"Betapa banyak nasib guru-guru honorer yang gajinya jauh dari layak. Walaupun telah mengabdi belasan bahkan puluhan tahun, kehidupan mereka sangat memprihatinkan. Tak jarang, demi bertahan hidup mereka pun mencari pekerjaan sampingan."
Oleh. Misnawati
(Pegiat Literasi)
NarasiPost.Com-Setiap orang yang bekerja tentu mengharapkan upah. Karena untuk membeli makanan sekadar menyambung hidup, dan membeli segala kebutuhan sehari-sehari memerlukan uang. Namun, apa jadinya jika uang yang diharapkan itu tidak kunjung diberikan. Pasti sedih dan kecewa.
Begitulah yang terjadi dengan mantan guru honorer berinisial MA di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Cikelet, Garut, Jawa Barat. Pada hari Jumat, 14 Januari 2022. MA nekat membakar sekolah tempatnya dulu pernah mengajar selama dua tahun (1996-1998). Lantaran gaji honorer senilai Rp6 juta tak dibayarkan oleh pihak sekolah.
Sebelumnya, MA telah menunggu hingga 24 tahun. Tetapi tak ada tanda-tanda pembayaran, ia pun naik pitam, akhirnya terjadilah pembakaran tersebut. Kasus ini pun langsung ditangani aparat kepolisian. Setelah menjalani penyelidikan, alhasil MA pun dibebaskan setelah ada kesepakatan pihak sekolah dan pihak Dinas Pendidikan setempat (Tribunnews.com, 29/1/2022).
Sebenarnya kasus yang dialami MA bukanlah kasus baru di negeri ini. Betapa banyak nasib guru-guru honorer yang gajinya jauh dari layak. Walaupun telah mengabdi belasan bahkan puluhan tahun, kehidupan mereka sangat memprihatinkan. Tak jarang, demi bertahan hidup mereka pun mencari pekerjaan sampingan. Namun, hingga kini negara masih tak mampu mengatasi permasalahan nasib pahlawan tanpa tanda jasa itu.
Guru adalah sosok mulia yang sangat berperan penting dalam mencerdaskan anak bangsa. Tugasnya mendidik, mengajar, melatih, membimbing dan berbagai kegiatan lainnya. Dilakukan dengan penuh kesabaran. Bahkan, tanpa adanya guru tidak mungkin menghasilkan generasi yang berkualitas, unggul, kreatif, cerdas dan berakhlak mulia.
Namun, dalam aturan kehidupan sekuler kapitalisme saat ini, agama hanya dilaksanakan saat beribadah mahdhah saja. Tetapi meniadakan perannya mengatur masalah pendidikan dan kesejahteraan guru. Maka muncullah problem kesenjangan dan ketidakadilan. Negara seharusnya melindungi dan mengurus nasib para guru honorer sebaik-baiknya. Tidak boleh berhitung untung dan rugi, memanfaatkan tenaganya saja, maupun menganggapnya sebagai beban.
Akibatnya, nasib tenaga honorer semakin jauh dari kata sejahtera, yang menjadi hak-haknya tidak didapatkan. Padahal, mereka sangat berharap akan gaji tersebut mampu memenuhi keperluan hidupnya. Sementara mereka tetap menjalankan kewajiban mengajar. Kontradiksi, Islam justru memuliakan seorang guru.
Guru Mulia dalam Islam
Perhatian Islam terhadap profesi guru sangat tinggi. Karena gurulah pencetak generasi gemilang berkepribadian Islam. Para pendidik merupakan bagian dari pejabat negara, maka akan mendapatkan perlindungan dan pelayanan kesejahteraan yang sama sesuai kebutuhannya. Oleh karena itu, negara berkewajiban mengalokasikan dana pendidikan yang diambil dari Baitul Mal.
Dengan harapan, bila terpenuhi semua kebutuhan hajat dasar seperti papan, sandang dan pangan, maka akan membuat seorang guru tenang dan amanah dalam menjalankan tugas mendidik murid-muridnya. Selain itu, akan mencetak guru berkualitas, memiliki kapabilitas dan berkompeten dalam mengajar. Dalam hal ini, peranan negara sangat menentukan.
Karenanya, Khilafah menjamin pemenuhan hak-hak setiap guru untuk mendapatkan kesejahteraan. Selain memperoleh gaji besar, sarana, prasarana belajar dan mengajar, tempat tinggal yang layak, menikahkan bagi yang belum menikah, menyediakan pembantu serta kendaraan yang diberikan secara cuma-cuma.
Bidang pendidikan terkategori kemaslahatan umum. Maka negara sangat memperhatikannya, seperti di Madinah saat itu, usai perang Badar Rasulullah saw., memberikan aturan kepada para tawanannya untuk mengajar membaca dan menulis kepada 10 warga setiap tawanan. Ini dilakukan sebagai tebusan kebebasan bagi dirinya. Yang nilai tebusan itu sama dengan harta pembebasan dari tawanan lain. Diketahui, barang tebusan merupakan milik Baitul Mal. Dengan begitu biaya pendidikan setara dengan barang tebusan. Dengan kata lain, Rasulullah saw. mengupah setiap pengajar dengan harta benda yang seharusnya kepunyaan kas negara.
Alkisah, Imam Ad-Damsyiqi mengabarkan sebuah riwayat dari Al-Wadliyah bin Atha. Sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Di Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Atas pekerjaannya itu, beliau menetapkan gaji kepada setiap guru tersebut masing-masing mendapatkan sebesar 15 dinar (63,75 gram emas) per bulan. Sedangkan 1 dinar nilainya setara 4,25 gram emas.
Semisal, bila saat ini harga 1 gram emas Rp930.000., maka setiap bulan guru akan mendapat gaji sebesar Rp59.287.500,-. Sungguh angka fantastis dan penghargaan yang luar biasa, yang diberikan khalifah terhadap para guru.
Demikian pula masa kekhilafahan Abbasiyah di Baghdad. Di Madrasah Nizamiyah, seorang guru (profesor) menerima gaji sebesar 40 dinar. Atas jerih payahnya mengajar di bidang hukum. Ada juga guru yang menerima 60 dirham sementara pembantunya 40 dirham. Bahkan, ada pula yang memperoleh gaji hingga 1000 dirham masa itu.
Dalam kitab Al Ahkam, Imam Ibnu Hazm menjelaskan bahwa seorang khalifah berkewajiban memenuhi sarana-sarana pendidikan dan menggaji para guru untuk mendidik masyarakat. Sebagaimana yang diriwayatkan hadis dari Abu Daud,
Rasulullah saw., bersabda:
"Barang siapa yang kami beri tugas melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami berikan rezeki (gaji/upah) maka apa yang diambil selain dari itu adalah kecurangan."
Khalifah menyadari betul akan tanggung jawabnya di hadapan Allah Swt., kelak dalam melaksanakan perannya sebagai riayah syu'unil ummah (mengurusi urusan umat) akan sangat berhati-hati dalam mengeluarkan setiap kebijakan. Jangan sampai ada yang menindas rakyat.
Selaras dengan sabda Rasulullah saw., yang berbunyi, " Seorang imam/khalifah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Betapa keberadaan seorang guru sangat mulia pada masa kejayaan Islam terdahulu. Dengan demikian, Kita pun berharap tidak akan ada lagi pendidik yang nasibnya tragis dan memprihatinkan seperti yang dialami MA dan guru lainnya.
Tentu menjadi kewajiban bersama, seluruh umat bersatu memperjuangkan hukum-hukum Allah Swt. agar segera ditegakkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, hanya dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh dalam sendi-sendi kehidupan, perbaikan nasib guru, pendidikan yang berkualitas, gratis, serta sarana prasarana yang memadai bisa dirasakan dan diwujudkan. Wallahu a'lam bishshawab[]
Miris memang kehidupan para guru dizaman sekarang ini dimana posisi guru tidak begitu diutamakan. Kesejahteraan mereka tdk diperhatikan, beda nasib guru dizaman kejayaan islam. Semoga Islam segera tegak agar tidak ada lagi guru yg kehidupannya memprihatinkan