Timbunan Minyak Ditemukan, Benarkah Negara Kehilangan Kewibawaan?

"Namun kewibawaan pemerintah juga tergilas dengan langkanya minyak goreng usai kebijakan satu harga ditetapkan, rakyat yang tak mau tahu tentang regulasi marah dan kecewa menuntut pemerintah menyelesaikan persoalan harga dan kelangkaan minyak tersebut."

Oleh. Dia Dwi Arista
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Indonesia, sebagai produsen terbesar kelapa sawit nyatanya tak mampu memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri. Padahal, lahan kelapa sawit setiap tahun bertambah, hasil panen kepala sawit tidaklah terkendala, produksi minyak goreng pun masih normal seperti sediakala. Namun sayangnya minyak langka, susah ditemukan di mana-mana.

Ironi ini berlanjut ketika Satgas Pangan Sumatra melakukan sidak di beberapa tempat. Mereka menemukan 1,1 juta liter minyak goreng siap pakai tertimbun di Lubuk Pakam, Kecamatan Deli Serdang. Padahal di Sumatra sendiri sedang mengalami langka minyak goreng. Jikalau ada pun, dengan harga yang mahal. Usut punya usut, rupanya pemilik minyak goreng yang ditimbun ini adalah Grup Salim milik pengusaha Anthony Salim.

Pihaknya mengatakan bahwa tumpukan minyak goreng tersebut telah dipesan untuk produksi mi instan yang merupakan induk perusahaan minyak tersebut, yakni PT Indofood Sukses Makmur Tbk. (money.kompas.com, 20/2/2022).

Di lain pihak, beredar berita PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) membagikan 10 ton minyak goreng dan 10 ton gula pasir serentak di 21 kota di Medan. Yang menjadi sorotan adalah kemampuan mereka mengumpulkan 10 ton minyak di tengah kelangkaan, dari mana mereka mendapatkannya? (depok.pikiran-rakyat.com, 17/2/2022).

Pemerintah Kehilangan Wibawa

Adanya berita tentang penimbunan yang ditemukan dalam jumlah besar, tak hanya terjadi di Sumatra saja, namun di beberapa wilayah juga ditemukan hal serupa. Padahal, pemerintah sudah mengeluarkan gelontoran dana subsidi sekitar Rp3,6 triliun agar harga minyak goreng bisa kembali normal dalam kisaran Rp14.000,00 per liter.

Penemuan timbunan ini bagai tamparan bagi kebijakan pemerintah yang menjanjikan minyak goreng bersubsidi tersedia di pasar dan ritel modern. Kenyataannya, ritel modern seringnya menunjukkan rak kosong pada bagian minyak goreng, bahkan di pasar tradisional pun terjadi kelangkaan.

Penyebab kelangkaan minyak goreng ini pun menurut Brigjen Pol Whisnu Hermawan Februanto, Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus, dikarenakan terlambatnya pengiriman dari distributor dan tingginya minat warga untuk membeli minyak goreng.

Tak sinkronnya kebijakan pemerintah dan kebijakan distributor minyak goreng, menimbulkan tanya, apakah pemerintah sudah hilang kewibawaannya? Hingga titahnya pun bisa diabaikan dengan mudah? Kewibawaan pemerintah tak hanya turun di kalangan pengusaha sebab rancunya kebijakan dan realita di lapangan. Namun kewibawaan pemerintah juga tergilas dengan langkanya minyak goreng usai kebijakan satu harga ditetapkan, rakyat yang tak mau tahu tentang regulasi marah dan kecewa menuntut pemerintah menyelesaikan persoalan harga dan kelangkaan minyak tersebut.

Kartelkah Pelakunya?

Dalam ekonomi ala kapitalisme, orang yang mempunyai modal besar dapat melakukan apa saja, tak terkecuali membeli barang dengan jumlah yang fantastis. Hal tersebut memang diperbolehkan, namun yang menjadi masalah adalah ketika barang tersebut hanya ditimbun dan tidak didistribusikan, dengan tujuan perubahan harga dalam pasar, maka ini menjadi masalah besar. Inilah yang disebut dengan kartel.

Beberapa bulan yang lalu, harga CPO dunia meningkat pesat di pasar internasional. Imbasnya, Indonesia pun ikut mengambil harga internasional bagi produk turunannya, yakni minyak goreng. Maka rakyat dipaksa membeli minyak goreng hasil olahan dalam negeri, berikut bahan baku juga dari perkebunan sendiri, namun harga mengikuti internasional.

Padahal jika ditilik lebih dalam, proses produksi dan bahan tidak ada peningkatan, pun dalam proses pembuatannya. Namun harga minyak goreng tetaplah tinggi. Disusul dengan kelangkaan yang terjadi, maka terdapat dua kemungkinan adanya kartel minyak goreng:

Pertama, kartel berasal dari produsen. Minyak goreng yang siap edar ditahan agar dapat memengaruhi harga di pasar, subsidi atau tidak, produsen akan tetap mendapat keuntungan besar, sebab komoditi dipastikan terjual mengingat minyak goreng adalah salah satu kebutuhan dalam masyarakat.

Kedua, kartel berasal dari distributor. Para distributor biasanya bukanlah orang baru dalam mendistribusikan barang. Mereka sudah ahli dalam melakukan pekerjaan tersebut. Namun, adanya kenaikan harga di pasar internasional, dapat menimbulkan kepanikan dalam negeri meski dari pihak produsen masih memproduksi dengan normal. Maka kartel bermain dengan menahan barang untuk tidak didistribusikan agar terjadi kelangkaan dan perubahan pada harga.

Masalah-masalah seperti ini sering dijumpai dalam ekonomi kapitalis hari ini. menguasai modal, bisa berarti menguasai harga. Lalu membuat kisruh dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Inilah biasanya pekerjaan kartel harga ketika komoditi langka, padahal produksi tidak ada kendala.
Dan hal itu haram dalam Islam.

Kapitalisme Tak Menyelesaikan Masalah

Indonesia yang menggunakan sistem ekonomi kapitalis, tentu akan menyelesaikan segala permasalahan dengan kacamata kapitalis pula. Dalam masalah harga minyak yang melonjak, pemerintah tak ragu menggelontorkan triliunan rupiah agar terjadi kestabilan harga dalam pasar. Padahal perkara ini bisa dihindari jika pemerintah tak menyerahkan pemenuhan kebutuhan primer masyarakat pada pemodal.

Pemerintah dapat mendayagunakan ratusan ribu hektar tanah negara untuk memulai menanam kelapa sawit, yang kemudian menjadi bahan baku untuk pembuatan minyak goreng murah bagi rakyat. Namun, tanah negara tersebut malah diberikan kepada pengusaha untuk dikelola. Rakyat yang menjadi pemilik tanah tersebut harus membayar mahal untuk kebutuhan primer mereka.

Begitu pula ketika terjadi kelangkaan sebagai buntut dari masalah lonjakan harga minyak tersebut. Pemerintah pun akhirnya menetapkan kebijakan satu harga pada minyak goreng per 1 Februari 2022. Dengan harga minyak goreng dalam kemasan Rp14.000,00 per liternya. Padahal mekanisme pasar normalnya akan membentuk harga sesuai pasar, namun ketika ada patokan harga, negara mulai campur tangan dan menimbulkan kemungkinan zalim pada penjual dan pembeli.

Hal ini dibuktikan dengan pematokan harga oleh pemerintah, malah membuat minyak goreng semakin langka peredarannya. Harga komoditi primer di pasar hendaknya dibuat stabil, namun bukan karena pematokan harga, tapi interaksi alami antara penjual dan pembeli. Penjual mendapatkan kompensasi keuntungan dari barang yang dijual, pembeli juga mendapat kemanfaatan dari barang tersebut.

Lantas, bagaimana syariat Islam memandang perkara ini?

Islam Melarang Penimbunan dan Pematokan Harga

Islam tak sekadar agama ritual semata yang hanya mengurusi peribadatan manusia pada Tuhannya. Namun, Islam diturunkan Allah Swt. menjadi sebuah ideologi yang darinya terlahir segala aturan bagi manusia. Aturan ini terbingkai apik dalam institusi negara yang disebut dengan Khilafah.

Dalam perkara pemenuhan kebutuhan masyarakat, akan menjadi tugas Khilafah untuk menjamin ketersediaannya. Dari mulai swasembada, hingga mendatangkannya dari daerah atau negara lain. Tentu dengan harga yang terjangkau dan tidak menimbulkan kesulitan pada rakyatnya.

Ketika terjadi kelangkaan, Khilafah akan melihat sebab dari kelangkaan tersebut. Apakah disebabkan adanya penimbunan ataukah memang terjadi kelangkaan alami yang disebabkan produksi terkendala. Jika disebabkan penimbunan, langkah Khilafah adalah dengan menjatuhkan hukuman takzir. Yakni dengan memaksa para penimbun menawarkan dan menjual komoditi mereka dengan harga pasar.

Namun, jika komoditi yang dibutuhkan hanya ada pada penimbun tersebut dan ia leluasa menetapkan harga, maka Khilafah harus mendatangkan komoditi tersebut dari luar ke dalam pasar, dengan demikian tidak ada orang yang dapat mengendalikan harga komoditi yang dibutuhkan, sebab di pasar sudah tercukupi.

Perlakuan semacam ini juga dilakukan ketika komoditi langka karena sebab alami, misal paceklik atau kondisi perang. Maka Khalifah pun harus mendatangkan komoditi tersebut ke dalam pasar. Sebagaimana yang Khalifah Umar ra. lakukan ketika beliau menjabat sebagai Khalifah di Madinah. Saat itu terjadi kelangkaan bahan makanan di Hijaz, sementara lonjakan harga terlalu tinggi hingga menyulitkan warga Hijaz untuk membelinya. Maka Umar pun mendatangkan bahan makanan tersebut dari Mesir dan Syam, yang berakibat pada turunnya harga bahan makanan di pasar tanpa harus ada pematokan harga.

Untuk pematokan harga, Islam telah jelas melarangnya. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Abu Hurairah berkata, “Seorang laki-laki datang dan berkata, ‘Ya Rasulullah, patoklah harga!’ Beliau menjawab, ‘Akan tetapi, saya berdoa’. Kemudian seorang laki-laki yang lain datang dan berkata, ‘Ya Rasulullah, patoklah harga!’, Beliau bersabda, ‘Akan tetapi, Allahlah yang menurunkan dan menaikkan (harga)’”.

Pematokan harga dalam Islam dilarang sebab pematokan harga adalah kezaliman. Kerja pasar diserahkan secara alami pada penawaran dan permintaan, dengan catatan tidak ada mudarat yang terjadi seperti harga yang terlalu tinggi di pasar atau terlalu rendah, hingga merusak harga pasar. Islam menginginkan terjadinya persaingan yang sempurna bukan adanya permainan harga di dalamnya. Penjual maupun pembeli mendapat kompensasi dari aktivitasnya masing-masing secara alami.

Khatimah

Penimbunan minyak yang dilakukan beberapa oknum jelas telah merusak pasar dan mengganggu kebutuhan masyarakat akan komoditi tertentu. Meski pemerintah menetapkan harga, namun sayangnya, kebijakan tersebut tidak digubris, malah keadaan jatuh pada kelangkaan komoditi. Hal ini disebabkan oleh lepas tangannya pemerintah terhadap hajat hidup masyarakatnya. Berbeda dengan Islam, yang menjadikan kebutuhan masyarakat menjadi perhatian utama. Khilafah akan berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat dengan baik melalui mekanisme-mekanisme yang sesuai dengan syariat Islam. Allahu a’lam bis-showwab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Dia Dwi Arista Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Muskaan Khan: Sinyal Kuat Wujudkan Perisai Umat
Next
Dahsyatnya Doa dan Istigfar Membuka Tabir
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram