”Rezim dengan sistem atau kebijakan yang berlaku saat ini tidak memiliki grand strategy ketahanan energi nasional. Padahal, masalah ketahanan energi adalah masalah yang sangat krusial, karena sumber daya alam menjadi sumber kekayaan nomor satu di negeri ini.”
Oleh. Novita Sari Gunawan
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Bukan rahasia lagi, Indonesia memiliki potensi area minyak dan gas bumi (migas) terbesar. Di Indonesialah adanya prospek sumber migas yang paling bagus karena tersebar di banyak titik dan area di seluruh penjuru negeri ini. Namun, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, saat ini pihaknya justru sedang berupaya untuk memompa peningkatan produksi minyak bumi di Indonesia. Sebab, cadangan minyak di Indonesia diperkirakan hanya mampu bertahan sampai 10 tahun saja. (cnbcindonesia.com, 10/02/2023)
Ekspor Besar-besaran
Apabila melihat sistem dan regulasi terkait tata kelola sumber daya alam di Indonesia, kita patut mengelus dada. Realitasnya, Indonesia hanya bisa memasok hasil tambang dalam bentuk mentah. Setelah itu, Indonesia tidak memiliki kompetensi untuk menciptakan nilai tambah dari hasil tambangnya.
Kekayaan hasil tambang kita, termasuk migas, batu bara, dan sumber daya alam lainnya, justru diekspor besar-besaran. Mirisnya, ekspor itu dilakukan untuk mendukung industrialisasi dan menggerakkan roda ekonomi asing. Negara lain, yakni negara majulah yang melakukan aktivitas produksinya. Setelah bahan mentah migas tersebut sudah menjadi bahan jadi atau berupa BBM, mereka kembali mengekspor atau dengan kata lain BBM tersebut diimpor oleh Indonesia. Dengan rela, Indonesia membelinya kembali dengan harga yang mahal.
Sejatinya ini sungguh kontradiksi dengan apa yang tertera dalam kebijakan pemerintah dalam aspek pemanfaatan sumber daya alam yang semestinya dialokasikan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Krisis Ketahanan Energi
Begitulah kondisi yang memprihatinkan terkait dengan ketahanan sumber daya alam khususnya migas di Indonesia akibat diterapkannya sistem kapitalisme. Tentu tak salah apabila banyak pihak, yakni para ahli dan masyarakat yang mempertanyakan kembali bagaimana komitmen pemerintah dalam upaya meningkatkan ketahanan energi dalam negeri. Rezim dengan sistem atau kebijakan yang berlaku saat ini tidak memiliki grand strategy ketahanan energi nasional. Padahal, masalah ketahanan energi adalah masalah yang sangat krusial, karena sumber daya alam menjadi sumber kekayaan nomor satu di negeri ini.
Realitasnya, sekitar 90% sumber daya alam Indonesia masih dikuasai oleh asing, dengan berdirinya 10 perusahaan besar asing yang menguasai perusahaan produksi migas di negeri ini. Seperti Chevron Pacific Indonesia yang wilayah kerjanya di Rokan dengan produksi minyak 224,3 ribu BPH kemudian Mobil Cepu LTD yang wilayah kerjanya di Cepu dengan produksi minyak 204.2 BPH lalu Total E&P Indonesia dengan wilayah kerjanya di Mahakam, memiliki produksi minyak 52 ribu BPH dan perusahaan-perusahaan asing lainnya.
Tentu hal itu kian menunjukkan kelemahan negara dalam menjaga kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan energi di negeri ini. Rezim dengan kebijakannya belum terlihat memiliki gagasan atau blueprint dalam pengelolaan migas secara mandiri.
Inilah problem utama kesalahan sistem ekonomi kapitalisme. Ketimpangan pun muncul akibat aturan kepemilikan umum dalam perekonomian kapitalis yang menyebabkan negara menjadi mandul. Sumber daya ekonomi dan pelayanan publik yang secara karakteristiknya tidak bisa dimiliki individu dan seharusnya menjadi milik bersama tersebut oleh negara diserahkan kepada swasta dan investor asing sehingga berdampak rakyat harus membayar mahal untuk mendapatkan layanan publik dan barang-barang yang dihasilkan dari sumber daya alam, termasuk BBM.
Sementara, swasta dan investor asing ini justru memperoleh pendapatan tinggi dari sektor-sektor ekonomi yang seharusnya dimiliki bersama dan digunakan untuk menyejahterakan masyarakat. Inilah realitas sistem ekonomi kapitalisme yang akan senantiasa membuahkan ketidakadilan ekonomi dan sosial di tengah masyarakat.
Andalkan Pajak untuk Pendapatan
Di sisi lain, menjadi rahasia umum bahwa pendapatan primer negeri yang mengadopsi kapitalisme ini adalah dari pajak. Alih-alih mendapatkan sumber pendapatan utama dari sumber daya alam terutama migas. Kebijakan kapitalistik justru akan meningkatkan target pendapatan pajak terus-menerus ditambah lagi dengan membebankan cicilan utang negara kepada rakyat.
Dengan menaikkan tax ratio, menjadi salah satu cara termudah bagi pemerintah untuk tidak perlu berpikir keras mencari cara bagaimana meningkatkan pendapatan utama dari sektor sumber daya alam. Konsekuensinya, rakyat akan terus menjadi sapi perahan dengan berbagai pungutan pajak yang terus bertambah untuk membayar utang demi utang dan biaya pembangunan negara.
Islam Akan Mengembalikan Kepemilikan Umum kepada Rakyat
Islam sebagai ideologi memiliki pengaturan dan kebijakan pengelolaan migas yang akan dijalankan berdasarkan fondasi sistem ekonomi Islam. Ideologi Islam yang diterapkan dalam negara Khilafah akan menjalankan prinsip kepemilikan. Dengan prinsip kepemilikan, Islam menetapkan bahwa seluruh sumber daya alam tidak bisa dimiliki oleh privat terlebih lagi oleh asing.
Kepemilikan sumber daya alam adalah milik seluruh rakyat. Negara bertanggung jawab dan berperan untuk menjadi pengelolanya demi menjadikan SDA ini bermanfaat penuh untuk rakyat. Termasuk menjadi sumber utama pembiayaan untuk mendukung seluruh kegiatan negara seperti halnya industri, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Berbeda dengan sistem kapitalisme yang membiarkan asing untuk mengeruk dan mengambil keuntungan sebesar-besarnya atas SDA negeri ini.
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata sesungguhnya Nabi saw. bersabda: Orang muslim berserikat dalam tiga hal yaitu: air, rumput (pohon), api (bahan bakar), dan harganya haram. Abu Said berkata: maksudnya air yang mengalir. (HR. Ibnu Majah)
Dalam Islam, negara Khilafah dengan visi politiknya akan memiliki kontrol atas industri energi serta keahlian teknologi untuk menyuling mengolah dan memproses sumber daya alam tersebut Hal ini tentu memerlukan adanya sinergi dengan sistem pendidikan maupun sistem ekonomi negara untuk menyiapkan indikator-indikator serta sumber daya manusia yang akan menunjang tercapainya tujuan itu. Sehingga pada akhirnya, Indonesia akan melepaskan ketergantungan pada keahlian asing. Wallahualam.[]