"Kebebasan kepemilikan memang dijamin oleh negara demokrasi. Di sinilah bencana berawal. Dalam sistem perekonomian kapitalisme yang dianut oleh negara demokrasi, siapa pun boleh memiliki apa saja, di mana saja, dan bagaimana pun caranya. Termasuk lahan-lahan yang memiliki potensi sumber daya alam yang luar biasa. Negara tidak berhak menghentikan bentuk kepemilikan ini dari seseorang atau korporasi mana saja dengan syarat mereka mampu untuk memilikinya."
Oleh. Ita Harmi
( Tim Kontributor Tetap NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-Indonesia secara de jure telah mengenyam kemerdekaan selama 76 tahun. Penjajahan demi penjajahan sudah menjadi makanan bangsa ini hingga berpuluh tahun lamanya. Penjajahan legendaris di bumi pertiwi adalah penjajahan Belanda. Sang kapitalis dunia kala itu dengan semangat 3G, gold, glory, dan gospel mengekspansi wilayah baru dengan menjarah kekayaan rempah hasil bumi Nusantara. Semua itu dilakukan hanya untuk memonopoli perdagangan rempah di tingkat global. Kapitalisme menjadi warisan abadi para penjajah sebagai estafet kekuasaan mereka di wilayah bekas jajahannya.
Hari ini, di tengah hiruk pikuk kemerdekaan bangsa Indonesia, penjajahan dan penjarahan masih tetap lestari, namun bukan oleh bangsa asing, melainkan oleh bangsanya sendiri. Penguasa yang diharapkan akan mengurus rakyat hingga mencapai derajat kesejahteraan telah berlaku culas, berubah menjadi komprador sang kapitalis dunia, pengisap darah dan air mata saudaranya sendiri.
Wadas, terletak di salah satu sudut Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, memanas karena sejumlah lahan pertanian milik warga akan dijadikan lahan penambangan batu andesit. Menurut Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, lahan terdampak penambangan di desa Wadas luasnya mencapai sekitar 124 hektare. Sebanyak 346 pemilik lahan sudah menyetujui lahan mereka dijadikan lokasi penambangan batu andesit dan mendapatkan ganti rugi. Sedangkan sekitar 133 pemilik lahan menolak penambangan, dan 138 pemilik lahan lainnya belum memutuskan apakah setuju atau tidak. (DW.com, 12/2/2022)
Berdasarkan keterangan dari Ditjen Sumber Daya Alam Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Wadas sendiri memiliki potensi tambang batu andesit sebesar 8,5 juta meter kubik. Batu hasil dari penambangan inilah yang rencananya akan dijadikan sebagai bahan material pembangunan Bendungan Bener yang sudah direncanakan sejak 2018 silam, dan akan mulai direalisasikan pada tahun 2023 mendatang.
Sementara Bendungan Bener merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang akan menjadi pemasok kebutuhan air ke Bandara yang baru diresmikan Presiden Joko Widodo tahun 2020 yang lalu, Yogyakarta International Airport (YAI), di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Dalam rancangannya, bendungan ini direncanakan akan memiliki volume 100,94 meter kubik, mampu mengurangi debit banjir 210 meter kubik per detik, menyediakan pasokan air baku 1,60 meter per detik, dan menghasilkan listrik sebesar 6 MW. (Kompas.com, 9/2/2022)
Masalah berawal pada Senin malam (7/2/2022) dengan terjadinya pemadaman listrik, sehingga Wadas menjadi senyap dan gelap, sementara listrik di desa-desa di sekelilingnya masih menyala. Keesokan harinya, aparat kepolisian dengan senjata lengkap bersama TNI, Satpol PP, dan petugas Badan Pertanahan Nasional memasuki desa Wadas untuk melakukan pengukuran tanah sambil mencopot poster-poster gelombang penolakan pembangunan penambangan. Tidak hanya mencopot dan merusak poster-poster, polisi juga mengejar dan menangkap warga yang melakukan aksi protes sampai ke hutan-hutan dengan menggunakan anjing pelacak dan ketakutan mencekam warga. (Tirto.id, 8/2/2022)
Perlu diketahui, alasan sebagian warga Wadas melakukan penolakan pembangunan penambangan adalah karena lahan yang mereka miliki merupakan sumber mata pencarian mereka selama ini. Komoditas hasil pertanian dan perkebunan dari tanah Wadas diperkirakan mencapai Rp8,5 miliar, dan komoditas kayu keras sekitar Rp5,1 miliar per lima tahun. Bila lahan ini diubah menjadi lahan tambang, maka warga Wadas akan kehilangan mata pencariannya. Padahal Wadas sudah ditetapkan peruntukannya sebagai lahan perkebunan oleh pemerintah setempat berdasarkan Perda Purworejo Nomor 27 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Desa Wadas.
Selain itu, hal yang lebih penting adalah akan hilangnya 28 titik mata air yang menjadi sumber kehidupan dan pengairan pertanian di desa tersebut. Mengingat penambangan akan dilakukan dengan cara dibor, dikeruk, dan diledakkan dengan menggunakan 5.300 ton dinamit hingga kedalaman 40 meter selama 30 bulan. Ditambah lagi bila bebatuan yang terkandung di tanah Wadas dikeruk dalam jumlah banyak, akan memperbesar kemungkinan terjadinya longsor. (Serambi.news, 11/2/2022)
Wajar bila warga Wadas menolak. Tak hanya warga, bahkan kelompok pecinta alam desa Wadas juga melakukan aksi protes. Padahal Wadas sendiri merupakan lumbung suara bagi Ganjar dan Jokowi saat pilgub dan pilpres lalu. Salah seorang netizen bahkan berkomentar, "Berdasarkan data rekapitulasi pilpres dan pilgub, desa Wadas merupakan zona pendukung Jokowi dan Ganjar. Namun kini mereka terpaksa harus menelan pil pahit dari pilihan mereka, air susu dibalas air tuba", seperti yang dikutip dari Populis.id oleh Warta Ekonomi.co.id, 10/2/2022.
Kapitalisme Biang Masalah
Kejam. Demikianlah watak asli kapitalisme yang dibalut dalam sebuah tata kelola negara bernama demokrasi. Seharusnya rakyat kecil sudah mesti mengetahui bahwa penjajah selalu menawarkan madu pada awalnya, namun sejatinya adalah racun yang akan membunuh rakyat cepat atau lambat pada akhirnya.
Bagaimana bisa penguasa yang sudah dipilih oleh rakyat, diharapkan menjadi pembawa perubahan nasib mereka, justru mengkhianati harapan rakyatnya? Penguasa rela menganiaya rakyat demi keuntungan semata. Mematikan pendapatan warga, kemudian mencari keuntungan di atas derita dan air mata rakyat jelata.
Jamak diketahui, infrastruktur sebagai fasilitas umum yang belakangan gencar dikebut realisasinya hanya berakhir pada bagi untung oleh pemerintah pada pihak swasta dan asing. Sebagai contoh, kabar duka yang masih hangat tentang Bandara Kualanamu di Medan yang jadi saksinya. Sebanyak 49 persen India memiliki saham di sana. Hampir separuhnya dikelola oleh asing. Pemerintah beralasan menempuh cara ini agar negara tidak perlu lagi menyuntikkan dana terus-menerus ke Angkasa Pura II sebagai pemegang 51 persen saham terkait pengelolaan bandara. Artinya, pemerintah benar-benar ingin lepas tangan dalam mengurus kepemilikan negara, dan pastinya hanya mau "mentahnya" saja.
Atau mungkin beberapa ruas tol yang sudah dilepas ke pihak swasta dan asing. Contohnya saja, Tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi yang sudah divestasi ke pihak asing sebesar 30 persen. Dan pemerintah melalui Waskita mendapat keuntungan sebesar Rp824 miliar. Sementara dari penjualan saham Tol Semarang-Batang dan Tol Serpong-Cinere ke pihak swasta, pemerintah mendapatkan keuntungan lebih besar lagi, yakni Rp1,55 triliun. (Kompas.com, 11/10/2021)
Kebebasan kepemilikan memang dijamin oleh negara demokrasi. Di sinilah bencana berawal. Dalam sistem perekonomian kapitalisme yang dianut oleh negara demokrasi, siapa pun boleh memiliki apa saja, di mana saja, dan bagaimana pun caranya. Termasuk lahan-lahan yang memiliki potensi sumber daya alam yang luar biasa. Negara tidak berhak menghentikan bentuk kepemilikan ini dari seseorang atau korporasi mana saja dengan syarat mereka mampu untuk memilikinya.
Lagipula negara hanya berfungsi sebagai regulator yang memfasilitasi bentuk kepemilikan tadi, sementara di lain sisi menutup mata atas dampak yang akan ditanggung rakyat setelahnya. Penguasa yang berdiri di samping pengusaha demi meraih keuntungan materi, akan selalu menciptakan kebijakan yang memihak pada pengusaha. Terakhir rakyatlah yang selalu menjadi korban sebagai tumbal atas nafsu kekuasaan. Bagaimana tidak kejam?
Islam Membawa Keadilan
Bertolak belakang dengan kapitalisme, Islam justru hadir dengan seperangkat aturan yang penuh dengan nilai-nilai keadilan bagi seluruh manusia. Syariat Islam yang sempurna turun 14 abad yang lalu tidak hanya dikhususkan kepada umatnya saja, tapi juga berkesesuaian dengan manusia mana saja termasuk terhadap nonmuslim sekalipun. Inilah uniknya Islam, kesempurnaannya tidak akan pernah ada yang mampu menandinginya.
Dalam hal kepemilikan, khususnya lahan, Islam memiliki konsep tiga pembagian kepemilikan, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Hal ini berdasarkan hadis Nabi saw., "Kaum muslim berserikat atas tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Oleh karenanya, kepemilikan individu, dalam hal kepemilikan lahan, hanya terbatas pada kepemilikan lahan untuk kebun, ladang, dan lahan pertanian saja. Adapun untuk kepemilikan umum semisal tambang, hutan, dan sejenisnya tidak boleh dikuasai individu ataupun korporasi. Kepemilikannya merupakan milik bersama, dimana pengelolaannya dipantau oleh negara dan manfaatnya digunakan untuk kepentingan bersama. Sedangkan kepemilikan negara adalah semua lahan yang tidak bertuan apalagi di atasnya terdapat harta milik negara, misalnya bangunan untuk kepentingan negara seperti Baitul Mal.
Terdapatnya pembagian kepemilikan ini akan mencegah individu ataupun korporasi yang ingin menguasai lahan tertentu. Sanksi dan hukum yang tegas akan diberlakukan negara bila ada pihak-pihak yang mencoba melanggar ketentuan ini. Selain itu, pembangunan penambangan untuk membuat bendungan seperti kasus Wadas tadi merupakan bagian dari bangunan untuk fasilitas umum. Manfaat bendungan nantinya akan sangat banyak untuk kepentingan umum, seperti irigasi lahan pertanian, suplai air baku, dan energi listrik yang dihasilkannya. Bila negara tetap membangun bendungan, sementara di sana ada lahan warga yang menjadi sumber penghasilan bagi mereka, maka negara berkewajiban memberikan sejumlah kompensasi senilai dengan tanah warga tersebut. Atau merelokasi warga sekitar pembangunan penambangan ke tempat yang sebanding dengan lahan yang mereka miliki di Wadas. Misalnya, jika lahan mereka selama ini memiliki potensi pertanian yang tinggi, maka negara juga harus merelokasi mereka ke tempat yang memiliki potensi pertanian yang serupa. Sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dalam masalah pembebasan lahan ini. Dengan begitu, warga sebagai rakyat, menyerahkan tanah mereka kepada negara tanpa paksaan, sebab ketaatan terhadap ulil amri untuk kemaslahatan bersama adalah sebuah ketentuan yang diatur dalam syariat.
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al- Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An Nisaa : 59)
Kisah masyhur khalifah Umar bin Khattab r.a terhadap rumah tua seorang Yahudi di Mesir adalah contoh bagaimana Islam memberikan keadilan pada rakyatnya. Amr bin 'Ash selaku Wali (gubernur) Mesir yang hendak membangun masjid saat itu, terhalangi oleh lahan yang terdapat rumah seorang Yahudi di atasnya. Yahudi tersebut bersikeras tidak mampu memberikan rumahnya tersebut meski Amr bin 'Ash akan memberikan ganti rugi yang besar atas lahan tersebut. Lalu melaporlah Yahudi ini kepada khalifah Umar. Umar r.a lalu mengambil sebuah tulang dan menggores sebuah garis lurus di atasnya. Diperintahkannya orang Yahudi tadi membawa tulang tersebut kepada Wali daerahnya. Begitu Amr bin 'Ash melihat pesan sang khalifah tadi, serta- merta ia tidak jadi menggusur rumah sang Yahudi tersebut dengan ketakutan. Apabila ia tidak berlaku adil kepada si Yahudi, maka khalifahlah yang akan mengadilinya hingga lurus urusannya seperti lurusnya garis di tulang yang dibawa si Yahudi. Mendapati hal tersebut, si Yahudi makin yakin bahwa Islam memang betul-betul adil terhadap manusia, sekalipun kepada dirinya yang nonmuslim. Lantas, ia pun bersyahadat dan menyedekahkan tanahnya untuk pembangunan masjid dengan ikhlas. Adakah kisah yang mampu menyamainya?
Maka, cukuplah berpulang kepada Islam dengan totalitas sebagai jawaban atas karut marut problematika bangsa ini. Warga desa Wadas seharusnya belajar dari warga Kecamatan Jenu di Tuban. Kasus yang serupa tapi tak sama, pada akhirnya hanya merugikan warga dan menghasilkan penyesalan saat lahan mereka berpindah kepemilikan kepada pihak korporasi. Kapitalisme dan para pelaku politiknya tidak akan pernah memikirkan nasib rakyat. Karena bagi kapitalisme, kepentingan adalah "Tuhan" bagi mereka.
Wallahu a'lam bishowwab.[]