"Di samping itu, sistem kapitalisme buatan Barat, berorientasi pada materi dalam setiap kebijakannya. Tak heran, penguasa kapitalis akan memanfaatkan momen haji sebagai kesempatan melakukan pungutan. Penguasa akan berpikir bahwa makin banyak kuota haji, maka makin banyak pula keuntungan yang akan didapat."
Oleh. Erdiya Indrarini
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Tak terbayangkan betapa terkejut calon jemaah haji yang selangkah lagi akan segera pergi. Bertahun-tahun menabung dan menunggu, tiba-tiba biaya akan dinaikkan dua kali lipat. Inikah kebijakan? Atau justru suatu kezaliman?
Dilansir dari tempo.co (21/1/2023), Yaqut Cholil Qoumas selaku Menteri Agama, mengusulkan kenaikan biaya haji tahun 2023. Yaitu dari sebelumnya Rp39,8 juta menjadi Rp69, 19 juta per jemaah. Usulan ini ia sampaikan pada rapat kerja bersama Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, Kamis, 19 Januari 2023. "Usulan ini atas pertimbangan untuk memenuhi prinsip keadilan dan keberlangsungan dana haji. Formulasi ini juga telah melalui proses kajian," ujar Menag.
Hal ini mengundang kontroversi di masyarakat. Di antaranya Ketua Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay. Ia menilai kenaikan biaya haji hingga hampir 30 juta rupiah akan memberatkan jemaah. Selain itu Politikus PKB, Marwan Dasopang pun memandang rencana menaikkan biaya haji tahun 2023 merugikan calon jemaah yang berangkat tahun ini. Sebab, mereka harus menyiapkan dana tambahan sekitar Rp30 juta dalam waktu singkat. Senada, pemilik travel Ibnu Hasan Idrus Algadri pun mengungkapkan bahwa calon jemaah merasa kaget, baru kali ini kenaikan sampai dua kaki lipat. (tempo.co, 4/1/2023)
Makna Ibadah Haji
Hukum ibadah haji adalah wajib bagi yang telah mampu dan memenuhi syarat. Predikat sebagai haji yang mabrur tentu sangat didambakan setiap jemaah. Hal ini karena Allah akan mengganti dengan surga. Sebagaimana yang disampaikan Rasulullah saw. melalui sabdanya :
"Haji yang mabrur tiada balasan baginya kecuali surga”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Selain sebagai ibadah, haji juga merupakan syiar agama Islam. Bahwasanya, walaupun berbeda warna kulit, tanah air, bahasa, beda budaya, dan perbedaan lainnya, namun kaum muslimin adalah saudara dan mempunyai satu ikatan yang sama yaitu akidah Islam. Karenanya, kaum muslimin harus menjaga ikatan itu. Karena pada dasarnya seluruh kaum muslimin ibarat satu tubuh. Jika ada yang sakit, yang lain pun akan merasakannya. Kala ada yang terzalimi, yang lain wajib membela.
Sejalan dengan itu, kaum muslimin juga menyembah Tuhan yang sama, berhukum dengan kitab suci yang sama, menggunakan bahasa yang sama, berkumpul di tempat yang sama, memiliki arah kiblat yang sama, serta dituntut memperjuangkan hal yang sama, yaitu tegaknya Islam di muka bumi. Jadi selain ibadah, haji juga bermakna politis, yakni menyiarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Karenanya, sudah seharusnya kaum muslimin bersatu. Bukan malah terpecah belah sebagaimana saat ini yang tersekat oleh nasionalisme.
Karenanya pula, kaum muslimin rela berpuluh tahun banting tulang mengumpulkan dana. Hal itu diperjuangkan untuk menjalani serangkaian ibadah haji yang membutuhkan kesiapan fisik yang prima pula. Semua demi satu tujuan, yaitu mengharap rida Allah Swt. agar turun berkah dari langit maupun bumi, hingga dunia diliputi dengan rahmat.
Sistem Kapitalis Ibadah Dijadikan Ladang Bisnis
Namun sayang, makna ibadah haji dipandang sebelah mata oleh pemimpin dalam pemerintahan kapitalisme demokrasi. Mereka menganggap haji sebagai ibadah ritual semata. Hal ini karena penguasa tidak paham, atau tutup mata akan makna haji sendiri. Di samping itu, sistem demokrasi yang merupakan turunan dari ideologi kapitalisme buatan Barat, berorientasi pada materi dalam setiap kebijakannya. Tak heran, penguasa kapitalis akan memanfaatkan momen haji sebagai kesempatan melakukan pungutan. Penguasa akan berpikir bahwa makin banyak kuota haji, maka makin banyak pula keuntungan yang akan didapat.
Padahal, Pemerintah Arab Saudi sendiri justru meningkatkan berbagai layanan dan fasilitas. Baik untuk haji maupun umrah. Yaitu dengan memotong berbagai biaya. Dinukil dari Arabnews, 17 Januari 2023, Kementerian Haji dan Umrah telah memangkas biaya asuransi dari SR235 (Rp935 ribu) menjadi SR87 atau Rp350 ribu mulai 10 Januari 2023. Bahkan sebelumnya, telah mengumumkan bahwa mereka yang memegang visa turis dan komersial, diperbolehkan menunaikan ibadah umrah selama berada di Arab Saudi.
Namun bertolak belakang dengan yang direncanakan Menag Yaqut. Padahal, jika biaya haji jadi dinaikkan, tentu biaya umrah pun akan ikut naik. Dari sini tampak jelas, bagaimana penguasaan para penguasa di negeri demokrasi. Dalam mengurusi ibadah kaum muslimin, bukan semata menjalankan tugas pelayanan, tapi berorientasi bisnis. Bahkan pengurusan di bidang apa pun, dijalankan layaknya perdagangan yang mengedepankan untung sebanyak-banyaknya tanpa mau rugi.
Islam Memaksimalkan Pelayanan Ibadah Haji
Berbeda dengan negara demokrasi yang mengurusi rakyatnya dengan orientasi bisnis, konsep kepemimpinan dalam sistem Islam merupakan pelayanan bagi rakyat. Pemimpin akan bertanggung jawab sepenuhnya dengan berusaha memudahkan segala urusan rakyatnya. Terlebih dalam melayani para jemaah yang akan menjalankan ibadah haji sebagai tamu Allah Swt. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang artinya :
"Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Selain itu, dalam kitab Ajhizah ad Daulah Khilafah menjelaskan bahwa prinsip dari negara yang menerapkan Islam adalah sistemnya sederhana, dan pelaksanaanya cepat, serta dipegang oleh orang yang profesional di bidangnya. Departemen khusus haji dan umrah akan mengurus dari pusat sampai ke daerah, baik sejak persiapan, bimbingan, pelaksanaan, maupun pemulangan ke daerah asal. Guna lancarnya pelaksanaan, departemen haji akan bekerjasama dengan departemen perhubungan dan kesehatan.
Mengenai biaya atau Ongkos Naik Haji (ONH), dihitung berdasarkan jarak dari daerah jemaah ke Makkah atau Madinah. Di samping itu, pemerintah bersistem Islam juga akan memberikan pilihan, apakah mau menggunakan kapal, pesawat terbang, ataukah melalui darat. Tentu dengan biaya yang masing-masing berbeda.
Tak hanya itu, jemaah dari negeri-negeri Islam juga tidak perlu memakai visa haji. Hal ini karena pada dasarnya negeri-negeri muslim adalah satu kesatuan. Tidak boleh ada sekat nasionalisme seperti sekarang yang terpecah-pecah. Jemaah cukup hanya menunjukkan KTP atau paspor. Visa hanya diwajibkan bagi jemaah yang berkewarganegaraan kafir. Yaitu negara yang tidak menerapkan sistem Islam dalam pemerintahannya.
Untuk menentukan siapa yang lebih dulu akan diberangkatkan, negara menentukan berdasarkan database warga negaranya. Pemerintah juga akan memperhatikan dua hal. Yaitu bahwa kewajiban haji dan umrah hanya berlaku sekali seumur hidup. Kewajiban itu hanya berlaku bagi yang mampu dan memenuhi syarat.
Demi lancarnya ibadah ke Baitullah, penguasa dalam pemerintahan bersistem Islam juga akan membangun infrastruktur. Sejarah membuktikan seorang Khalifah Abbasiyah, Harun ar Rasyid, pernah membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz. Bahkan Ia memiliki kebiasaan menghajikan 100 hingga 300 orang ulama di musim haji. Setelah masa itu, kala pemerintahan Utsmaniyah, Sultan Hamid II juga membuat jalur kereta api dari Istanbul, Damaskus, hingga ke Madinah yang diutamakan untuk jemaah haji. Bahkan, kita semua masih bisa menyaksikan dan menikmati peninggalan infrastruktur di masa kejayaan Islam, hingga saat ini.
Inilah sedikit gambaran jika negara menerapkan sistem Islam dalam pemerintahannya. Jemaah haji akan dimudahkan untuk menjadi tamu Allah. Maka, Akan kah mempertahankan sistem demokrasi turunan ideologi kapitalisme yang sarat dengan kezaliman ?
Wallahu a' lam bisshowab[]