"Valentine's day didudukkan sebagai bagian dari seremoni kaum milenial dalam merayakan cinta. Setiap memasuki bulan Februari, nuansa merah jambu (pink) menghiasi sudut-sudut mall dan tempat wisata. Tak lupa ornamen berbentuk hati ikut meramaikan. Sementara itu, aneka bentuk coklat dan bunga marak dijual di berbagai pertokoan demi menyambut hari Valentine."
Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(Redpel NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-Februari seringkali diidentikkan sebagai bulan bertabur cinta. Sebab di bulan itu, ada hari Valentine yang tentu saja sangat familier bagi masyarakat seantero dunia. Hampir semua orang menjadikannya sebagai momentum untuk merayakan cinta, terutama para milenial yang tengah dimabuk asmara.
Namun, sebagai muslim, kita perlu memahami esensi di balik Valentine's day agar kita tidak mudah terperosok dalam budaya di luar Islam. Benarkah seorang muslim boleh ikut-ikutan merayakan Valentine's day?
Valentine's Day Bukan Budaya Islam
Tanggal 14 Februari pertama kali ditetapkan sebagai hari Valentine oleh Paus Roma Gelasius pada abad ke-5 Masehi. Hal tersebut bermula setelah seorang pendeta Romawi bernama St. Valentine ditangkap dan dijebloskan ke penjara, kemudian dihukum mati atas perintah Kaisar Romawi, Claudius II. Penyebabnya adalah St. Valentine secara diam-diam menikahkan banyak pasangan, padahal hal tersebut dilarang oleh Kaisar karena mengganggap bahwa seorang prajurit tidak boleh menikah. Akhirnya St Valentine dieksekusi mati pada 14 Februari tahun 470 Masehi.
Sungguh, dilihat dari akar sejarahnya, Valentine merupakan budaya kaum Nasrani. Tak ada kaitannya dengan Islam. Sayangnya, masifnya kampanye Valentine's day ke seluruh dunia menjadikan umat Islam pun turut mengadopsinya. Padahal sudah jelas bahwa Valentine bukan berasal dari ajaran Islam, bahkan cenderung bertentangan. Sebab, perayaan Valentine yang berkemas kasih sayang tak hanya dilakukan oleh pasangan halal suami istri, namun juga pasangan muda-mudi dalam ikatan pacaran. Hal tersebut jelas merupakan kemaksiatan dalam Islam. Mengungkapkan cinta kepada seseorang yang belum halal, tak dibolehkan dalam syariat. Apalagi sampai mengumbar syahwat kepadanya. Tak sedikit juga, perayaan Valentine's day diisi dengan penyerahan keperawanan kepada sang kekasih alias ada aktivitas zina. Sungguh memprihatinkan!
Valentine's Day Ajang Kapitalisasi
Dalam naungan sistem kapitalis hari ini, segala sesuatu dijadikan komoditas bisnis yang mendulang profit, termasuk keberadaan hari Valentine. Pada pengusaha berlomba-lomba membuat promo paket Valentine demi menarik pembeli atau customer. Bahkan tempat-tempat wisata dan hotel pun banyak menawarkan diskon spesial di hari Valentine. Begitulah kapitalisasi menyasar segala bidang kehidupan. Tak peduli apakah hal yang dipromosikan bertentangan dengan syariat Islam ataukah tidak. Yang terpenting adalah bagaimana meraup keuntungan dari momentum yang ada.
Jika mengingat bahwa negeri ini mayoritas penduduknya muslim, tentu sangat tak layak budaya Valentine dilestarikan sebagaimana di negeri-negeri Barat. Karena hal tersebut tidak menunjukkan identitas seorang muslim yang sejati.
Propaganda Moderasi di Balik Perayaan Valentine's Day
Valentine seolah menjadi perayaan global yang wajib adanya, hal tersebut seiring dengan begitu masifnya media massa mengampanyekan hal tersebut. Valentine's day didudukkan sebagai bagian dari seremoni kaum milenial dalam merayakan cinta. Setiap memasuki bulan Februari, nuansa merah jambu (pink) menghiasi sudut-sudut mall dan tempat wisata. Tak lupa ornamen berbentuk hati ikut meramaikan. Sementara itu, aneka bentuk coklat dan bunga marak dijual di berbagai pertokoan demi menyambut hari Valentine.
Tak banyak yang menyadari bahwa kaum muslim telah disusupi propaganda moderasi beragama dalam benaknya lewat perayaan Valentine's day tersebut. Betapa tidak, kaum muslim dibuat mengekor pada budaya yang bukan dari Islam sampai lupa jati dirinya. Mereka ikut melegalkan hubungan di luar pernikahan (pacaran) bahkan membolehkan zina asalkan dilakukan suka sama suka. Sungguh hal tersebut merupakan musibah yang nyata bagi kaum muslimin.
Mereka diseret berperilaku sesuai arahan Barat, meski status di KTP adalah seorang muslim. Sungguh terbukti sabda Rasulullah saw bahwa kelak umat Islam akan mengikuti kebiasaan orang-orang Kafir sejengkal demi sejengkal.
“Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak sekalipun kalian pasti akan mengikuti mereka.” Kami bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka?” "(HR. Musim) *
Itulah yang diinginkan oleh Kafir Barat terhadap umat Islam, yakni agar mereka menjadikan Islam sebatas ritual belaka, sementara kepribadian Islam jangan sampai terwujud dalam individu seorang muslim. Begitulah hakikatnya propaganda moderasi dimainkan, umat Islam dipaksa menggenggam sekularisme kuat-kuat. Hal itu tidak terlepas dari adanya upaya Barat untuk mengadang kebangkitan Islam.
Jika umat Islam memahami agamanya secara utuh kemudian taat kepada ajaran agamanya secara kaffah, maka umat Islam akan memiliki kekuatan untuk bangkit menjadi sebuah peradaban. Hal tersebut jelas merupakan sebuah ancaman bagi Barat yang saat ini menghegemoni dunia dengan ideologi kapitalismenya. Mereka takut eksistensinya terganggu tatkala institusi Islam tegak menjulang memancarkan cahaya Islam yang sempurna.
Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa Barat senantiasa berupaya memadamkan kebangkitan Islam lewat tipu-tipu kapitalisme dan moderasi. Dengan demikian, umat Islam harus memahami Islam secara sempurna dan menancapkannya sebagai sistem hidupnya, sehingga tak mudah terseret oleh propaganda sesat ala Barat. Umat Islam juga harus berjuang demi terwujudnya institusi penerap syariat Islam secara kaffah yang dengannya akan menghalau segala bentuk ide atau budaya sesat di luar Islam. Wallahu'alam bi shawab…[]