Menakar Pentingnya Subsidi Minyak Goreng

"Paradigma kapitalisme yang diadopsi pemerintah menjadikan bahan pangan termasuk minyak goreng sebagai komoditas perdagangan. Wajar jika akhirnya kebijakannya memperhitungkan keuntungan, mengejar pertumbuhan ekonomi yang terkadang fiktif dan tak masuk akal."

Oleh. R. Raraswati
(Muslimah Peduli Generasi)

NarasiPost.Com-Pada pertengahan 2021, harga minyak goreng 14.000/liter masih dibilang mahal. Sebagian ibu-ibu batal membelinya, berharap harganya kembali lebih murah. Sayangnya, harga terus menanjak hingga kenaikan hampir 100%. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah datang bagai pahlawan dengan memberikan subsidi yang semestinya tidak perlu dilakukan. Kenapa demikian?

Pada faktanya pembiayaan subsidi minyak goreng tidak menyelesaikan masalah. Kebijakan ini hanya menguntungkan produsen minyak goreng, yakni perusahaan swasta. Jika subsidi ditingkatkan, justru akan semakin menguntungkan perusahaan swasta. Apalagi minyak goreng bersubsidi hanya dapat dibeli di supermarket dan minimarket tertentu. Sehingga tidak semua masyarakat mendapatkannya. Lagi-lagi, elit (pemilik supermarket) yang diuntungkan, bukan rakyat secara keseluruhan.

Bagi supermarket atau minimarket yang menjual minyak “murah” akan dipenuhi pembeli. Psikologi manusia yang mudah takut kekurangan dimanfaatkan pelaku kapitalisme. Digambarkannya minyak goreng yang langka, mahal dan susah didapatkan. Menjadi wajar jika masyarakat punic buying dan memborong minyak bersubsidi dengan berbagai cara. Aturan maksimal setiap pembelian, selalu bisa disiasati konsumen. Semua anggota keluarga bahkan tetangga dikerahkan agar mendapatkan jatah minyak lebih banyak.

Sementara itu, pedagang yang sudah terlanjur membeli minyak goreng dengan harga mahal harus lebih bersabar. Pasalnya, mereka tidak mungkin menjualnya dengan harga yang ditentukan pemerintah. Jelas pedagang tidak mau rugi. Mereka hanya bisa berharap masyarakat mau membeli dengan harga tinggi tanpa subsidi. Pilihan kedua, pedagang harus menunggu 6 bulan sampai program subsidi habis.

Dari fakta ini bisa dilihat kesalahan paradigma pemerintah dalam pengelolaan pangan rakyat. Paradigma kapitalisme yang diadopsi pemerintah menjadikan bahan pangan termasuk minyak goreng, sebagai komoditas perdagangan. Wajar jika akhirnya kebijakannya memperhitungkan keuntungan, mengejar pertumbuhan ekonomi yang terkadang fiktif dan tak masuk akal. Walhasil, kebijakan tidak menyelesaikan masalah bahkan memungkinkan justru menimbulkan persoalan baru.

Selain paradigma pemerintah tersebut, pemahaman masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan juga lemah. Masyarakat kurang memahami prioritas dalam pemenuhan kebutuhan. Kekhawatiran tidak mendapatkan minyak “murah” memicu aksi borong tanpa mempedulikan orang lain yang juga membutuhkan. Mereka yang punya banyak uang dan koneksi, akan mendapatkan barang lebih banyak. Sementara rakyat biasa yang sebenarnya hanya beli sesuai kebutuhan, justru tidak mendapatkan bagian.

Di samping itu, fenomena aksi borong tidak lepas dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Walaupun diumumkan bahwa negara menjamin harga yang stabil dan stok yang mencukupi, namun masyarakat sulit untuk percaya. Mereka hanya melihat kenyataan bahwa stok minyak bersubsidi terbatas dan harga di pasaran masih tinggi.

Jadi, jika pemerintah ingin mendapatkan kepercayaan dari rakyat, bukan dengan memberi subsidi minyak goreng. Pemberian subsidi menjadikan negara hanya sebagai regulator dan fasilitator. Pemeran utama dalam pengelolaan bahan pangan dalam hal ini minyak goreng, tetap dikuasai korporasi dan oligarki.

Yang harus dilakukan pemerintah adalah menjalankan pengelolaan perkebunan sawit secara mandiri oleh negara. Negara wajib memastikan ketersediaan minyak goreng mulai hulu hingga hilir. Mulai menyediakan bibit, pupuk, dan sebagainya. Jika ketersediaan bibit dan harga pupuk mahal, maka akan memengaruhi biaya produksi dan berimbas pada harga bahan baku.

Faktanya, sekarang pemerintah menetapkan harga bahan baku, domestic price obligation (DPO) yang merugikan petani. Pasalnya harga bahan baku diturunkan, sementara harga pupuk tetap tinggi. Akibatnya, petani atau perusahaan sawit akan berpikir melakukan ekspor guna menghindari kerugian. Kalau hal ini dilakukan, ada kemungkinan stok CPO berkurang/sedikit. Berdasarkan konsep ekonomi kapitalis, jika persediaan sedikit sedangkan permintaan banyak, maka terjadi inflasi/kenaikan harga. Namun, jika pengelolaan perkebunan sawit dilakukan oleh negara dengan baik, hal ini tidak akan terjadi.

Setelah pengelolaan perkebunan sawit dipastikan berjalan baik, yang perlu dilakukan adalah proses produksi. Negara harus memastikan proses produksi berjalan baik dengan memperhatikan kualitas. Tahap berikutnya adalah pengaturan rantai distribusi pangan yang merata dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Negara akan memastikan semua wilayah mendapatkan pasokan bahan pangan yang cukup.

Berbicara masalah distribusi, tentu tidak dapat lepas dari sistem logistik dan infrastruktur. Negara wajib melakukan pengawasan ketat agar tidak terjadi kecurangan dari oknum tertentu. Dengan demikian, kecil kemungkinan terjadi penimbunan dan permainan harga oleh tengkulak.

Sedangkan dari sisi individu, negara yang menerapkan sistem Islam akan mengendalikan sifat tamak masyarakat. Setiap orang tidak akan berebut bahan pangan, karena masing-masing mengambil sesuai kebutuhan.

Demikian penerapan sistem Islam oleh negara yang juga menjamin perilaku rakyatnya sesuai syariat. InsyaAllah kebutuhan pangan masyarakat dapat terpenuhi dengan harga terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Pada akhirnya, kesejahteraan dapat dirasakan oleh setiap individu dan perekonomian negara stabil. Allahu a’lam bishowab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com
R.Raraswati Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Frozen Embrio Transfer, antara Solusi atau Polusi
Next
Pemetaan Masjid dan Pesantren, Upaya Menghadang Kebangkitan Islam?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram