"Demikianlah kapitalisme menyengsarakan rakyat kecil. Mereka memanfaatkan keluguan dan kepolosan rakyat untuk meluluskan kepentingannya. Setelah tanah didapat, untung diraih, maka hilanglah kepentingan mereka dengan rakyat dan lupa dengan janji manisnya. Mereka berdalih dengan cara yang tepat, menempatkan rakyat sebagai pihak yang sukarela menukar tanahnya dengan sejumlah uang ganti. Lalu apa mau dikata? Nasi sudah menjadi bubur."
Oleh. Ita Harmi
( Kontributor Tetap NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-Kapitalisme selalu menjadikan manfaat sebagai tolok ukur perbuatan manusia. Manusia yang hidup dalam kubangan paham ini menakar sesuatu berdasarkan kepentingan. Bila mereka punya kepentingan, yang semula kawan bisa seketika menjadi lawan, pun sebaliknya. Sederhananya, hanya kepentinganlah yang menjadi "Tuhan" bagi mereka. Mereka hanya memanfaatkan orang lain atau sesuatu jika memiliki potensi berupa untung secara materi. Begitu kepentingannya hilang, maka hilang pulalah hubungan di antara mereka.
Seperti yang terjadi pada warga di Kecamatan Jenu, Tuban. Setahun berlalu pasca janji manis pihak PT. Pertamina yang akan merekrut warga lokal bila mereka menjual tanahnya, ternyata bak skenario sinetron belaka, fiktif. Bekerja di Pertamina memang sebuah prestise yang luar biasa, khususnya di Indonesia. Apalagi setingkat wilayah kecil seperti Kecamatan Jenu di Tuban. Maka tak salah bila warga tergiur untuk menukar tanahnya dengan segepok uang dan janji manis para pemilik modal.
Tuban sendiri diketahui memiliki potensi tambang minyak sebesar 300 ribu barrel per hari. Inilah yang menjadikan pemerintah menugaskan Pertamina untuk mengelola tambang di Tuban sesuai dengan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral nomor 807 K/12/MEM/2016 tentang penugasan Pertamina dalam pembangunan dan pengoperasionalan kilang minyak di Tuban, Jawa Timur. Tak tanggung-tanggung, Pertamina menggandeng perusahaan asing dari Rusia, Rosneft dengan nilai investasi sebesar Rp225 triliun dalam melaksanakan tugas ini. (Bisnis.com, 17/2/2021)
Untuk memuluskan nafsu bisnis ini, Pertamina menempuh berbagai cara untuk membebaskan lahan di sekitar lokasi tambang yang masih menjadi hak milik warga setempat. Dan itulah yang terjadi, mereka mengimingi warga yang masih polos dengan mimpi indah. Begitu jual beli lahan sukses, maka janji tinggal janji.
Sekarang warga Kecamatan Jenu terpaksa gigit jari atas keputusan yang mereka ambil. Setahun pasca mendadak menjadi miliarder, kini warga Tuban justru hidup sengsara. Uang hasil penjualan lahan sudah habis untuk membeli kendaraan, rumah baru, dan biaya hidup sehari-hari. Namun, warga terlena dan lupa untuk mencari usaha lain sebagai mata pencaharian untuk penopang hidup. Dulu mereka hidup dari hasil bertani atas lahan yang mereka miliki. Setidaknya setiap panen mereka bisa meraup keuntungan sampai Rp40 juta. Namun, sekarang semua berubah. Sebagian besar mereka hidup luntang-lantung dan hanya bergantung dari sisa penjualan lahan. Inilah yang dialami warga Jenu seperti Musanam (60) yang terpaksa menjual sapinya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sampai sekarang, janji untuk penduduk lokal menjadi karyawan salah satu perusahaan BUMN tersebut tak pernah mewujud menjadi nyata. Pada akhirnya mereka sangat menyesal dan kecewa. (Liputan6, 26/1/2022)
Namun bila ditimbang, kesalahan tak sepenuhnya berada di pihak Pertamina saja. Sebagai pihak pembeli, Pertamina sudah memberikan hak untuk para penjual. Pertamina sudah membayar sejumlah uang sebagai pemindahan kepemilikan tanah. Hanya saja, sebelum warga mau menjual tanah mereka, pihak Pertamina menjanjikan warga untuk direkrut sebagai karyawan di perusahaan BUMN tersebut.
Warga yang masih polos dan hanya memikirkan keuntungan sesaat, kurang mempertimbangkan risiko pasca penjualan tanah. Apakah mungkin warga biasa yang memiliki latar belakang pendidikan rata-rata seperti mereka direkrut menjadi karyawan BUMN? Diketahui dari website resmi Desa Jenu, Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur, data demografi penduduk berdasarkan pendidikan dalam Kartu Keluarga (KK), menunjukkan bahwa sebesar 22,13% warga Jenu tidak atau belum mengenyam bangku sekolah, dan 23,13% di antaranya hanya tamat SD/sederajat. Sementara untuk lulusan SLTP dan SLTA/sederajat terhenti di angka 19,38% dan 19,80%. Dan hanya 4,24% dan 0,11% ditempati oleh mereka yang berpendidikan S1 dan S2.
Di sinilah celah Pertamina untuk berdalih bahwasanya sebagai perusahaan di bawah BUMN tentu mereka akan merekrut karyawan sesuai dengan spesifikasi yang sudah ditetapkan oleh undang-undang. Bukan berarti karena sudah mendapatkan tanah warga, kemudian Pertamina akan lebih mengutamakan warga lokal untuk menjadi karyawannya, sementara notabene pendidikan mereka kurang mendukung. Perekrutan karyawan tentunya akan berjalan sesuai dengan regulasi yang sudah ditetapkan.
Di sinilah masalah dimulai. Di satu sisi, Pertamina sebagai pihak pembeli telah melakukan kesalahan melakukan jual beli dengan dasar mengimingi warga akan hidup sejahtera dengan janji menjadikan mereka sebagai karyawannya. Di sisi lain, warga tidak mempertimbangkan dampak bila tanah mereka dijual ke pihak para pemilik modal. Sungguh tragis memang, watak kapitalistik tidak terbaca oleh warga, sehingga mereka termakan oleh bujuk rayu dan janji manis para pemilik modal.
Demikianlah kapitalisme menyengsarakan rakyat kecil. Mereka memanfaatkan keluguan dan kepolosan rakyat untuk meluluskan kepentingannya. Setelah tanah didapat, untung diraih, maka hilanglah kepentingan mereka dengan rakyat dan lupa dengan janji manisnya. Mereka berdalih dengan cara yang tepat, menempatkan rakyat sebagai pihak yang sukarela menukar tanahnya dengan sejumlah uang ganti. Lalu apa mau dikata? Nasi sudah menjadi bubur. Jual beli sudah terjadi, maka yang merasakan untung dan rugi memang hanyalah pihak penjual dan pembeli.
Sementara, bila pengelolaan sumber daya alam diserahkan pada konsep Islam, maka tidak akan ada cerita memilukan seperti yang dirasakan oleh warga desa Jenu di Tuban. Islam memandang bahwa lahan yang memiliki SDA berupa tambang yang depositnya melimpah ruah, maka lahan tersebut tidak boleh dimiliki oleh individu ataupun kelompok seperti korporasi. Kepemilikan lahan tersebut akan menjadi milik umum, dimana bila dimiliki oleh individu atau korporasi akan menimbulkan perselisihan dan dominasi, sementara pemanfaatannya seharusnya bisa dirasakan oleh seluruh rakyat. Negaralah yang nantinya akan mengelola kandungan SDA di lahan tersebut, sehingga manfaatnya digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat. SDA inilah yang akan menjadi salah satu pos pemasukan Baitul Mal.
