"Politisi dalam demokrasi kapitalisme akan menempuh beragam cara untuk mencapai tujuan. Tak jarang sikut kiri kanan. Karena bagi mereka tak ada kawan ataupun lawan sejati, yang ada hanyalah kepentingan sejati. Kalau pun ada di antara mereka yang berjuang dengan tulus, seringkali justru terbawa arus atau mereka akan terlempar dan menjadi korban."
Oleh.Pahriati, S.Si
NarasiPost.Com-Aroma perpolitikan menuju pilpres 2024 makin terasa. Sebagaimana diketahui, berdasarkan hasil rapat kerja DPR RI bersama pemerintah, Pemilu presiden dan wakil presiden (Pilpres) akan digelar pada 14 Februari 2024. Pelaksanaannya berbarengan dengan pemilu legislatif (Pileg) untuk memilih anggota DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan anggota DPD RI. (Kompas.com, 24/1/2022)
Meski waktu pemilihan masih lama. Tapi persaingan antarkandidat sudah terasa. Masing-masing mulai melancarkan aksinya.
Para relawan bermunculan. Mereka melakukan deklarasi guna mendukung kandidat yang diunggulkan. Bendera, baliho, spanduk, mulai bertebaran. Aksi menggaet perhatian warga mulai digencarkan. Ada yang melakukan pendekatan pada petani, peternak, pedagang, tukang ojek, pengusaha kecil, hingga kaum muda.
Di tengah krisis multidimensi yang membelenggu negeri, terkhusus kondisi ekonomi dan kesehatan yang ambruk diterjang pandemi, tanpa malu mereka menampakkan ambisi meraih kursi. Tak ada simpati atas derita yang sedang rakyat alami. Hal itu bukanlah sesuatu yang mengherankan di alam demokrasi. Itulah watak asli politisi dalam demokrasi. Watak yang terbentuk oleh sistem. Berhasrat besar meraih kekuasaan.
Kontestasi Politik dalam Demokrasi
Pemilu merupakan metode yang ditetapkan demokrasi untuk memilih wakil dan pemimpin bagi rakyat. Rutinitas lima tahunan ini menjadi ajang kontestasi bagi mereka yang ingin meraih kursi jabatan. Mereka akan berusaha menampilkan sosok kandidat dengan citra yang positif agar mampu meraih simpati dan meraup suara.
Metode demokrasi kapitalisme seperti ini meniscayakan pemilu berbiaya tinggi. Guna menonjolkan kandidat, perlu menggencarkan kampanye, di dunia nyata maupun dunia maya. Ini tentu memerlukan dana yang besar. Karenanya mereka akan menggaet para penopang dana. Di sinilah terbentuk ikatan kepentingan antara pengusaha (pemilik dana) dengan penguasa terpilih.
Akhirnya kekuasaan dijadikan jalan untuk memuluskan kepentingan. Memperjuangkan kepentingan rakyat seringkali hanya jargon. Faktanya, kepentingan pribadi dan segelintir orang lebih mendominasi. Dalam kampanye seringkali mengumbar janji. Namun, saat duduk di kursi kekuasaan, banyak yang tak terealisasi.
Politisi dalam demokrasi kapitalisme akan menempuh beragam cara untuk mencapai tujuan. Tak jarang sikut kiri kanan. Karena bagi mereka tak ada kawan ataupun lawan sejati, yang ada hanyalah kepentingan sejati. Kalau pun ada di antara mereka yang berjuang dengan tulus, seringkali justru terbawa arus atau mereka akan terlempar dan menjadi korban.
Demikianlah wajah demokrasi. Pemimpin yang dipilih bukan berdasarkan kualitas dan kapabilitas yang dimiliki. Kandidat yang diajukan lebih bertumpu pada kepopuleran, pencitraan atau tingginya elektabilitas. Jika demikian, apa yang bisa kita harapkan dari pemimpin dan sistem yang seperti ini? Mampukah membawa negeri ini menuju kondisi yang lebih baik? Atau justru semakin terpuruk?
Konsep kekuasaan dalam Islam
Pandangan demokrasi terkait kekuasaan bertolak belakang dengan pandangan Islam. Islam memandang kekuasaan bukanlah jalan untuk meraih keuntungan. Kekuasaan dipandang sebagai sebuah amanah yang akan dipertanggungjawabkan, bukan hanya di hadapan rakyat, tapi yang lebih berat adalah pertanggungjawaban di sisi Allah.
Islam sangat memperhatikan masalah kepemimpinan dan sistem yang diterapkan oleh sang pemimpin. Esensi politik dan kepemimpinan dalam Islam adalah untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi. Islam menegaskan bahwa kekuasaan akan menjadi kemuliaan jika dipergunakan untuk menegakkan kebenaran dan melindungi orang yang dipimpinnya. Sebaliknya, kekuasaan akan menjadi kehinaan jika disalahgunakan.
Penguasa adalah ra'in. Dia adalah pelayan umat, bukan malah minta dilayani. Maka, wajar jika rakyat menuntut penguasa ketika hak-hak mereka tidak terpenuhi. Seorang penguasa harus memahami betul amanah yang ditanggungnya. Jika seseorang memahami tugas besar ini, ia takkan berambisi meraih kekuasaan, kecuali kekuasaan itu bisa dijadikan jalan menegakkan kebenaran dan keadilan.
Berkaitan dengan sosok pemimpin, Islam menetapkan ada tujuh syarat mutlak bagi seorang pemimpin, yakni seorang muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, dan mampu. Syarat mampu di sini memiliki makna yang luas, termasuk kapabilitas kepemimpinan. Jadi, sosok pemimpin yang dipilih bukan bermodal citra polesan atau banyaknya dana dimiliki.
Kesadaran akan makna kekuasaan seperti inilah yang membuat Abu Bakar Ash-Shidiq menangis ketika menerima amanah sebagai Khalifah (pengganti) Rasulullah saw. Kesadaran ini pula yang membuat Umar bin Khattab begitu rela "blusukan" di malam hari, bukan untuk pencitraan, melainkan untuk memastikan semua rakyatnya dalam keadaan baik. Beliau juga sangat memperhatikan sikap dan harta kepemilikan dari pejabat yang membantunya.
Masih banyak kisah teladan lain yang menunjukkan bagaimana sosok pemimpin yang betul-betul memperhatikan arti kekuasaan. Sosok seperti itulah yang layak dijadikan teladan. Bukan seperti penguasa saat ini yang berebut meraih kursi kekuasaan, bahkan tak peduli halal haram.
Pemimpin yang hebat tak lahir tiba-tiba, tapi perlu didukung oleh sistem yang menerapkan hukum Islam secara kaffah, yakni Daulah Khilafah. Karenanya kita perlu berjuang untuk menghadirkan pemimpin yang beriman, adil dan amanah, disertai dengan upaya perjuangan mewujudkan penerapan Islam kaffah. []