Genting Stunting Tak Dianggap Penting?

Genting Stunting Tak Dianggap Penting?

”Ya, beginilah penampakan suatu negeri yang telah condong pada sistem kapitalisme. Di mana pertumbuhan ekonomi serta pembangunan dalam negeri menjadi target yang lebih diutamakan, dibandingkan memperhatikan persoalan yang ada di tengah-tengah masyarakat, khususnya untuk persoalan stunting.”

Oleh. Nur Hajrah MS
(Kontributor NarasiPost.Com dan Aktivis Dakwah Nisa Morowali)

NarasiPost.Com-Rabu, 25 Januari 2023 diperingati sebagai Hari Gizi Nasional yang ke-63. Kementerian Kesehatan mengangkat tema “Protein Hewani Cegah Stunting”. Menurut WHO, stunting adalah gangguan pada pertumbuhan anak yang disebabkan oleh gizi buruk, sering terserang infeksi, serta stimulasi psikososial yang tidak memadai. Persentase kasus stunting di Indonesia sendiri mengalami penurunan pada 2022, yaitu mencapai 21,6 persen di mana di tahun sebelumnya mencapai 24,4 persen.

Dilansir dari website Dinas Kominfo Kabupaten Humbang Hasundutan, Dr. dr. Supriyantoro, Sp.P, MARS selaku Ketua Umum IndoHCF, mengatakan kasus stunting di Indonesia mengalami penurunan. Tetapi, angka kasus stunting ini menempatkan Indonesia pada peringkat lima di dunia dan peringkat dua di Asia Tenggara. Itulah mengapa pemerintah Indonesia terus berupaya agar kasus stunting di Indonesia bisa mengalami penurunan. Bahkan, Presiden Joko Widodo sampai mengeluarkan Perpres Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Kasus Stunting. Di mana pemerintah menargetkan kasus stunting bisa turun tiga persen setiap tahunnya, sehingga pada 2024 penurunan persentase stunting bisa mencapai 14 persen.

Penyebab Stunting

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada dua faktor penyebab stunting, yaitu faktor lingkungan dan faktor genetik atau hormonal. Secara umum, faktor lingkungan merupakan penyebab kasus stunting terbanyak. Di antaranya, asupan gizi dan nutrisi yang kurang terhadap anak, ibu hamil, dan ibu menyusui. Kondisi lingkungan tempat tinggal yang tidak layak dan tidak bersih. Tidak adanya sarana air bersih dan MCK, serta kurangnya sarana fasilitas kesehatan. Sedangkan secara genetik, kasus anak kerdil atau stunting karena faktor keturunan.

Salah satu upaya pemerintah untuk menurunkan angka stunting, yaitu ikut bergabung dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Di mana SDGs ini merupakan suatu rencana aksi global yang berisikan 17 tujuan dan 169 target yang disepakati oleh para pemimpin dunia, termasuk Indonesia. SDGs berharap semua tujuan dan target ini bisa tercapai pada 2030. Untuk kasus stunting sendiri, SDGs menempatkannya pada tujuan urutan kedua. Di mana bunyi tujuan itu adalah, "Tanpa kelaparan, menghilangkan kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik, serta meningkatkan pertanian berkelanjutan".

Jika diperhatikan, poin-poin target yang ingin dicapai SDGs ini lebih menekankan pada produktivitas agrikultura dan ketahanan pangan. Hal ini sejalan dengan prioritas pembangunan Indonesia, yaitu ketahanan pangan dan penciptaan lapangan kerja. Target-target tujuan SDGs nomor dua ini dapat dilihat secara lengkap melalui alamat website SDGs.

Namun, jika melihat kenyataan yang ada, target-target ini hanyalah sebatas teori. Karena pada faktanya, ketahanan pangan di Indonesia lebih mengandalkan impor. Buktinya, sepanjang periode Januari sampai November 2022 Indonesia telah melakukan impor beras sebanyak 326,5 ribu ton. Sungguh miris, Indonesia yang terkenal sebagai negara agraris terbesar di dunia, harus melakukan impor beras untuk memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri. Selanjutnya, selain gemar impor beras, ternyata harga beras di Indonesia merupakan yang termahal di kawasan Asia Tenggara. Sehingga, tidak heran jika beberapa daerah di Indonesia harga beras begitu tinggi.

Lantas, bagaimana bisa menekan angka stunting, jika harga sejumlah pangan termasuk beras masih terbilang tinggi? Bagaimana bisa memenuhi asupan gizi dan nutrisi terhadap anak, ibu hamil, dan menyusui, jika harga pangan baik nabati maupun hewani masih terbilang mahal? Apakah pemerintah lupa bahwa tidak semua warga Indonesia adalah warga yang mampu? Karena pada faktanya, ada sekitar 26 juta warga miskin di Indonesia yang butuh perhatian dari pemerintah.

Rencana Berakhir Wacana

Ya, beginilah penampakan suatu negeri yang telah condong pada sistem kapitalisme. Di mana pertumbuhan ekonomi serta pembangunan dalam negeri menjadi target yang lebih diutamakan, dibandingkan memperhatikan persoalan yang ada di tengah-tengah masyarakat, khususnya untuk persoalan stunting. Angka kasus stunting bisa saja ditekan dengan mudah, jika pemerintah tidak hanya terus berteori dan terfokus pada melihat data tanpa adanya tindakan.

Jika kembali merujuk pada tujuan SDGs yang memfokuskan pada ketahanan pangan dan produktivitas agrikultura, hal ini tidak akan bisa berjalan lancar jika pemerintah tidak mendukung para petani. Misalnya, dengan memberikan bantuan pupuk secara gratis atau murah, membeli hasil panen petani dengan harga sewajarnya bukan dengan harga yang murah. Tidak melakukan impor untuk komoditas yang bisa dibudidayakan di dalam negeri. Menjamin kebutuhan pangan dalam negeri, serta mematok harga yang mudah dijangkau di seluruh kalangan masyarakat. Setidaknya dengan cara ini, setiap kepala keluarga mampu memenuhi kebutuhan pokok di dalam keluarganya. Sehingga, tidak ada lagi masyarakat yang merasakan kelaparan, khususnya bagi anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan.

Pada dasarnya memenuhi kebutuhan nutrisi dan gizi terhadap anak bukan hanya menjadi tugas orang tua. Pemerintah pun harus ikut andil di dalamnya. Karena, masa depan bangsa ini tergantung dari kualitas generasinya, baik secara pendidikan maupun kesehatannya. Pemerintah bisa ikut andil dengan cara membagikan susu dan vitamin berkualitas secara gratis atau murah, memperhatikan makanan atau jajanan yang beredar di masyarakat, apakah layak untuk dikonsumsi dan terbuat dari bahan-bahan yang berkualitas atau tidak?

Sayangnya, negeri ini telah condong pada sistem kapitalisme. Sistem yang tidak akan mungkin bisa melakukan hal tersebut secara cuma-cuma. Karena pada dasarnya, sistem kapitalisme adalah sistem yang lebih mementingkan materi atau asas manfaat daripada kesejahteraan masyarakat. Sehingga tidak heran, walaupun negeri ini terkenal sebagai negara agraris dan maritim terbesar di dunia, serta kaya akan sumber daya alam hayati dan mineral, tetapi semua itu tidak bisa menutupi bahwa negeri ini memiliki 26 juta warga miskin dan masuk lima besar kasus stunting terbanyak di dunia. Banyak rencana yang telah dibuat para penguasa, namun pada akhirnya itu semua hanya sebatas wacana yang entah kapan terlaksana atau mungkin tak akan pernah menjadi nyata.

Genting Stunting Khilafah Solusinya

Jika sistem kapitalisme terbukti gagal memperhatikan rakyatnya, termasuk dalam menyelesaikan masalah stunting yang mereka anggap memang tidak penting, lain halnya dengan sistem pemerintahan Islam, yaitu Khilafah. Sistem pemerintahan yang tidak pernah perhitungan untuk menyejahterakan rakyatnya. Sistem pemerintahan yang betul-betul mengurus urusan umat, termasuk persoalan stunting.