Hal ini sesuai dengan atsar dari Nabi Muhammad saw., beliau berkata, "Kaum muslim berserikat atas tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api," (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Perserikatan di sini bermakna berserikat dalam hal manfaat. Artinya, semua rakyat boleh memanfaatkannya, tidak boleh dikuasai oleh individu atau korporasi, sementara yang lain menjadi terhalangi untuk memanfaatkannya. Syariat telah menetapkan bahwa jenis harta yang dibutuhkan oleh rakyat atau yang menjadi fasilitas umum, maka menjadi harta milik umum. Tambang minyak, dimana semua orang membutuhkan energi ini untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka ditetapkan sebagai harta kepemilikan umum. Dikisahkan bahwa Abyadh bin Hamal pernah meminta sebuah tambang garam di Ma'rib yang terletak di Yaman kepada Rasul saw. Kemudian Rasul saw. memberikannya. Setelah Abyadh pulang, al-Aqra' bin Habis at-Tamimi berkata, "Apakah anda tahu apa yang telah anda berikan kepada dia? Tidak lain anda memberikan dia air yang terus mengalir." Lalu Rasul saw. menarik kembali tambang itu dari dia (Abyadh). (HR. Abu Dawud, At Tirmizi, an-Nasa'i, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan at-Thabrani. Redaksi menurut Abu Dawud)
Frasa 'air yang terus mengalir' yang dikatakan oleh al-Aqra' bin Habis at-Tamimi adalah lahan yang memiliki deposit besar, mengandung barang tambang dalam jumlah banyak dan melimpah. Sehingga Rasul saw. menarik kembali tambang tersebut dari Abyadh. Sebab yang menjadi penentu sebuah lahan menjadi perserikatan seluruh umat adalah jumlah deposit bahan tambang tersebut, tanpa membedakan jenisnya, atau apakah memerlukan alat dalam pengambilan bahan tambang atau tidak.
Begitu pula halnya dengan lahan tambang yang ada di Tuban, maka kepemilikannya tidak boleh dikuasai oleh individu ataupun kelompok swasta seperti korporasi. Negara yang nantinya akan menjadi pihak pengelola lahan tambang tersebut tanpa membaginya dengan pihak asing, untuk dapat digunakan manfaatnya secara penuh oleh rakyat. Pihak asing hanya diperbolehkan menjadi pekerja seandainya memang dibutuhkan keahliannya oleh negara. Sehingga hubungan negara dengan pihak asing hanya sebagai pekerja dan pemberi kerja, bukan memilikinya dengan cara membaginya dalam bentuk investasi. Maka, jelas sudah benang merah antara kapitalisme dengan Islam. Kapitalisme nyatanya memberikan kebebasan bagi siapa saja, asalkan mereka memiliki modal, untuk mengelola lahan di mana pun mereka sukai. Tanpa memperhatikan lagi keburukan yang akan menimpa orang di sekitarnya. Sementara Islam berdiri di atas halal dan haram dalam setiap perbuatan sebagaimana yang sudah ditetapkan oleh As- Syar'i, yaitu Allah al-Mudabbir dalam mengelola harta milik umum.
Sesuai konsep Islam, maka lahan yang dimiliki oleh warga Jenu di Tuban diberikan kepada negara untuk dikelola sebagai kepemilikan umum. Sementara negara sebagai pihak penanggungjawab keberlangsungan hidup rakyat wajib memberikan lahan pengganti sebagai kompensasi atas lahan mereka yang berubah menjadi milik umum. Bila rakyat masih berada dalam keadaan kefakiran setelah itu, maka negara memiliki kewajiban untuk membebaskan mereka dari kefakiran dengan jalan pembagian zakat sampai si rakyat mampu untuk membiayai kebutuhan pokoknya secara mandiri.
Bukankah ini adil? Jadi, konsep manakah yang lebih memanusiakan manusia? Bila sudah jelas semuanya, lalu kenapa masih bertahan dalam konsep yang jelas-jelas rusak dan merusak kehidupan?
"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (TQS. Al-Ma'idah: 50)
Wallahu a'lam bishowwab.[]