Meneropong Eksistensi SPBU di Era Electric Vehicle

"Fenomena munculnya kendaraan listrik tentu menghadirkan pertanyaan terkait Pertamina yang diprediksi mengalami kerugian. Sebab populasi pom bensin tergantikan dengan stasiun pengisian listrik. Tak tinggal diam, untuk mempertahankan eksistensinya Pertamina akan mengonversikan sebagian kilang BBM menjadi Petrokimia dalam mengatasi problematika ini."

Oleh. Witta Saptarini, S.E

NarasiPost.Com-Dunia hari ini tidak bisa dilepaskan dari perkembangan teknologi. Namun, hal ini tergantung ke mana teknologi itu diarahkan. Tentu ini berkaitan dengan visi ideologi dan politik yang dimiliki oleh negara yang membangun teknologi tersebut. Berbicara tentang mobil listrik, hingga kini masih banyak orang yang berasumsi bahwasanya hal ini merupakan inovasi teknologi terbaru. Faktanya, bukan hal yang benar-benar baru.

Sejarah penciptaan mobil listrik dimulai sekitar abad 19, dengan prototipe pertama yang berhasil diciptakan pada tahun 1830 oleh seorang insinyur berkebangsaan Skotlandia bernama Robert Anderson. Namun, kalah bersaing dengan melimpahnya BBM yang murah pada saat itu.

Seperti dilansir ringtimesbali.pikiran-rakyat.com (10/2/2022), belakangan ini tren Electric Vehicle (EV) atau mobil listrik kembali booming dan diprediksi menjadi tren kendaraan masa depan, terutama di negara yang dinilai aktif menggunakan mobil listrik, seperti Amerika, Tiongkok, Eropa, Korea Selatan, dan Jepang. Seperti yang kita ketahui bahwa kendaraan listrik mampu mengurangi emisi karbon yang menyebabkan krisis iklim. Selain itu, dianggap dapat mengatasi mahalnya biaya BBM. Benarkah demikian?

Berdasarkan hasil uji perjalanan yang dilakukan PT PLN (Persero) melalui akses tol dari Jakarta ke Bali, biaya yang dibutuhkan dalam penggunaan kendaraan mobil listrik jauh lebih murah dibandingkan kendaraan berbahan bakar minyak. Tentunya, hal ini menjadi momentum bagi negara menghemat devisa disebabkan impor BBM yang dikurangi. Oleh sebab itu, kehadirannya mulai dilirik pemerintah, sekaligus menjadi pendorong percepatan transformasi menuju era Green Technology.(BUMN.info, 21/5/2021)

Kini, pemerintah Indonesia telah menyiapkan banyak regulasi menyambut era Electric Vehicle. Salah satunya yakni, Perpres Nomor 55 tahun 2019 tentang percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai. Namun, menghadirkan kendaraan listrik di Indonesia bukan berarti tanpa tantangan. Pasalnya, mobil listrik berharga lebih mahal 40% dibandingkan mobil konvensional, disebabkan mayoritas komponen mobil masih bergantung pada impor. Pun permasalahan pajak yang dianggap menghambat penetrasi mobil listrik. Kendati pun demikian, pemerintah tetap menargetkan 2 juta unit mobil listrik dan 13 juta unit motor listrik akan beredar tahun 2030 di Indonesia. Sebab, bila dilihat dari sisi bisnis, siapa pun yang memulai, dia yang akan menjadi market leader.(CNBC Indonesia, 4/1/2021 )

Menurut para pengamat, Presiden Jokowi dinilai mampu mengikuti arah perkembangan dunia serta jeli memanfaatkan momentum membangun entitas politik. Sebab, arah dari otomotif di masa depan adalah kendaraan listrik. Lalu, bagaimana dengan eksistensi SPBU di era pemberlakuan Electric Vehicle secara masif di Indonesia?

Mekanisme Sistem Kapitalisme Menghadapi Era Electric Vehicle, SPBU Bertransformasi Menjadi SPKLU

PT Pertamina sebagai BUMN yang selama ini mengelola penambangan minyak dan gas bumi di Indonesia, hingga tahun 2020 tercatat telah mengoperasikan SPBU sebanyak 7.026. Diketahui 65% pendapatan Pertamina berasal dari BBM. Fenomena munculnya kendaraan listrik tentu menghadirkan pertanyaan terkait Pertamina yang diprediksi mengalami kerugian. Sebab populasi pom bensin tergantikan dengan stasiun pengisian listrik. Tak tinggal diam, untuk mempertahankan eksistensinya Pertamina akan mengonversikan sebagian kilang BBM menjadi Petrokimia dalam mengatasi problematika ini. Dengan tujuan agar tidak berimbas pada bisnis kilang minyak, sehingga masih memiliki nilai ekonomi.
Selain itu, PT Pertamina juga bertransformasi menjadi perusahaan BUMN Energi yang memproduksi baterai untuk keperluan kendaraan listrik. Pertamina akan membangun pabrik baterai dengan memanfaatkan potensi Indonesia sebagai penghasil nikel yang memproduksi 15 juta ton per tahun. Sebab, Rencana hilirisasi industri kendaraan listrik tak lepas dari potensi nikel di Indonesia yang memiliki cadangan terbesar di dunia. Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, jumlah cadangan mineral terkira Indonesia mencapai 4,5 miliar ton, cukup untuk memenuhi kebutuhan produksi selama 45 tahun. Tak ayal, dampak dinamika dunia atas perpindahan tren elektrifikasi kendaraan ini, saham tambang nikel menjadi buruan investor.
Sebagai tindak lanjutnya, Kementerian BUMN telah resmi membentuk holding untuk mengelola industri baterai kendaraan listrik dari hulu hingga hilir, yaitu Indonesia Battery Corporation (IBC) pada 26 Maret 2021, yang diprakarsai oleh beberapa BUMN dan investor asing, di antaranya Holding Pertambangan (MIND ID), PT Pertamina (Persero), PT PLN (Persero), PT Aneka Tambang Tbk (Antam), Cina, Korea dan negara lainnya.

Pada 28 Juli 2021 lalu, Menteri Investasi mewakili pemerintah Indonesia resmi menandatangani nota kesepahaman dengan konsorsium PT Hyundai dan PT Industri Baterai Indonesia, sebagai salah satu langkah awal dari rencana proyek baterai kendaraan listrik terintegrasi. Langkah selanjutnya, Pertamina bersinergi dengan PT PLN untuk turut menyiapkan ekosistem kendaraan listrik dengan membangun Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU). Hal ini telah dibuktikan saat peluncuran pilot project dari Green Energy Station, di SPBU Kuningan Jakarta pada 10 Desember 2018 lalu. Di mana unit Electric Vehicle Charging Station (EVCS) telah terpasang yang terdiri dari 2 tipe, yakni tipe pengisian cepat dan normal. Tak butuh waktu lama, sebagai wujud keseriusannya beberapa waktu lalu Kementerian Perindustrian pun melakukan kunjungan kerja ke Jepang untuk membahas pengembangan industri otomotif. Alhasil, sejumlah produsen mobil asal Jepang berkomitmen berinvestasi belasan hingga triliunan rupiah di Indonesia. Berikut sederet nama pabrik mobil listrik yang konvoi berinvestasi di Indonesia di antaranya, Honda, Mitsubishi dan Toyota.

Menurut analisis periset BNEF, Nathaniel Bullard, mengatakan bahwa, “Akan ada titik saat kendaraan listrik lebih murah dan menjadi momen penting bagi pasar Electric Vehicle." Alasan di balik laporan ini, disebabkan prediksi analisis terhadap kendaraan listrik yang akan mengalami penurunan harga yang cukup jauh dimulai tahun 2022. Namun, mungkinkah disertai penurunan tarif dasar listrik ?

Pembelajaran Apa yang Bisa Kita Dapatkan dari Transformasi Tren Elektrifikasi Kendaraan di Sistem Kapitalisme?

Sudah bisa tergambarkan, bagaimana rencana pemerintah membuka lebar keran investasi dengan menarik para investor asing dalam bisnis baterai dan hilirisasi industri kendaraan listrik, yakni hanya demi meraup keuntungan. Namun, kebijakan-kebijakan yang terkesan dipaksakan dan menjerat tetap diterapkan terhadap rakyat. Pasalnya, jika kebijakan ini diterapkan secara masif, tidak meniscayakan bila kenaikan tarif dasar listrik bukan lagi menjadi masalah di negeri yang setia membebek pada ideologi kapitalisme ini. Karena, setiap momentum yang membawa peruntungan negeri ini, bukan berarti memberi pertanda bagi kesejahteraan rakyat. Bahkan, hanya berpotensi semakin memperlebar jurang pemisah antara si kaya dan miskin. Bisa kita lihat, karut-marut kebijakan penggunaan Green Energy pun belum terselesaikan, yang berdampak pada tidak stabilnya harga energi, sehingga pada akhirnya terus memosisikan rakyat sebagai korban.

Indonesia negeri kaya akan sumber daya alam dan energi, namun bila berada dalam genggaman aturan kapitalis pasti menjadi krisis. Dimanjakan oleh kehadiran investor asing, sehingga tidak memiliki sikap untuk menentukan agendanya sendiri alias tidak mandiri. Sebab, negara manja tak mungkin memiliki peluang meraih posisi negara besar. Sistem kapitalisme yang merajai kehidupan dunia saat ini telah menancapkan paham bahwa materi adalah tolok ukur majunya peradaban. Pandangan inilah yang mendorong manusia untuk memanfaatkan teknologi demi meraup pundi-pundi uang. Tak heran, penggunaan teknologi acapkali tak terkendali dan semua diperuntukkan atas nama materi. Itulah gambaran bagaimana bila perkembangan teknologi disetir dalam pandangan kapitalisme yang memisahkan antara agama dan kehidupan.

Mekanisme Islam Menghadapi Perubahan Teknologi

Kemajuan teknologi adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Hanya saja, ibarat pisau bermata dua. Kecanggihannya tak lepas dari aspek yang diusung dalam revolusi industri. Revolusi industri sebagai hasil dari kemajuan teknologi tak dimungkiri bisa menjadi jalan dalam meningkatkan kualitas hidup manusia di berbagai bidang. Namun, bisa juga menjadi alat menghancurkan peradaban manusia, sebab sangat erat dengan penjajahan modern. Bila kita cermati, revolusi industri itu sendiri pada awalnya digagas oleh negara-negara Barat yang berideologi materialistis sekuler, yang kemudian kita kenal sebagai ideologi kapitalisme. Sehingga, bukan hal yang mengagetkan lagi bila kita temukan dalam sejarah revolusi industri, apa yang mereka lakukan pasti menghasilkan imperialisme dan penderitaan luar biasa. Semakin berkembang industrialisasinya, maka semakin banyak pula korbannya. Tentu saja kekayaan yang mereka dapatkan semakin luar biasa.

Dalam pandangan Islam, kemajuan teknologi atau aspek-aspek fisik yang bisa memudahkan manusia dalam berinteraksi, mencapai kemaslahatan-kemaslahatan, memberi kemudahan manusia untuk taat kepada Allah, semua itu adalah hal yang diperintahkan untuk dikembangkan. Jadi, bukan sesuatu yang dilarang, namun yang perlu diperhatikan adalah ke mana teknologi tersebut diarahkan. Dalam naungan Islam, negara-negara lain tidak akan dibiarkan mengeliminasi kekuatan strategis teknologi dan industri. Dengan mekanisme pengelolaan kekayaan negeri yang melimpah secara mandiri akan berimplikasi pada kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan negara serta rakyatnya, sebagai bentuk penjagaannya terhadap SDA. Sebab, ekonomi dalam Islam adalah ekonomi berbasiskan pertahanan. Sehingga, negara meniscayakan mempersiapkan teknologi dan industri yang akan menopang pertahanan dan kedaulatan negara. Kemudian, menjadi salah satu jalan mendongkrak kebangkitan untuk meraih posisi strategis negara yang diperhitungkan dunia, untuk menyebarkan ideologi dan pengaruh politiknya.

Fakta yang berbeda hari ini, dunia teknologi dan industri begitu diandalkan untuk sebuah negara untuk mencapai tingkat ekonomi yang tinggi. Tetapi, tidak cukup disikapi dengan melihat adanya keuntungan. Namun, sisi mudarat yang cukup besar yang harus diantisipasi. Karena, teknologi dan industri saat ini berhasil membius manusia melupakan sang Pencipta yakni Allah Swt. Oleh sebab itu, tanpa iman segala bentuk kemajuan laksana fatamorgana tidak menghantarkan pada kebaikan dunia dan akhirat. Seperti firman Allah Swt., “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran [3]: 190-191)

Deindustrialisasi yang dilakukan negara Barat terhadap negeri-negeri Islam seiring sejalan dengan hilangnya visi politik para pemimpinnya, yakni visi untuk mandiri. Sehingga hanya sekadar pemenuhan kebutuhan jangka pendek dan keuntungan semata. Oleh karena itu, harus ada keseimbangan antara aspek kemajuannya dengan efek yang ditimbulkannya, sebab bilamana tidak terjadi maka akan menjauhkan dari visi besarnya, yakni agar umat manusia bertauhid. Sebab Islam bukan sekadar agama, melainkan sebuah ideologi yang memiliki aturan yang sempurna sekaligus merupakan solusi kehidupan. Islam akan memanfaatkan kemajuan teknologi untuk kemaslahatan masyarakat. Di mana dalam strategi pengembangannya dibutuhkan peran negara, yakni negara Khilafah. Negara yang melandaskan sistem pemerintahannya pada akidah Islam yang menerapkan syariat Islam secara kaffah. Jika pengembangan teknologi tidak dalam genggaman umat Islam, maka cenderung akan menjadi alat menjajah. Sementara itu, jika umat Islam tanpa teknologi akan cenderung terjajah. Jadi, hanya Islam yang mampu menghentikan segala bentuk penjajahan yang mengancam peradaban manusia. Maka, ketika umat Islam dapat merealisasikan sistem yang didesain oleh Allah Swt. Di saat itulah kita bisa membuktikan pada dunia bahwa Islam benar-benar rahmatan lil’alamin, yang mengantarkan pada posisi negara adidaya. Sehingga, mampu menunjukkan prestisenya sebagai leader bahkan menjadi role model dalam kehidupan yang penuh rahmat.

Wallahu a’lam bish-shawwab. []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com
Witta Saptarini S.E Kontributor Narasipost.Com
Previous
Fenomena Bucin di Hari Valentine
Next
Romansa Cinta Berbalut Dusta
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram