemerintah pusat yaitu Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan lain-lain. Selanjutnya, ada pajak daerah yang pemungutannya dilakukan oleh pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota seperti Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Restoran, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Parkir, dan seterusnya.

Beragam jenis pajak ini tidak membawa dampak positif bagi rakyat. Alih-alih rakyat merasakan dampak positif, penguasa malah mengancam pidana dan sanksi moral jika tidak atau telat membayar pajak. Kebijakan ini jelas menggambarkan bahwa sistem kapitalis sekuler adalah rezim pemalak, bukan pe- ri’ayah dan pemberi solusi bagi rakyat. Lalu, bagaimana dengan Indonesia yang memiliki sumber daya alam melimpah, tetapi menjadikan pajak sebagai sumber tetap pendapatan negaranya?

Tentu, sebabnya karena pemerintah tidak menguasai cara pengelolaannya secara penuh. Akhirnya, penguasa hanya menjadi fasilitator antara rakyat dengan pihak yang mengelola kekayaan negara. Pemerintah tidak mengelolanya sendiri, namun melepasnya kepada swasta nasional atau asing. Jadi, yang menguasai dan mengelola sumber daya alam dan kekayaan negara adalah perusahaan tersebut. Inilah wujud dari liberalisasi ekonomi dalam sistem kapitalisme.

Mirisnya, negara saat ini hanya menjadi wadah bisnis kaum kapitalis yang rakus. Negara hanya mendapatkan pajak dari perusahaan swasta yang wajib dibayarkan tiap tahunnya. Sementara kekayaan alam yang melimpah tidak bisa dinikmati rakyat Indonesia. Bahkan, rakyat dijadikan sasaran pemalakan pajak oleh negara.

Seharusnya pajak tidak dijadikan sumber utama keuangan negara. Karena, dalam negara Islam sumber pendapatan utama negara itu bukan dari pajak. Melainkan ada tiga sumber pemasukan negara, yaitu dari harta milik negara seperti fai (anfal, ganimah, khumus), jizyah, kharaj, 'usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, dan lain-lain.

Selanjutnya, ada harta milik umum yang dikelola negara secara mandiri demi kepentingan dan kemaslahatan rakyat seperti tambang, hutan, danau, laut, dan lain-lain. Sebagaimana dalam hadis, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api,” (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Dalil inilah yang membuktikan bahwa harta milik umum seperti sumber daya alam tidak boleh diprivatisasi. Terakhir, harta dari sedekah kaum muslim seperti zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, serta zakat ternak.

Dari tiga jenis sumber pemasukan inilah negara mengelola keuangan. Sehingga, mampu menjamin kebutuhan rakyat seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, sarana informasi, dan fasilitas umum lainnya. Selain itu, pemasukan ini digunakan untuk pembelanjaan keperluan negara dan keperluan jihad, seperti pembangunan industri dan lain-lain. Pada faktanya, tiga jenis sumber pemasukan ini sudah sangat mencukupi semua kebutuhan rakyat dan keperluan negara.

Adapun pajak dalam sistem Islam yang dikenal dengan istilah dharibah, akan dipungut manakala kas baitulmal negara benar-benar tidak cukup untuk memenuhi kewajibannya. Selain itu, pajak dipungut bagi kaum muslimin saja. Pengenaan pajak diambil dari sisa nafkah (setelah pemenuhan kebutuhan hidup) dan harta orang-orang kaya, yaitu dari sisa pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder yang makruf.

Pungutan pajak tidak boleh melebihi kebutuhan sebagaimana mestinya. Apabila kebutuhan baitulmal sudah terpenuhi serta mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya dari sumber-sumber penerimaan rutin, pungutan pajak harus dihentikan. Jadi pajak dalam sistem Islam tidak bersifat permanen.

Dengan pengelolaan yang benar dan tepat, negara tidak akan bingung untuk mencari sumber pendapatan negara. Namun, semua kebijakan ini hanya bisa terterapkan dalam sistem Khilafah, yakni sistem yang membebaskan rakyat dari pemalakan pajak.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Halizah Hafaz Hts S.Pd <p style="text-align: left">Kontributor NarasiPost.Com</p>
Previous
Semua Bukan Milik Kita
Next
Bread Fruit, Buah Lokal yang Mendunia
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram