"Untuk pemindahan ibu kota negara di tahun 2024 mendatang, tentunya ini bukanlah waktu yang cukup untuk membuat semua sarana tersebut menjadi lengkap. Sementara bila pemindahan harus tetap dilaksanakan, lalu bagaimana nasib roda kehidupan para ASN di tempat yang baru?"
Oleh. Ita Harmi
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-Rencana pemindahan ibu kota negara Republik Indonesia dari DKI Jakarta ke Penajam di Balikpapan semakin mendekati kenyataan pasca disahkannya Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) pada Selasa, 18/1/2022 kemarin. (Kompas, 19/1/2022)
Banyak pihak yang mengkritisi kebijakan UU IKN ini, mulai dari para politikus, tokoh masyarakat, tokoh agama, bahkan sampai semesta netizen pun ikut mengomentari isu ini. Pasalnya pemindahan ibu kota negara belum merupakan isu penting yang perlu dibahas di tengah kondisi perekonomian yang genting. Apalagi pengesahan UU IKN yang dikebut hampir 16 jam oleh DPR menjadi tanda tanya, kenapa isu ini begitu penting sehingga harus segera dikemas menjadi UU?
Din Syamsudin, Ketua Umum Muhammadiyah justru menggugat UU ini ke Mahkamah Konstitusi bila UU ini sudah ditandatangani oleh Presiden Jokowi. Menurut Din tidak ada urgensi pemindahan ibu kota negara ke Penajam di Balikpapan. Apalagi dalam kondisi pandemi seperti saat ini, belum lagi dengan utang negara yang terus membengkak. (Fajar.co.id, 22/1/2022)
Bahkan ekonom senior seperti Faisal Basri juga ikut mengomentari UU IKN ini. Menurutnya, pemerintah plin-plan soal pembiayaan pembangunan ibu kota negara yang baru tersebut. Sejak awal pemerintah berkomitmen tidak akan menggunakan APBN dalam pembangunan IKN. Akan tetapi, tak lama berselang, pemerintah justru mengumumkan bahwa pembiayaan pembangunan IKN akan dibebankan dari APBN sebesar 53,3 persen. Sementara sisanya diperoleh dari KPBU (Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha), swasta, dan BUMN sebesar 46,7 persen.
Pro-kontra rencana pemindahan ibu kota negara yang semakin masif diwujudkan oleh pemerintah bukan hanya tersangkut oleh masalah urgensi, pembiayaan, dan pihak pengembang. Akan tetapi juga memiliki serangkaian masalah lain menyangkut beberapa hal berikut.
Aksesabilitas
Penajam yang digadang-gadang sebagai ibu kota negara pengganti Jakarta, terletak di sebagian wilayah Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Kota administratif yang paling dekat dari Penajam adalah Kota Balikpapan, ibu kota Provinsi Kalimantan Timur. Jarak Penajam dari Balikpapan sekitar 76,6 km. Jarak ini tidak dapat sepenuhnya ditempuh melalui jalur darat, karena antara Penajam dan Balikpapan dipisahkan oleh Teluk Kalimantan yang menuju laut lepas. Penyebarangan Teluk Kalimantan dari Balikpapan ke Penajam berkisar 5-10 menit menggunakan speedboat dengan ongkos 20-25 ribu per orang. Sedangkan bila menggunakan kapal kayu sekitar 20-25 menit dengan ongkos 10 ribu per orang dan 35 ribu per motor. Layanan penyeberangan 24 jam juga bisa dengan menggunakan kapal feri dengan waktu tempuh 2-3 jam. Untuk ongkos dikenakan biaya 35 ribu per motor dan 300 ribu per mobil.
Adapun jika masih ingin melakukan perjalanan darat, maka bisa melewati jalan Silkar KM 38 Samboja. Namun, perjalanan ini memiliki waktu tempuh selama 2-3 jam hanya bila jalan dalam kondisi bagus, sedangkan bila jalan mengalami kerusakan akan memakan waktu 4 jam perjalanan. (rri.co.id, 20/1/2022)
Maka, dapat disimpulkan bahwa ibu kota negara baru ini terletak pada posisi kurang strategis sebab beratnya perjalanan bagi masyarakat yang memiliki kepentingan ke ibu kota negara.
Infrastruktur Pendukung
Pemindahan ibu kota negara bukanlah masalah sederhana, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Efek dari pemindahan ibu kota negara juga akan berdampak bagi para ASN sebagai tenaga kerja yang akan mengurus segala urusan administratif kenegaraan. Maka, yang diperlukan bukan hanya perkantoran saja, akan tetapi juga diperlukan sejumlah infrastruktur pendukung lainnya. Para ASN yang telah berkeluarga pastinya butuh sekolah-sekolah untuk anak-anak mereka, pusat-pusat kesehatan seperti rumah sakit, klinik, apotik, dan sejenisnya. Dan yang pastinya adalah pusat perbelanjaan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kebutuhan barang-barang rumah tangga, kebutuhan elektronik dan otomotif, dan lain sebagainya.
Pelabuhan dan bandara juga menjadi infrastruktur yang tak kalah penting demi terjangkaunya ibu kota negara dari segala penjuru negeri. Sebagai ibu kota negara, tentunya pelabuhan dan bandara yang akan dibangun bukanlah infrastruktur yang biasa-biasa saja, melainkan pelabuhan dan bandara tingkat internasional. Dan sudah bisa ditebak, tidak akan sedikit biaya yang akan dikucurkan oleh negara.
Tentunya ini akan membutuhkan biaya dalam jumlah yang banyak dan akan memerlukan waktu yang lama. Untuk pemindahan ibu kota negara di tahun 2024 mendatang, tentunya ini bukanlah waktu yang cukup untuk membuat semua sarana tersebut menjadi lengkap. Sementara bila pemindahan harus tetap dilaksanakan, lalu bagaimana nasib roda kehidupan para ASN di tempat yang baru?
Ketahanan Negara
Sebagai sebuah ibu kota, dimana kepala negara beserta seluruh staf kenegaraan akan tinggal, tentunya harus didukung dengan tingkat keamanan dengan penjagaan yang berkualitas. Sebab berbahaya bila menempatkan ibu kota negara dan orang-orang penting di negara ini dengan penjagaan setara penjagaan komplek perumahan. Oleh karena itu, untuk memenuhi tingkat penjagaan dan keamanan setingkat negara diperlukan strategi tingkat tinggi. Misalnya, keamanan ibu kota di darat akan dipegang oleh pihak militer angkatan darat, sedangkan di laut akan dilengkapi dengan armada militer angkatan laut. Dan untuk zaman sekarang, armada tempur di udara atau yang biasa disebut sebagai pasukan angkasa tak kalah pentingnya dari angkatan darat dan laut dalam hal penjagaan ketahanan negara. Semua itu juga butuh sarana dan prasarana yang mencukupi, tidak hanya infrastrukturnya, tetapi juga kelengkapan persenjataannya.
Sementara Penajam belum memiliki pangkalan militer yang memadai untuk kelengkapan armada darat, laut, dan udara untuk melindungi ibu kota negara dari serangan musuh. Justru Indonesia saat ini dikelilingi oleh 13 pangkalan militer asing yang tersebar di seluruh perairan terdekat sepanjang zona laut Indonesia.
Pengamat pertahanan, Connie Rahakundini Bakrie, mengatakan bahwasanya wilayah Indonesia sudah dikepung oleh beberapa pangkalan militer AS yang berada di batas zona laut Indonesia. Beberapa pangkalan asing tersebut terdapat di Pulau Christmas, Pulau Cocos, Darwin, Guam, Filipina, Malaysia, Singapura, Vietnam, Kepulauan Andaman, dan Nicobar. Bayangkan bila hanya dalam satu komando semua pangkalan AS ini menyerang ibu kota negara, maka bisa dipastikan ibu kota negara Republik Indonesia akan jatuh dalam sekejap mata saja. Karena itulah kenapa ibu kota negara harus memiliki ketahanan militer yang memadai, setidaknya bisa mengimbangi kekuatan asing yang sewaktu-waktu mampu mengancam keamanannya. Dan lagi-lagi ini soal biaya, karena semua memang diawali dari nol. Pertanyaannya, cukupkah alokasi dana Rp501 triliun sesuai pernyataaan presiden RI untuk membangun semua infrastruktur sebuah ibu kota negara yang baru? (Kompas, 18/1/2022)
Indonesia Belum Butuh Ibu Kota Negara Baru
Dari semua deretan fakta di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menghadirkan sebuah ibu kota negara baru yang maju, modern, lengkap dengan segala unsur pendukung sebagai ibu kota negara, memang diperlukan biaya yang tidak sedikit bila semua diawali dari nol. Membangun ibu kota, berarti membangun peradaban. Bukan sekadar punya gedung, pegawai, kemudian pengelolaan negara bisa langsung dimulai. Semua butuh perencanaan yang matang, setidaknya ketiga unsur di atas harus dipenuhi terlebih dahulu. Sedangkan saat ini Indonesia berada pada kondisi genting. Bukan hanya genting soal perekonomian, politik, dan intervensi asing, akan tetapi pandemi yang masih berlangsung melengkapi kondisi genting yang dihadapi oleh Indonesia. Akan lebih baik bila cadangan dana pembangunan ibu kota negara baru dialihkan untuk kesejahteraan rakyat saja.
Masih banyak "PR" negara ini dalam melayani rakyatnya. Perekonomian yang sering tumpang tindih, seperti dominasi pasar, penimbunan barang, tingginya harga kebutuhan pokok, dan sejenisnya. Juga kesehatan dan pendidikan yang masih mahal, dan keamanan yang masih jauh dari kata aman. Instalasi jalan dan listrik di daerah pelosok yang masih nihil dan lain sebagainya. Semua ini seharusnya menjadi fokus utama negara terlebih dahulu. Sebab kestabilan negara bergantung dari kestabilan kondisi rakyatnya. Tapi apakah mungkin bila negara kapitalisme seperti Indonesia akan betul-betul memperhatikan kondisi rakyat?
Islam Konsep Sahih Pengelolaan Negara
Untuk membangun sebuah negara yang layak huni memang perlu keahlian khusus dari seorang pemimpin. Maka, sebaik-baiknya contoh seorang pemimpin adalah Rasul saw beserta para pengganti sesudah beliau. Saat Rasul saw pertama kali berhasil membangun Madinah sebagai pusat pemerintahan Islam, yang beliau bangun terlebih dahulu bukanlah infrastrukturnya, melainkan mengamankan dahulu kondisi rakyatnya. Baik "keamanan lambung" rakyatnya, juga keamanan rakyat dari ancaman-ancaman penduduk Madinah seperti para kabilah Yahudi yang bermukim di pinggiran Madinah. Untuk kaum Muhajirin yang merupakan penduduk imigran dari Makkah, maka Rasul berikan mereka rumah dan pekerjaan dari bantuan saudara mereka kaum Anshar. Sementara untuk mengamankan kondisi dalam negeri dari makar-makar para kabilah Yahudi yang tentu saja membenci Islam, Rasul saw membuat perjanjian dengan mereka. Dimana bila para kabilah Yahudi melanggar perjanjian tersebut, maka mereka akan diusir jauh keluar Madinah.
Dan pada saat kabilah Yahudi melanggar isi perjanjian, Rasul saw menepati janjinya. Seluruh kabilah Yahudi pada akhirnya diusir keluar Madinah. Mereka hanya diperbolehkan membawa pakaian dan makanan semampu yang dibawa oleh unta-unta mereka. Sedangkan rumah dan lahan pertanian mereka harus diserahkan kepada Rasul saw sebagai kepala negara di Madinah untuk dijadikan ghanimah. Ghanimah inilah yang dibagikan oleh Rasul saw kepada para Muhajirin yang telah meninggalkan rumah dan harta mereka di Makkah saat hijrah ke Madinah bersama Rasul saw demi menyelamatkan keimanan mereka. Setelah kondisi dalam negeri aman dan stabil, barulah Rasul saw mengambil langkah untuk politik luar negerinya.
Demikianlah sekilas tentang pengelolaan ibu kota negara dalam Islam. Sangat jauh berbeda dengan konsep negara kapitalisme. Jangankan untuk menghapus makar para musuh, justru pembuat makar seperti OPM saja diberikan peluang untuk dijadikan saudara. Yakinlah, kapitalisme akan selalu mendahulukan materi, baik berupa infrastruktur ataupun untung komersil, daripada mengutamakan kesejahteraan rakyat.
Hanya saja, pemimpin yang betul-betul bertanggung jawab kepada rakyat, hanya akan lahir dari sistem kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia. Dialah sistem Islam, yang telah melayani kehidupan umat muslim dan nonmuslim lebih dari 13 abad lamanya, membawa peradaban manusia sampai pada puncak kegemilangan. Maka, pupuskanlah harap pada kapitalisme yang telah menginjak nilai-nilai kemanusiaan dalam mengurus kehidupan. Beralihlah pada konsep sahih yang memanusiakan manusia. Hanya dengan begitu sejahtera dunia akhirat bukan sebatas angan belaka, tapi akan menjadi nyata.
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak mengingat Allah." (TQS. Al-Ahzab: 21)
Wallahu a'lam bishowwab.[]