"Adanya penelitian dan penemuan rahim sintetis ini, sejatinya merupakan hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetapi Islam mendudukkan hal ini hanya sebatas temuan teknologi, dan tidak bermaksud untuk menggantikan rahim ciptaan Allah yang Maha Sempurna dengan segala fungsinya, termasuk tidak menyalahi fungsi hasil teknologi ini dengan sesuatu yang bertentangan dengan koridor syariat."
Oleh. Ahsani Annajma
(Penulis dan Pemerhati Sosial)
NarasiPost.Com-Menjadi seorang ibu dan memiliki anak adalah dambaan setiap wanita di dunia ini. Namun, bagi mereka yang kesulitan mendapatkan keturunan, segala cara akan ditempuh demi menghadirkan momongan, mulai dari pembuatan bayi tabung, surogasi (penyewaan rahim), hingga mengadopsi anak. Belakangan ini, publik dihebohkan dengan temuan rahim sintetis yang diklaim menjadi solusi untuk menghasilkan keturunan tanpa melahirkan.
Allah sebagai Al-Khaliq memberikan kepercayaan kepada seorang ibu untuk membawa calon manusia lain yang hidup selama sembilan bulan sepuluh hari di dalam rahim. Sungguh nikmat yang tak terkira yang patut kita syukuri. Bayangkan rasanya, ketika kita mengandung janin yang terus berkembang, bergerak dan melonjak-lonjak sampai terkadang membuat kita meringis, namun tetap ada rasa bahagia yang tercipta. Itulah anugerah. Namun, adakah yang dapat menandingi pemberian terindah dari Sang Kuasa? ternyata ada saja pihak yang berusaha ingin menandingi ciptaan-Nya.
Ini bermula dari cuitan Twitter orang terkaya dunia pendiri Tesla, Elon Musk, yang sempat trending di media sosial (19/1). Elon mengeluhkan peradaban manusia akan punah karena populasinya yang terus menurun, sembari melampirkan sejumlah berita yang menyatakan bahwa tingkat kelahiran di AS menurun empat persen pada 2020, terlebih banyak orang yang tidak mau memiliki keturunan demi masa depan yang lebih baik. Cuitan terebut ditanggapi oleh pendiri kripto, Vitalik Butterin, dengan memberi gagasan gila “synthetic wombs” yang berarti rahim sintetis. Menurutnya, ide brilian rahim sintetis ini dapat menggantikan peran mengandung seorang wanita. Selain menghilangkan permasalahan turunnya populasi, ide ini dapat menghilangkan beban kehamilan yang tinggi, dan secara signifikan mengurangi gaji ketidaksetaraan gender (24/1). Sontak hal ini menuai kritikan keras dari warganet. Menurut mereka, kehamilan biologis bukanlah penghalang utama ketidaksetaraan gender.
Serba-Serbi Penelitian Rahim Sintetis
Tidak semua orang diberikan kesempatan untuk melahirkan bayi secara normal. Beberapa di antaranya terkendala karena faktor usia dan juga kondisi rahim yang lemah. Faktor inilah yang menyebabkan terjadinya kelahiran bayi prematur yang lahir berusia 23 hingga 30 minggu. Indonesia sendiri menduduki peringkat ke-lima kelahiran bayi prematur. Akhirnya, para ilmuwan mencoba membantu para calon ibu untuk mendapatkan momongan yang sehat tanpa masa kehamilan yang panjang dan berisiko.
Terobosan medis dan bioteknologi dilakukan untuk menyelamatkan bayi prematur, salah satunya dengan menciptakan rahim buatan atau ectogenesis. Istilah ectogenesis sendiri berarti mengembangkan organisme dan lingkungan buatan. Ide ini ternyata bukan hal baru dalam dunia medis, tetapi sudah dikenal sejak tahun 1923. Eksperimen pertama rahim sintetis dilakukan tahun 1950 dan terus dikembangkan, namun tidak terlalu sukses. Menurut Marcus Davey, seorang foetal physiologist yang juga terlibat dalam penelitian ini, mengatakan penemuan ini akan menjadi sebuah harapan besar untuk membantu bayi-bayi yang lahir prematur di kemudian hari.
Pada tahun 2017, uji coba rahim buatan pernah dilakukan oleh para peneliti dari rumah sakit anak Philadelphia, AS, dengan menggunakan medium domba. Para peneliti tersebut mentransfer bayi domba yang baru berusia 105 hingga 115 hari kehamilan, atau setara dengan 28 hingga 32 minggu gestasi manusia ke dalam biobag polietilena yang diisi dengan cairan ketuban buatan yang normalnya juga terdapat di dalam rahim manusia. Setelah beberapa minggu dalam biobag tersebut, anak domba dapat lahir dan berkembang secara normal. Hal serupa juga dilakukan oleh Tohoku University dikutip sciencedaily dari American journal of obstetrics and gynecology (AJOG) pada bulan Maret 2019, menyajikan data dunia pertama yang menunjukkan kemampuan dari plasenta buatan untuk mempertahankan janin domba yang sangat prematur dengan berat 600-700 gram atau setara dengan janin manusia pada usia 24 minggu kehamilan.
Kepala laboratorium penelitian Perinatal, Profesor Matt Kemp, mengatakan bahwa melalui teknologi rahim buatan telah menunjukkan kelayakan kelangsungan hidup yang diperpanjang dengan teknologi plasenta buatan pada janin prematur. Penggunaan teknologi rahim buatan ini dipercaya memberikan manfaat, seperti meningkatkan harapan hidup bayi prematur, menurunkan angka kematian bayi lahir prematur, menguatkan dan mengembangkan organ dalam vital yang belum siap, serta memenuhi nutrisi bayi lahir yang kurang. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Dr. Alan Flake, sebagai Direktur Pusat Penelitian Janin di Rumah Sakit Anak Philadelphia, AS. Menurutnya, bayi yang lahir prematur memiliki kebutuhan mendesak untuk jembatan antara rahim ibu dan dunia luar. Sehingga, tujuan utama penelitian ini ialah menyediakan lingkungan untuk bayi prematur agar dapat dengan memaksimalkan proses perkembangan organ paru-paru dan organ tubuh lainnya selama periode kritis di usia 23 sampai 28 minggu setelah pembuahan. (mediaindonesia.com, 29/4/2017)
Namun, penciptaan teknologi ini semata-mata hanya untuk membantu kelahiran bayi prematur, bukan untuk membuat bayi tanpa kehamilan. Karena pada dasarnya, tidak mungkin bayi lahir tanpa proses pembuahan terlebih dahulu dalam rahim seorang ibu.
Awas, Bahaya Terselubung Mengancam
Adanya rahim sintetis ini tentunya menjadi “angin segar” untuk pihak-pihak tertentu. Apalagi jika teknologi ini dikembangkan secara terus-menrus, sehingga dapat dijadikan para kapital sebagai ‘komoditas baru’ untuk diperdagangkan. Sistem kapitalisme yang melahirkan asas liberalisme tentu saja tidak akan lengah memanfaatkan temuan teknologi ini.
Apalagi gagasan ini diamini oleh para kapital yang mengusulkan peran perempuan mengandung, diganti dengan rahim buatan ini dan secara signifikan diklaim dapat membantu mengurangi kesenjangan gaji antargender, sehingga kaum perempuan dapat terus bekerja tanpa harus menanggung beban kehamilan yang berat dan panjang. Lagi-lagi solusi pragmatis yang ditawarkan untuk mengatasi kesenjangan gaji antara pekerja laki-laki dan perempuan, dan materi sebagai tolak ukur perbutannya. Tidak hanya itu, ide ini bukan tidak mungkin akan dijadikan sebagai solusi yang ditawarkan untuk pasangan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) untuk memiliki anak tanpa harus mengalami proses kehamilan. Dampaknya lebih jauh, akan makin marak manusia yang memilih melakukan penyimpangan seksual sejenis (LGBT) ketimbang menjadi pasangan yang normal dan memiliki keturunan. Fakta ini jelas menyalahi kodrat dan di luar batas. Sistem kapitalisme sekularisme akan menumbuhsuburkan perilaku liberal. Hal ini tak bisa dimungkiri akan menjadi pilihan umat Islam untuk mengikuti tren tersebut yang berujung pada kehancuran peradaban manusia. Nau’dzubillah mindzalik.
Mendudukkan Teknologi sebagai Madaniyah Umum
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat, masih banyak pemahaman yang keliru di benak umat tentang realita hadharah dan madaniyah. Alhasil, tidak sedikit statement bermunculan, seperti beragama Islam tetapi mengapa memakai dan mengonsumsi produk Barat? atau perkataan, "Sok islami, kearab-araban, tetapi pakainya produk dan teknologi dari Barat, tidak konsisten." Oleh karena itu, dalam menyikapi hal ini, kita harus sama-sama membentuk persepsi yang benar terkait hadharah dan madaniyah ini.
Di dalam kitab Nizham fil Islam karya Syaikh Taqiyyudin an Nabhani, dijelaskan bahwa hadharah adalah sekumpulan pemahaman atau ide yang dianut dan mempunyai fakta tentang kehidupan. Hadharah ini terkait dengan akidah dan sifatnya khas. Sebagai contoh, pemikiran sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, bermula dari protes terhadap dominasi kaum gerejawan yang menggunakan agama untuk kekuasaan. Maka, diambillah jalan tengah sebagai kompromi untuk menengahi keduanya. Barat sebagai pengusung ide ini, sangat menonjolkan aspek asas manfaat yang diraih, sebagaimana asas sekularisme sebagai sandaranya. Tolak ukur kebahagiaan dinilai dari berapa banyak kenikmatan dunia yang dapat mereka rasakan dan manfaatkan (materi). Oleh karena itu, umat Islam wajib meninggalkan hadharah Barat/ kafir, karena hadharah ini berasal dari pemikiran manusia yang lemah dan semata-mata berdasarkan akal manusia. Umat Islam seharusnya wajib mengambil hadharah Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah sebagai pijakannya.
Adapun pengertian madaniyah menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, makna madaniyah ada dua pembagian pembahasan, yaitu madaniyah yang bersifat khas dan madaniyah yang bersifat umum. Madaniyah yang bersifat khas contohnya terletak pada benda-benda yang terkait dengan akidah tertentu atau mengandung pemikiran (hadarah), seperti topi Natal, kalung salib, candi, patung, dan lainnya, dihukumi haram untuk dipergunakan oleh seorang muslim. Sementara madaniyah yang bersifat umum adalah madaniyah yang tidak terkait akidah tertentu atau mengandung pemikiran (hadharah). Madaniyah ini semata-mata merupakan hasil dari kemajuan sains dan perkembangan teknologi atau industri. Misalnya, aplikasi Facebook, Whatsapp, handphone, mobil, senjata,alat-alat medis, dan temuan teknologi lainnya, maka hukum menggunakannya adalah halal, selama dimanfaatkan dengan benar sesuai dengan koridor syariat Islam, karena benda-benda tersebut tidak mengandung pemahaman atau pandangan hidup tertentu.
Rasulullah saw dikisahkan pernah menggunakan senjata Dababah dan Manjaniq yang dibuat oleh orang-orang kafir. Senjata Dababah adalah alat tempur yang memiliki moncong berupa kayu besar, yang digunakan untuk menggempur pintu benteng musuh. Sedangkan Manjaniq adalah katapel raksasa yang biasa digunakan oleh pasukan Romawi untuk menggempur lawan. Secara sederhana hubungan antara keduanya dapat dijelaskan bahwa hadharah adalah peradaban dan madaniyah adalah produk dari peradaban. Di sinilah yang harus dipahami seorang muslim terkait hadharah dan madaniyah.
Adanya penelitian dan penemuan rahim sintetis ini, sejatinya merupakan hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetapi Islam mendudukkan hal ini hanya sebatas temuan teknologi, dan tidak bermaksud untuk menggantikan rahim ciptaan Allah yang Maha Sempurna dengan segala fungsinya, termasuk tidak menyalahi fungsi hasil teknologi ini dengan sesuatu yang bertentangan dengan koridor syariat.
Di samping itu, umat Islam harus menguasai fakta mutakhir ini dengan baik, agar dapat memberikan ijtihad hukum terhadap persoalan mutakhir, sehingga perkembangan teknologi ini hanya dimanfaatkan sesuai dengan syariat Islam. Di tengah gempuran hebat pemikiran Barat, seharusnya umat Islam sudah tidak lagi kebingungan membedakan mana yang boleh diambil dan mana yang tidak, mana yang merupakan hadharah asing dan produknya, dan mana yang hanya madaniyah. Umat tidak boleh terus-menerus terjebak dalam kebodohan dan kebingungan. Munculnya permasalahan ini bukanlah persoalan baru, sejak peradaban Islam mengalami kemunduran dan ditutupnya pintu ijtihad, umat menjadi terombang-ambing.
Keterpurukan kian terasa tatkala Daulah Islam runtuh dan umat Islam seperti anak yang kehilangan induknya. Tidak ada yang menjaga akidah dan memberikan perlindungan, dan umat berada dalam kesesatan yang diciptakan oleh penguasa sistem sekuler. Sudah saatnya kita kembali mengambil Islam sebagai aturan kehidupan, yang akan membawa keselamatan hidup untuk manusia. Terbukti berjaya selama 13 abad, Islam mampu menjawab berbagai persoalan yang ada, termasuk persoalan mutakhir. Tawaran solusi yang diberikan Islam bukan abal-abal, melainkan sesuai dengan fitrah, memuaskan akal, dan menentramkan jiwa. Wallahu'alam bisshowab[]