Untuk persoalan stunting sendiri, Khilafah akan mengawalinya dengan berusaha memenuhi kebutuhan nutrisi dan gizi setiap rakyatnya, dengan cara memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri tanpa melakukan aktivitas impor. Karena, Khilafah akan berusaha meningkatkan produktivitas agrikultura di dalam negeri, lalu mendistribusikannya secara merata dan tepat sasaran. Khilafah pun akan menjaga kestabilan harga jual pangan di pasaran, agar bisa dijangkau oleh setiap kalangan masyarakat.

Selain itu, Khilafah juga mewajibkan setiap kepala keluarga untuk bekerja, agar mereka mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Dalam hal ini, sudah menjadi tanggung jawab Khilafah untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi mereka. Pemimpin atau khalifah tidak akan membiarkan rakyatnya kelaparan, walaupun wabah atau musim paceklik melanda sekalipun. Khalifah tidak akan bisa tidur jika mengetahui ada rakyatnya yang kelaparan. Sebagaimana Khalifah Umar bin Khattab yang setiap malam selalu memastikan tidak ada rakyatnya tidur dalam kondisi kelaparan.

Suatu ketika Khalifah Umar bin Khattab bersama sahabat yang bernama Aslam sedang menyusuri kota. Lalu Umar bin Khattab mendengar suara tangisan seorang anak dan mendekati sumber suara tersebut. Saat itu, mereka bertemu dengan seorang ibu yang tengah duduk di depan perapian sambil mengaduk panci menggunakan sendok kayu. Lalu Umar bertanya pada ibu tersebut, mengapa anaknya menangis? Sang ibu menjawab bahwa anaknya kelaparan.

Singkat cerita, Khalifah Umar dan Aslam curiga, mengapa sang ibu begitu lama memasak? Namun saat beliau melihat isi panci ibu itu, betapa terkejutnya Khalifah Umar saat mengetahui bahwa sang ibu hanya memasak batu dengan tujuan untuk menghibur anaknya. Sang ibu mengaku terpaksa membohongi anaknya, dengan harapan anaknya bisa tertidur di saat ia memasak batu itu.

Melihat kondisi ibu itu, seketika Khalifah Umar langsung kembali ke Madinah sambil meneteskan air mata. Beliau merasa sangat bersalah dan memohon ampunan Allah Swt.. Untuk itulah sesampainya di Madinah, Khalifah Umar tanpa istirahat langsung kembali ke rumah ibu tersebut dengan memikul sekarung gandum. Aslam menawarkan diri untuk memikul gandum tersebut, tetapi Khalifah Umar bin Khattab menolaknya sambil berkata, "Aslam jangan jerumuskan aku ke dalam neraka, kamu bisa saja menggantikan aku memikul karung ini, tetapi apakah kamu mau memikul beban di pundakku di hari pembalasan kelak? Biarkan aku sendiri yang memikulnya, sesungguhnya sekarung gandum ini jauh lebih ringan dibandingkan dengan siksaan Allah di akhirat". (Detikhikmah.com, 20/11/2022)

Khalifah Umar bin Khattab benar-benar menjalankan tugasnya sebagaimana pesan Rasulullah saw. "Setiap pemimpin adalah pengatur dan pemelihara urusan rakyatnya, kelak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya". (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Jika dalam sistem pemerintahan Islam pemimpin tidak akan bisa tertidur ketika mengetahui ada rakyatnya yang kelaparan, lain halnya dengan pemimpin dalam sistem kapitalisme. Mereka masih bisa tertidur dengan pulas, melakukan perjalanan ke luar negeri dengan alasan untuk menjalin kerja sama, bahkan meluangkan waktu untuk liburan dan lain sebagainya. Lalu mereka melupakan bahwa banyak rakyatnya yang menjerit kelaparan, bahkan tidak memiliki tempat tinggal.

Maka, sudah saatnya kembali kepada sistem pemerintahan yang dirahmati Allah. Sistem pemerintahan yang benar-benar mengurus urusan umat. Sistem yang bisa menyelamatkan generasi penerus bangsa dari ancaman stunting. Satu-satunya sistem pemerintahan yang mampu melakukan hal itu adalah Daulah Khilafah Islamiah.

Wallahu a'lam bish-shawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasIpost.Com
Nur Hajrah MS Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Pesan Kematian dari Afganistan
Next
Islam Menyolusi Tengkes, Pasti Sukses!
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram