”Kapitalisme memang membawa negara-negara Barat dan Timur mencapai kemajuan ekonomi yang fantastis. Sayangnya, kemajuan ekonomi yang dicapai negara-negara tersebut selalu berbanding lurus dengan rusaknya peradaban.”
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Baru-baru ini publik dikejutkan dengan video pemandangan "kota mati" di Jepang. Video yang diunggah oleh akun TikTok @omet_said tersebut, memperlihatkan pemandangan salah satu kota di Jepang yang sangat sepi. Sederet bangunan yang menjadi ciri khas Negeri Matahari Terbit tersebut tidak memiliki penghuni.
Tak hanya rumah, jalan-jalan pun tampak lengang dari kendaraan ataupun lalu-lalang pejalan kaki. Kondisi ini terjadi di banyak tempat, khususnya wilayah pinggiran kota. Sungguh miris, Jepang yang terkenal dengan kemajuan teknologi tinggi dan kehidupan sosialnya yang gemerlap, kini harus menerima kenyataan pahit kehilangan pewaris.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Badan Perumahan dan Survei Tanah Jepang, ditemukan ada 8,49 juta rumah kosong (akiya) pada 2018. Alasan kosongnya jutaan rumah tersebut karena pemilik yang sudah lansia meninggal tanpa ada ahli waris, atau sang empunya memutuskan pindah rumah. Dibanding tahun 2013, kenaikan akiya di tahun 2018 sebesar 3,2 persen. Berdasarkan laporan tersebut ditemukan 13,6 persen dari 62,42 juta rumah yang tidak berpenghuni. (Merdeka.com, 09/02/2023)
Saat ini terdapat sekitar sembilan juta akiya yang ditinggalkan penghuninya karena tidak memiliki pewaris. Rumah-rumah tersebut kemudian diambil alih oleh negara dan akan berikan secara gratis bagi siapa saja yang mau menempati jutaan rumah kosong tersebut. Hal itu dilakukan pemerintah untuk menghidupkan kembali kota-kota yang telah mati seperti dahulu.
Menurunnya jumlah populasi di tengah gelar sebagai negara maju, tentu menjadi ironi bagi Jepang. Bahkan, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishidi sampai menyebut, negaranya hampir tidak berfungsi sebagai masyarakat karena menurunnya tingkat kelahiran. Lalu, apa sebenarnya penyebab menyusutnya populasi Jepang? Apa pula dampak buruknya terhadap negara itu? Adakah solusi hakiki untuk mendorong masyarakat agar memiliki banyak keturunan?
Penurunan Populasi
Penurunan populasi Jepang secara signifikan telah terjadi sejak 2011 silam. Dikutip dari situs World data.info, jumlah penduduk Jepang pada tahun 2011 mencapai 127,83 juta jiwa. Angka kelahiran di tahun yang sama sekitar 1.088.500 bayi, sedangkan angka kematiannya sebanyak 1.216.600 jiwa. Ini artinya, Jepang kehilangan 128.000 orang pada tahun 2011.
Berikutnya, data yang dirilis tahun 2020 atau saat pandemi berlangsung, jumlah penduduk Jepang sebesar 126,26 juta jiwa. Angka kelahirannya sekitar 850.000 bayi, sedangkan angka kematiannya berjumlah 1,4 juta jiwa. Di tahun 2020, Jepang pun kehilangan populasinya sebanyak 550.000 jiwa. Melihat angka kelahiran yang terus menurun dari tahun ke tahun, maka diperkirakan angka kelahiran di Jepang tahun 2038 hanya sebesar 750.000 bayi.
Sayangnya data kelahiran di tahun 2021 sudah menyentuh angka 750.000 bayi. Artinya, prediksi angka kelahiran untuk tahun 2038 sudah terjadi pada 2021 atau 18 tahun lebih cepat. Hal ini tentu manjadi mimpi buruk bagi Jepang yang tinggal selangkah lagi menuju kepunahan populasi.
Demi mempertahankan populasi suatu negara, setidaknya dibutuhkan angka rasio 2. Hal ini sebagaimana ditulis dalam laporan Worldbank.org pada tahun 2022. Artinya, satu pasutri harus memiliki anak setidaknya dua orang. Jika Indonesia memiliki fertility rate (rasio kesuburan) 2,27, Pakistan 3,39, India 2,18, maka Jepang hanya memiliki rasio 1,3 saja. Angka ini pun terbilang sangat rendah dan menjadikan Jepang berada di peringkat 186 dari 200 negara dengan tingkat kesuburan terendah.
Penyebab Minimnya Angka Kelahiran
Menurunnya jumlah populasi Jepang disebabkan oleh minimnya angka kelahiran. Sedangkan minimnya kelahiran disebabkan oleh banyaknya pemuda Jepang yang memilih hidup melajang tanpa harus dibebani ikatan pernikahan. Berikut beberapa alasan yang menyebabkan mereka enggan menikah:
Pertama, karier menjadi prioritas utama para wanita Jepang. Faktor ini membuat mereka lebih menyibukkan diri pada urusan pekerjaan ketimbang pernikahan. Menurut para wanita Jepang, memiliki karier yang tinggi membuat mereka lebih nyaman dan mampu mandiri tanpa harus bergantung pada orang lain.
Kedua, biaya hidup yang tinggi mengakibatkan banyak orang Jepang memilih tidak menikah. Jepang memang diketahui sebagai salah satu negara dengan biaya hidup tertinggi di dunia. Para wanitanya pun khawatir jika mereka memiliki anak, maka biaya hidup makin bertambah berat.
Ketiga, kehidupan pernikahan tampak seperti beban. Perempuan Jepang berhasil mencapai pendidikan yang lebih tinggi hingga memaksimalkan jumlah mereka di dunia kerja. Namun, konsekuensi dari semua itu adalah hilangnya keinginan untuk menikah. Apalagi standar ganda di Jepang dirasa mendiskriminasi kaum perempuan. Di satu sisi wanita didorong untuk ikut berperan di dunia kerja, tetapi di sisi lain mereka masih harus memikul tanggung jawab masalah pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga sendirian. Para perempuan juga diharapkan dapat membantu kerabat yang sudah lansia.
Keempat, tak hanya wanita, pria Jepang pun enggan menikah karena merasa tidak mampu menghidupi istri dan keluarga. Mereka berpendapat, urusan pekerjaan dan kehidupan tidak memberi motivasi mereka untuk menikah. Apalagi norma sosial yang berlaku di Jepang menuntut agar laki-laki harus mengurus keluarga secara finansial, di mana mereka merasa tidak sanggup melakukannya.
Menurunnya angka kelahiran yang disebabkan oleh minimnya pernikahan, jelas memengaruhi populasi Jepang secara signifikan. Sekali lagi, ini adalah alarm darurat kepunahan populasi bagi Negeri Matahari Terbit.
Dampak bagi Jepang
Siapa pun akan mengatakan bahwa Jepang merupakan negara maju yang memiliki daya tawar tinggi terhadap negara lain. Namun, depopulasi yang tengah mendera Jepang dapat berakibat buruk bagi ekonomi negara itu. Berikut beberapa dampak yang terjadi akibat menurunnya populasi Jepang:
- Beratnya beban penggerak kehidupan negara. Sebuah negara akan menjadi lebih makmur dan maju jika seluruh aspek digerakkan oleh mayoritas populasi rakyatnya mulai dari pendidikan, ekonomi, politik, teknologi, maupun budaya. Diketahui jumlah penduduk Jepang pada 2021 sebesar 125.681.593 dengan total angkatan kerjanya sebesar 60,2 persen (75.660.319 orang). Sedangkan usia produktif (15-64 tahun) hanya 59 persen. Sementara usia di atas 65 tahun sebanyak 28,7 persen (36.070.618). Artinya, hanya setengah dari populasi Jepang yang menggerakkan sendi-sendi perekonomian negara itu dan membuat mereka harus bekerja sangat keras.
- Penyusutan ekonomi. Siapa pun tahu bahwa Jepang terkenal memiliki industri-industri besar, perusahaan ekspor-impor, dan kehidupan sosial yang gemerlap. Hal itu menjadikan Jepang sebagai negara maju dari segi ekonomi. Sejatinya kunci majunya perekonomian Jepang terletak pada banyaknya jumlah penduduk yang menjadi sumber daya produktif. Pasalnya, selain berperan sebagai tenaga kerja dalam produksi, mereka juga menjadi konsumen berbagai produk dalam negerinya.
Karena itu perputaran ekonomi dalam negerinya lancar, produksi jalan, lapangan kerja tersedia, kebutuhan nasional pun terpenuhi. Nilai perputaran ekonominya pun sangat besar karena digerakkan oleh 125 juta penduduk Jepang. Inilah sejatinya kunci kemajuan ekonomi Jepang. Bayangkan jika jumlah populasinya terus menyusut yang akan berpengaruh pada kegiatan ekonominya. Akibatnya dapat menurunkan pendapatan pajak bagi negara.
- Perubahan sosial masyarakat. Dampak yang paling terasa dari menurunnya populasi Jepang adalah matinya daerah-daerah pinggiran kota. Sebut saja Nagoro, sebuah desa di Jepang yang hanya dihuni oleh 27 orang. Itu pun semua penduduknya berusia lanjut. Saking merasa kesepian, penduduk setempat sampai membuat banyak boneka di rumah, pasar, sekolah, dan pinggir jalan, karena berharap desa itu bisa kembali ramai seperti dahulu. Ini hanya salah satu contoh desa mati karena kehilangan pewarisnya. Dan masih banyak desa lainnya yang memiliki nasib serupa.
Kegagalan Sistem
Depopulasi menjadi ancaman tersendiri bagi keberlangsungan sebuah negara. Tak hanya Jepang, penurunan populasi akibat minimnya kelahiran juga mengintai Korea Selatan, Taiwan, Cina, Belarusia, juga negara-negara kapitalis Barat yang menjadi pelopornya. Kapitalisme memang membawa negara-negara Barat dan Timur mencapai kemajuan ekonomi yang fantastis. Sayangnya, kemajuan ekonomi yang dicapai negara-negara tersebut selalu berbanding lurus dengan rusaknya peradaban.
Sebut saja meluasnya kriminalitas, krisis sosial, runtuhnya bangunan keluarga, serta anjloknya angka pernikahan dan kelahiran akibat pelibatan perempuan ke dunia kerja. Ini adalah harga mahal yang harus dibayar demi sebuah kemajuan ekonomi. Selain itu, kapitalisme telah menempatkan kaum wanita pada posisi yang sangat rendah yakni sebagai pekerja atau faktor produksi yang menggerakkan ekonomi suatu negara. Posisi tersebut telah menggerus kedudukan utamanya sebagai ibu dan pencetak generasi.
Di sisi lain, kapitalisme meniscayakan distribusi kekayaan hanya berputar di kalangan orang-orang-orang kaya saja, sehingga menciptakan kesenjangan di tengah masyarakat. Akibatnya, kemiskinan merajalela. Di tengah kemiskinan hidup dan beratnya beban yang harus ditanggung, akhirnya banyak orang memilih meminimalisasi jumlah anak. Bahkan, banyak yang memilih tidak menikah dan punya anak. Inilah kegagalan nyata kapitalisme dalam menjaga dan melestarikan populasi manusia. Di tengah kekacauan sistem ini, menjadi urgen bagi manusia untuk kembali menjadikan Islam sebagai solusi.
Islam Melestarikan Keturunan
Islam dan kapitalisme ibarat air dan api yang akan selalu bertentangan, baik dari akidah, pandangan hidup, maupun solusi yang lahir darinya. Islam merupakan agama yang sesuai fitrah manusia. Sedangkan salah satu fitrah manusia adalah melestarikan keturunan. Karena itu, aturan yang lahir dari sistem Islam juga akan menjaga eksistensi manusia di bumi. Ajaran Islamlah yang menjadi obat mujarab untuk mengobati bangsa yang sakit.
Di samping kembali kepada Islam, umat juga harus terus mengampanyekan visi politik Islam dalam melestarikan keturunan dan menjaga ketinggian peradaban manusia. Tak lupa, umat muslim harus menjadikan beberapa prinsip penting ajaran Islam sebagai pegangan dalam membangun ketahanan keluarga.
Beberapa prinsip itu di antaranya: Satu-satunya metode pencarian keturunan yang ditawarkan oleh Islam adalah pernikahan. Nabi saw. pun bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud, An-Nasa'i, Baihaqi, At-Thabarani: "Nikahilah wanita-wanita yang kalian cintai dan (wanita-wanita) tersebut berpotensi untuk memiliki banyak anak. Karena sesungguhnya aku (akan merasa bahagia) karena banyaknya umatku dibandingkan umat-umat lainnya."
Selain itu, Islam juga memiliki seperangkat aturan tentang hukum-hukum berkeluarga yang sempurna mengatur pembagian peran antara suami dan istri. Islam telah menetapkan bahwa perempuan memiliki peran bergengsi sebagai seorang ibu. Menjadi ibu bukanlah peran rendahan sebagaimana paradigma kapitalisme.
Di sisi lain, Islam juga memberikan fondasi keimanan dan ketawakalan akan rezeki bagi setiap muslim. Dengan fondasi ini maka peran dalam keluarga tidak tergoyahkan, yakni laki-laki sebagai penanggung jawab jaminan nafkah dan perempuan sebagai pencetak dan pendidik generasi. Islam telah menjelaskan bahwa tujuan pernikahan bukan semata-mata untuk memuaskan nafsu, melainkan dalam rangka beribadah kepada Allah Swt.
Demi terwujudnya ketahanan keluarga secara sempurna, maka dibutuhkan perisai yang kokoh yakni negara (Khilafah). Perisai inilah yang akan menjamin ketahanan keluarga, memuliakan kaum ibu, dan membentuk generasi muslim yang berkualitas. Khilafah juga menjadi pelindung keluarga dari keserakahan ekonomi kapitalis sekaligus melindungi generasi muda dari berbagai kerusakan.
Khatimah
Suramnya masa depan Jepang dan negara-negara penganut kapitalisme lainnya harus menjadi alarm bagi negeri ini. Pasalnya, sebesar apa pun kemajuan ekonomi yang dikejar di bawah naungan kapitalisme, tetap akan berujung pada kondisi yang sama yaitu kepunahan. Kepunahan generasi adalah kiamat bagi sebuah bangsa. "Kiamat" ini hanya bisa dicegah jika umat kembali pada Islam dan menerapkan seluruh aturannya dalam kehidupan. Wallahu a'lam[]