Pungli Menjamur, Hanya Islam yang Mampu Membasmi

"Inilah realitas dalam sistem demokrasi yang telah memberikan peluang bagi tindak kejahatan pungli. Sistem ini telah membentuk karakter individu yang tidak takut berbuat dosa, sebab yang menjadi standarnya bukan lagi halal haram namun kemanfaatan (materi) saja. Maka wajarlah bila demokrasi justru menjadi ladang bagi menjamurnya praktik pungli."

Oleh. Dwi Indah Lestari

NarasiPost.Com-Aparat hukum melakukan pungutan liar (pungli), bukanlah kejadian yang baru saja terjadi. Sudah banyak kasus serupa yang telah terungkap maupun masih tersembunyi. Mentalitas penegak semacam ini, semakin tumbuh subur di tengah sistem rusak demokrasi. Lalu sistem apa yang mampu mengatasi?

Dilansir dari tempo.co (22/1/2022), Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) melaporkan dugaan terjadinya pungutan liar yang dilakukan oleh oknum pejabat Kantor Bea Cukai Soekarno-Hatta terhadap salah satu usaha jasa kurir di bandara tersebut, ke Kejaksaan Tinggi Banten. Kepala Kantor Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta Finari Manan, menjelaskan bahwa dua pejabat yang dilaporkan itu kini telah dinonaktifkan dari jabatannya.

Faktor Pendorong Terjadinya Pungli

Segala pungutan yang dilakukan secara ilegal, yaitu tanpa dasar hukum apakah berupa undang-undang atau peraturan pemerintah, dapat dikategorikan sebagai pungli (pungutan liar). Praktik semacam ini, kini semakin marak dijumpai, baik dilakukan oleh individu maupun kelompok, secara terang-terangan atau pun tersembunyi.

Ironisnya, aparat hukum yang seharusnya menjadi penegak peraturan, justru banyak juga yang terlibat dalam praktik semacam ini. Adanya kekuasaan di tangan mereka, malah seperti menjadi jalan untuk melakukan pelanggaran hukum. Para oknum ini tak segan memberikan tekanan pada pihak-pihak yang lemah, agar kemauannya dituruti. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Beberapa hal yang mungkin mendorong para pejabat nekat melakukan pungli di antaranya adalah karena alasan ekonomi. Misalnya karena gaji yang diperoleh dalam pekerjaannya rendah, sehingga harus putar otak mencari tambahan. Sayangnya, hal ini membuat mereka tergiur untuk berbuat melenceng seperti melakukan pungli.

Faktor lainnya bisa jadi karena lingkungan. Tak bisa dimungkiri, kebiasaan memungut di luar ketentuan ini sering ditemui di masyarakat. Kalau ingin usaha lancar atau urusan cepat selesai tidak ada halangan, harus mau bayar fulus lebih. Mirisnya, hal ini kemudian membudaya, yang membuat pungli semakin tumbuh subur sementara pelakunya menganggap perbuatannya itu hal yang lumrah.

Selain itu terdapat faktor psikologis, di mana seseorang merasa selalu kurang dan apa yang sudah diperolehnya masih belum cukup. Hal ini terjadi secara alamiah karena dibentuk oleh sistem hidup kapitalistik yang kini berjalan atas masyarakat. Segala sesuatu dihitung secara materi sehingga mendorong perilaku hedonis dan menciptakan masyarakat yang begitu konsumtif, yang berlomba-lomba membangun kehidupan yang glamor.

Kondisi ini didukung oleh sistem demokrasi yang meletakkan kedaulatan membuat hukum di tangan manusia. Hal ini memberi celah bagi para pejabat untuk mempermainkan hukum bahkan melanggarnya demi kepentingan pribadi dan memperkaya diri. Sebab yang menjadi tolak ukur bukan lagi halal haram tetapi manfaat. Bahkan sistem cacat inilah yang berperan membentuk karakter dan mentalitas buruk pejabat semacam ini.

Ditambah lagi sanksi yang tidak tegas, semakin membuat praktik pungli sulit untuk dibasmi tuntas. Bahkan tuntutan hukuman bagi pelaku pungli bisa dinegosiasikan, sehingga meringankan vonis yang dijatuhkan bahkan bebas. Dalam beberapa kasus, para oknum aparat malah tetap bisa memegang jabatannya bahkan mendapat promosi.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, dikutip dari tempo.co (23/1/2022), yang menyebut bahwa dua aparat Bea Cukai yang melakukan pungli di Bandara Soekarno-Hatta tersebut salah satunya malah mendapat promosi, sementara yang lainnya masih menduduki jabatannya. Ia membantah pernyataan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani yang mengatakan telah menindak anak buahnya itu.

Inilah realitas dalam sistem demokrasi yang telah memberikan peluang bagi tindak kejahatan pungli. Sistem ini telah membentuk karakter individu yang tidak takut berbuat dosa, sebab yang menjadi standarnya bukan lagi halal haram namun kemanfaatan (materi) saja. Maka wajarlah bila demokrasi justru menjadi ladang bagi menjamurnya praktik pungli.

Sistem Islam Mumpuni Membasmi Pungli

Berbeda halnya bila sistem Islam yang diterapkan. Sistem yang dibangun atas dasar akidah Islam, akan membentuk masyarakat yang memiliki kesadaran untuk senantiasa melandaskan seluruh perbuatannya kepada hukum Allah semata. Kesadaran ini pula yang membentuk karakter individu dan masyarakat yang takut untuk bermaksiat.

Hal ini akan membangun kultur kedisiplinan dalam penegakan hukum, baik itu oleh individu, masyarakat, maupun negara. Sehingga pelanggaran sekecil apa pun akan mudah dan cepat diketahui. Bahkan bila ada seseorang yang silap melakukan kemaksiatan, ia akan cepat insaf dan bertobat. Amar makruf nahi mungkar menjadi kebiasaan, sehingga setiap orang terkondisikan untuk tetap berada dalam jalan ketaatan.

Selain itu faktor-faktor yang menyebabkan munculnya pungli juga akan dihilangkan. Bila itu terkait dengan ekonomi, seperti pendapatan yang rendah, maka akan diselesaikan dengan penerapan aturan Islam secara kaffah. Sebab syariat telah menetapkan urusan rakyat sebagai amanah yang harus ditunaikan oleh pemimpin.

“Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR. Al-Bukhari dan Ahmad).

Dalam Islam, kebutuhan pokok rakyat, berupa pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan transportasi, merupakan hak dasar yang harus dipenuhi oleh negara. Dengan begitu, masyarakat tidak akan kebingungan untuk memenuhinya, sebab telah dijamin oleh negara melalui berbagai mekanisme, baik langsung maupun tidak langsung. Dengan begitu faktor ekonomi yang menyebabkan seseorang melakukan pungli akan dapat dihilangkan.

Sedangkan faktor lingkungan, juga akan dapat diatasi. Sebab, masyarakat yang terbentuk dalam sistem Islam senantiasa menjalankan fungsi kontrolnya terhadap berbagai pelanggaran yang terjadi. Sehingga bila ada indikasi terjadi pungli, mereka secara tegas akan menolaknya bahkan berani untuk mengingatkan dalam rangka mencegahnya.

Sementara faktor psikologis, yaitu perilaku yang selalu merasa kurang, juga tidak akan ada. Sebab bukan suasana hedonis yang menyelimuti kehidupan masyarakatnya, melainkan suasana religius dengan sikap qanaah -nya. Negara pun terus membangun kesadaran umat melalui berbagai media, seperti di masjid, pengajian umum, khotbah jumat dan sarana-sarana lainnya.

Dengan begitu seluruh faktor yang dapat memicu terjadinya pungli dapat dihilangkan. Pembinaan akidah dan tsaqafah yang diberikan oleh negara juga akan membentuk karakter dan mentalitas luhur dari individu dan masyarakat termasuk aparat penegak hukum. Sehingga, mereka tidak mudah tergoda untuk melakukan hal-hal yang dapat melanggar hukum itu sendiri.

Di samping itu, negara pun akan menerapkan sanksi yang tegas, bagi siapa pun yang nekat melakukan pungli. Hukum ini ditegakkan secara adil dan sama baik pelakunya dari aparat maupun rakyat, yaitu bisa berupa dirampas harta hasil pungli, diberhentikan, dipenjara, hingga diumumkan. Sehingga, celah bagi terjadinya praktik pungli benar-benar dapat ditutup.

Inilah sistem hidup yang sempurna dan menyeluruh, yang akan memberikan solusi hakiki bagi seluruh persoalan yang terjadi atas umat. Dengan sistem Islam sajalah pelanggaran hukum apa pun akan dapat dicegah dan diselesaikan dengan benar dan adil. Karenanya sudah saatnya sistem ini hadir kembali menaungi umat manusia.
Wallahu’alam bisshowab.[]


Photo : Pinterest

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Dwi Indah Lestari Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Ilusi Cinta Orang-Orangan
Next
Ketika Percaya Ditikam Dusta
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram