Kemiskinan Bikin Stunting Makin Genting?

"Pendekatan dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan yang menimbulkan peningkatan angka stunting tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak saja. Berbagai pihak baik itu individu, masyarakat, dan negara harus ikut terlibat aktif berkontribusi menjalankan solusi yang ada.”

Oleh. Wulan Amalia Putri, SST
(Kontributor NarasiPost.Com dan Pekerja Sosial Ahli Muda Dinas Sosial Kab. Kolaka)

NarasiPost.Com-Kemiskinan adalah fenomena klasik di berbagai lapisan masyarakat, terutama di negara berkembang. Tidak hanya berkaitan dengan ekonomi, sosial, dan budaya, namun berdampak pada berbagai hal dalam kehidupan masyarakat. Stunting merupakan istilah kekinian yang merujuk pada gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak juga acap kali dikaitkan dengan kemiskinan.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia (Menko PMK), Muhadjir Effendy, mengungkapkan bahwa permasalahan kemiskinan ekstrem dan stunting saling beririsan. Bahkan jika dipersentasekan, irisan tersebut mencapai angka 60%. “Penyebab stunting dilatarbelakangi oleh fenomena kemiskinan ekstrem, seperti kendala dalam mengakses kebutuhan dasar, akses air bersih, fasilitas sanitasi, dan lainnya. Saya sampaikan, stunting ini 60 persen beririsan dengan keluarga miskin ekstrem,” ujar Muhadjir dalam Siaran Pers. (m.republika.co.id,14/01/2023)

Jika merujuk pada definisi stunting, pendapat Menko PMK tak dapat dinafikan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), stunting adalah gangguan perkembangan pada anak yang disebabkan gizi buruk, terserang infeksi berulang, maupun stimulasi psikososial yang tidak memadai. Seorang anak dikatakan stunting jika tinggi badan menurut usianya lebih dari dua standar deviasi di bawah ketetapan standar pertumbuhan anak WHO.

Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan bahwa prevalensi balita yang mengalami stunting di Indonesia sebanyak 24,4% pada tahun 2021. Artinya, hampir seperempat balita di Indonesia mengalami stunting pada tahun tersebut. Target penurunan stunting di Indonesia sudah ditetapkan sebesar 14% pada tahun 2024. Saat ini kasus stunting masih di angka 24%. (dataindonesia.id,14/06/2022)

Berdasarkan data, prevalensi stunting sempat mengalami kenaikan hingga menyentuh angka 37,2% pada 2013 dan 30,8% pada 2018. Pemerintah menargetkan prevalensi stunting di Indonesia turun di bawah 14% pada tahun 2024. Karena itu, target penurunan setiap bulannya adalah 2,7%.

Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) Wilayah 1 SSGI tahun 2021 digelar secara berani pada hari Selasa (26/7). SSGI 2022 menyasar 345.000 rumah tangga balita yang ada di 34.500 blok sensus pada 34 provinsi di Indonesia. SSGI tahun 2022 ini telah berlangsung sejak Maret 2022 dan akan berakhir pada tahap penyusunan laporan dan rekomendasi kebijakan pada bulan Oktober 2022.

Kemiskinan Masih Mengintai

Seperti halnya penanganan stunting, berbagai program juga dikembangkan untuk mengentaskan kemiskinan yang dialami masyarakat. Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), ataupun Bantuan Sosial lainnya hadir di tengah masyarakat sebagai upaya untuk meminimalisasi dampak kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Namun demikian, angka kemiskinan masih saja memprihatinkan.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada Maret 2022 terdapat 26,16 juta penduduk miskin di Indonesia. Angka ini setara dengan 9,54% dari populasi nasional. Dilihat dari sebarannya, Provinsi Jawa Timur menduduki posisi sebagai wilayah yang paling banyak memiliki warga miskin dan Kalimantan Utara sebagai wilayah yang paling sedikit warga miskin. (databoks.katadata.co.id, 01/12/2022)

Dibandingkan tahun 2020 angka kemiskinan memang menurun, namun tidak signifikan. Dampak Covid-19 memang masih terasa dan tak dapat dimungkiri. Namun jika dihubungkan dengan target prevalensi stunting, rasanya jauh panggang dari api. Masyarakat miskin pada dasarnya tidak melulu disebabkan karena kurangnya harta atau tidak adanya aset. Masih suburnya budaya kemiskinan sangat memengaruhi perilaku masyarakat.

Selain itu, banyak oknum yang “tiba-tiba miskin” saat bantuan akan dicairkan. Bahkan, tidak menyadari bahwa sesungguhnya masih banyak masyarakat yang lebih miskin dibandingkan dirinya. Fenomena bantuan yang tidak digunakan sebagaimana mestinya juga tidak bisa dinafikan. Bantuan yang seharusnya untuk biaya sekolah atau perbaikan gizi masyarakat, disalahgunakan untuk kebutuhan yang sifatnya konsumtif atau konsumerisme akibat pengaruh kapitalisme.

Di sisi lain, paradigma masyarakat mengenai makanan bergizi masih keliru. Persoalan harga makanan ataupun tampilannya menjadi standar gizi. Padahal, persoalan nutrisi makanan yang dikonsumsi tidak berkaitan dengan harga komoditas tersebut. Tempe dan tahu misalnya, masih dianggap sebagai makanan kampung sehingga seolah-olah hanya dikonsumsi oleh orang kampung. Padahal, jenis makanan ini jika diolah dengan baik tentu akan memenuhi standar gizi rumah tangga yang akan menjauhkan anak dari kondisi stunting.

Kemiskinan juga berkaitan dengan lapangan pekerjaan yang tidak memadai dan kemampuan masyarakat untuk mengakses fasilitas kesehatan. Problem tersebut memang sangat kompleks, namun tentu saja ada jalan yang sifatnya solutif untuk memperpendek irisan kemiskinan dan stunting.

Butuh Solusi Sistemis

Pendekatan dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan yang menimbulkan peningkatan angka stunting tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak saja. Berbagai pihak baik itu individu, masyarakat, dan negara harus ikut terlibat aktif berkontribusi menjalankan solusi yang ada. Kemiskinan yang menyebabkan ketidakmampuan masyarakat untuk menyediakan makanan yang bergizi, tidak dapat mengakses layanan kesehatan yang memadai, tidak dapat menjalin hubungan psikososial harmonis, atau bahkan tidak dapat memberikan perlindungan sosial bagi anak, mesti dientaskan bersama.

Sebagai seorang muslim yang beriman kepada Allah Swt., meyakini bahwa Allah akan mencukupkan rezeki manusia selama ia hidup. Hal ini tentu harus ditanamkan dengan kuat. Sebagaimana firman Allah, “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam kitab yang nyata (lauhulmahfuz)."(QS. Hud: 61)

Ini artinya, selama seseorang hidup Allah Swt. menyediakan rezeki untuknya. Namun apakah ini berarti kita berpangku tangan dalam mendapatkan rezeki? Tentu saja tidak, segala upaya perlu dilakukan. Dalam hal ini peran negara sangat besar. Negara harus memastikan lapangan pekerjaan bisa didapatkan oleh seluruh angkatan kerja dengan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya untuk masyarakat. Karena itu, pengelolaan sumber daya alam (SDA) dengan mempekerjakan masyarakat lokal tanpa dominasi asing dapat mendongkrak terciptanya lapangan kerja baru.

Ketersediaan bahan pangan yang mudah dibeli dengan harga yang terjangkau juga perlu diperhatikan. Jangan sampai keterlibatan mafia harga bahan pokok menyulitkan masyarakat untuk menyajikan makanan bergizi dan cukup nutrisi bagi keluarganya. Hal ini perlu disertai dengan edukasi makanan sehat yang dapat dibudidayakan di lingkungan sekitar. Jangan sampai pola hidup hedonis yang dipengaruhi nafsu belaka memperlebar peluang terjadinya stunting karena tidak sesuai nilai gizi.

Ketahanan keluarga juga perlu terus digaungkan. Hal ini agar fungsi-fungsi keluarga dapat dirasakan oleh seluruh anggota keluarga, termasuk bagaimana membentuk hubungan psikososial yang baik di antara ayah, ibu, anak, dan lingkungan sekitar. Keluarga yang harmonis dengan relasi yang hangat juga akan mengantarkan anak pada kondisi yang ideal. Ayah dan ibu menyajikan makanan terbaik untuk anak, anak pun merasa bersemangat untuk mengonsumsinya.

Kondisi psikososial seperti ini tidak mungkin tercipta, jika keluarga bergaya hidup kapitalis dengan keyakinan sekuler. Ketaatan pada Allah Swt., Tuhan Yang Maha Esa menjadi tameng bagi keluarga untuk menghadapi segala beban hidup. Kondisi kemiskinan akan dipandang sebagai ranah ikhtiar untuk melengkapi seluruh aktivitas.

Karena itu, keterlibatan seluruh elemen untuk turut hadir dalam membawa perubahan dan kebaikan pada masyarakat sangat penting. Individu bertanggung jawab untuk mengusahakan yang terbaik bagi hidupnya, dan masyarakat memiliki kepedulian sosial pada kondisi sekitarnya. Secara sistemis, negara hadir tidak hanya sebagai pembuat regulasi, tetapi juga membersamai masyarakat dalam mengatasi permasalahan yang ada. Langkah teknis maupun strategis yang dilakukan tidak hanya sebagai aksi sosial, namun juga sebagai perwujudan nyata dari tugas mengurusi masyarakat.

Wallahu a’lam Bish shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Wulan Amalia Putri, SST Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Salah Aturan Lahirkan Anak Pelaku Kejahatan
Next
Arab Saudi Bikin Kasino dan Sambut Yahudi, Wujud Liberalisasi?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram