"Tidak heran, jika kemudian ada pihak-pihak yang beranggapan bahwa rencana pemetaan terhadap masjid dan pesantren ini tidak bisa dilepaskan dari upaya war on terrorism and war on radicalism, yang pada hakikatnya adalah war on Islam."
Oleh. Ummu Ainyssa
(Pendidik Generasi, Member AMK)
NarasiPost.Com-Saat ini kita hidup di negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia, yakni sekitar 231,06 juta jiwa. Terbayang seandainya saja dengan penduduk yang begitu banyaknya ini kita bisa kembali menjadi negara Islam adidaya seperti 1400 tahun yang lalu. Di mana saat aturan Islam diterapkan bisa mendatangkan kesejahteraan dan kenyamanan bagi seluruh warga negaranya.
Namun sayang, hal tersebut kini sangat berbanding terbalik dengan keadaan saat ini. Saat kaum muslim harus terkungkung dalam sistem yang bukan berasal dari Sang Ilahi. Kita dipaksakan untuk mau tidak mau harus menerima sistem buatan manusia yang notabene menjauhkan kita dari aturan agama kita sendiri. Bahkan untuk merasakan kehidupan yang aman dan sejahtera pun rasanya sangat susah. Aturan Islam yang kita pegang teguh justru malah dianggap sebagai sebuah ancaman yang harus disingkirkan.
Lagi-lagi berbagai hal yang berkaitan dengan kaum muslim seolah tidak berhenti dicurigai. Dalam sebuah agenda Halaqah Kebangsaan Optimalisasi Islam Wasathiyah dalam Mencegah Ekstremisme dan Terorisme yang digelar MUI dan disiarkan di kanal YouTube MUI, pada Rabu (26/1) lalu, Direktur Keamanan Negara Badan Intelijen Keamanan Mabes Polri Brigjen Umar Effendi mengaku bakal melakukan pemetaan terhadap masjid-masjid guna mencegah penyebaran paham terorisme. Menurutnya, hal ini perlu dilakukan, mengingat masjid saat ini bermacam-macam warnanya, ada yang keras, semi keras, dan sebagainya (CNNIndonesia.com, 27/1/2022).
Sementara Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar mengatakan pihaknya masih menemukan adanya pondok pesantren yang diduga terafiliasi dengan jaringan teroris. Jumlahnya mencapai ratusan pondok pesantren di berbagai wilayah. Ia juga menambahkan bahwa jumlah narapidana terorisme (napiter) yang ada di Indonesia saat ini sebanyak 1.031 orang. Di antaranya 575 orang berada di rumah tahanan (rutan) dan 456 orang lagi berada di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) yang tersebar di 22 tempat di seluruh Indonesia(Tempo.co, 25/1/2022).
Menanggapi hal tersebut, Buya Amirsyah Tambunan selaku Sekretaris Jenderal MUI Pusat menyampaikan bahwa apa yang dikatakan oleh Boy Rafli tersebut dapat menimbulkan keresahan di masyarakat dan juga bisa membuat masyarakat merasa kurang aman dan nyaman. Ia pun meminta kejelasan, atas dasar apa pernyataannya Boy tersebut, apa dasar pendataannya, apa metodologinya, apakah merupakan hasil kajian resmi BNPT?, kata Amirsyah pada Rabu (26/1).
Amirsyah meminta agar BNPT tidak menimbulkan stigma negatif kepada kelompok tertentu, terutama pondok pesantren. Menurutnya justru kelompok ekstrem terorisme ada pada kelompok ekstrim kiri seperti KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) di Papua, namun tidak pernah diungkap ke publik sebagai kelompok terorisme. Malahan, seolah-olah hanya kelompok pesantren yang disasar. Ia pun mengajak semua pihak untuk menghentikan narasi menyudutkan kelompok tertentu dengan Islamofobia.
Sementara menurut Pengamat Politik Islam Dr. Riyan, M.Ag., rencana Polri untuk memetakan masjid dan pesantren terkait radikalisme ini menunjukkan adanya framing jahat dan islamofobia akut, serta adanya ketakutan terhadap Islam tanpa alasan yang jelas. ungkapnya pada Forum Kajian Siyasi “Ada Apa di Balik Gaduh Pemetaan Masjid dan Pesantren?” di YouTube Ngaji Subuh, Senin (31/01/2022).
Ia mengaitkan rencana ini dengan kasus-kasus lainnya yang pernah terjadi sebelumnya, seperti framing jahat terhadap 212, pencabutan BHP HT1, pembubaran FP1, banyaknya kasus kriminalisasi terhadap ulama, pembantaian di KM 5O, dan yang terbaru adalah ramainya tagar #bubarkanMUI.”
Beginilah realitas kondisi kaum muslim hingga saat ini. Setelah tragedi runtuhnya menara kembar World Trade Center (WTC) di New York City pada 11 September 2001 yang lalu, Presiden George W. Bush mengumumkan rencana komprehensif the Global War on Terrorism (GWOT) untuk memburu dan menghentikan para teroris di seluruh dunia. Dengan alasan untuk mencegah, melawan ancaman terorisme dan mengurangi pengaruh organisasi yang diklaim sebagai terorisme, Amerika Serikat mulai melakukan aksinya, termasuk masuk ke negeri-negeri muslim.
Pernyataan ini pun dengan cepat menjadi wacana yang menyebar ke seluruh dunia. Wacana GWOT telah menginternasionalisasi. Yang kemudian mendorong negara-negara lain untuk membentuk berbagai aturan dan lembaga untuk mendukung War on Terror. Namun, pada akhirnya program ini bukan hanya untuk memerangi terorisme, tetapi telah menjadi propaganda barat untuk memerangi Islam (War on Islam).
Terbukti lebih dari 90% dari daftar Foreign Terrorist Organization (FTO) yang mereka buat adalah orang dan kelompok Islam. Selain itu, definisi terorisme seringkali hanya ditujukan kepada kelompok Islam. Sementara negara barat yang selalu melakukan kekerasan, penindasan, kezaliman, dan pembantaian pada kaum muslim seperti di Irak, Afganistan, Palestina, Suriah, Rohingya, dan lain-lain tidak pernah disebut sebagai teroris yang harus diperangi.
Wacana War on Islam telah menyebar ke beberapa negeri. Negeri ini yang tidak luput dari wacana tersebut. Berbagai ide-ide sesat yang guna menyasar umat Islam terus saja digencarkan. Ide moderasi beragama yang saat ini terus digencarkan, tidak lain adalah salah satu upaya untuk memberangus pihak-pihak atau kelompok yang dianggap ekstremis, radikalis. Sementara pihak-pihak yang labeli sebagai kelompok ekstremis, radikalis tidak lain adalah para pengemban dakwah yang hendak memperjuangkan kembali tegaknya Islam (Khilafah) di muka bumi ini.
Masih ingatkah kita pada September 2020 lalu mantan Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi pernah mengungkapkan strategi paham radikal masuk melalui orang yang good looking, bahasa arabnya bagus, hafiz Quran, sering ikut jadi imam masjid. Tuduhan ini menunjukkan bahwa label radikalisme tidak lain untuk mereka kaum muslim yang taat atau saleh. Terlebih lagi belum lama ini Menag mengeluarkan pernyataan bahwa Khilafah hanya akan membawa bencana, jelas-jelas menunjukkan narasi kebencian terhadap Islam.
Alhasil, pesantren ataupun masjid yang diduga menyampaikan pemahaman tentang Khilafah pun hendak mereka waspadai. Padahal, Khilafah adalah ajaran Islam dan sebuah kewajiban.
Maka, kiranya benarlah pernyataan yang pernah diungkapkan oleh seorang Jurnalis Australia, John Pilger bahwa korban terbesar terorisme tidak lain adalah umat Islam. Hakikatnya, tidak ada perang melawan terorisme, yang ada adalah perang menggunakan alasan terorisme.
Tidak heran, jika kemudian ada pihak-pihak yang beranggapan bahwa rencana pemetaan terhadap masjid dan pesantren ini tidak bisa dilepaskan dari upaya war on terrorism and war on radicalism, yang pada hakikatnya adalah war on Islam. Sementara war on Islam tidak bisa dilepaskan dari agenda barat yang benci kepada kebangkitan Islam dengan menggunakan rezim boneka yang zalim untuk memecah belah persatuan umat.
Beginilah keadaan kita kaum muslim saat ini. Tercerai berai tanpa ulil amri yang melindungi. Sejak runtuhnya kekhilafahan Islamiyah pada tahun 1924 H lalu, kaum muslim hingga kini terus dihinakan. Menghadapi berbagai fitnah dan tuduhan keji dari para pembenci. Bahkan saat ini pembenci itu bukan hanya dari orang-orang kafir saja, akan tetapi juga dari saudara seakidah sendiri. Hanya karena berbeda pemahaman dan kelompok, saudara seakidah bisa saling fitnah dan hujat. Bahkan ingin menjadi muslim yang taat saja penuh dengan ketakutan.
Lantas,mungkinkah kita sebagai seorang muslim hanya perlu diam menyaksikan berbagai hinaan, kecurigaan yang menimpa kita kaum muslim? Tidak ada waktu lagi bagi kita umat Islam selain terus menggencarkan dakwah untuk memahamkan ke masyarakat akan pentingnya kewajiban untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam. Memahamkan bahwa label radikalisme, terorisme, hanya label yang mereka buat untuk menakut-nakuti kaum muslim. Sehingga dengan ketakutan itu, tidak ada lagi muslim yang hendak memperjuangkan tegaknya Islam kembali. Ini semua tidak lain demi melanggengkan sistem yang rusak, sekularisme.
Maka, sudah saatnya kita semua mencampakkan dan membuang jauh-jauh sistem kapitalisme demokrasi yang berasaskan sekularisme, yang jelas-jelas meniadakan peran agama dalam kehidupan. Kemudian kita fokus pada agenda untuk mewujudkan negeri baldatun thayibatun wa rabbun ghafur dengan kembali kepada aturan Islam melalui tegaknya Islam kaffah, sesuai dengan yang dicontohkan oleh Baginda Rasulullah saw.[]