Kontroversi Ceramah Isu KDRT, Bagaimana Pandangan Syariat?

"Seorang istri merupakan partner dan sahabat sejati selama hidup, maka layaknya memperlakukan seorang sahabat. Ia akan mempergauli sahabatnya dengan baik. Maka, sangat tidak mungkin jika Islam membenarkan kekerasan dalam rumah tangga."

Oleh. Ahsani Annajma
(Penulis dan Pemerhati Sosial)

NarasiPost.Com-Sering mendengar tidak kalau suami istri itu seperti pakaian? Jika dipikir-pikir mengapa Allah mengumpamakan istri sebagai pakaian suami dan sebaliknya? Sebagaimana yang tertuang dalam Al-Qur’an surah Al Baqarah ayat 187: “Mereka (para istri) adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka.” Dalam ayat ini, Allah mengumpamakan suami istri sebagai pakaian yang saling melengkapi.

Engkau adalah Pakaianku

Ketika kau menikah dengan suamimu, maka kau dan suamimu telah menjadi satu bagian, kalian bagaikan pakaian bagi satu sama lain. Fungsi pakaian itu sendiri sebagaimana kita tahu adalah untuk menutupi aurat, melindungi diri dari aib, dan juga menjadi kebutuhan utama manusia pada saat ini. Jika kau membuka aib suamimu, maka sama saja kau sedang menelanjangi dirimu sendiri. Maka sangat jelas, bahwa pasangan yang baik akan menutupi kekurangan pasangannya, ia senantiasa memberikan perlindungan, dan juga saling memenuhi kebutuhan pasangannya. Masya Allah.

Hak pasangan begitu besar sebab kau dan dia dipersatukan dengan ikatan cinta dari Allah. Bagaimana mungkin kita membuka aibnya kepada orang lain? Terlebih saat ini, semakin marak dan menjadi budaya mengumbar aib pasangannya di media sosial. Malahan menjadi trending topik dan bangga ketika aibnya viral di mana-mana, nau’dzubillah min dzalik.

Miris sekali, persoalan rumah tangga yang harusnya hanya menjadi konsumsi pribadi dan antarpasangan, kini dengan bebas dapat dikonsumsi oleh publik sebagai bahan gunjingan bak santapan lezat. Padahal, alangkah lebih baik jika pasangan itu saling menutupi aibnya, sebab pasangan adalah pakaian. Bukankah jika pakaianmu robek, kamu juga yang akan menanggung malu?

Kontroversi Isi Ceramah KDRT

Obrolan seputar suami istri memang merupakan menu yang paling sedap untuk disantap kapan pun dan di mana pun. Di momen yang tepat, masing-masing mengungkapkan curahan hatinya tentang hubungannya dengan pasangan, termasuk perkara hubungan intim ketika di ranjang. Termasuk tindakan yang tidak mengenakan atau kekerasan dalam rumah tangga ini sedang menjadi topik hangat.

Seperti yang sedang trending berita seorang artis penceramah bernama Oki Setiana Dewi, yang diduga menormalisasikan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam kajian yang disampaikannya sekitar dua atau 3 tahun lalu menjadi viral dan sempat mengundang amarah netizen. Dalam video viral yang tengah beredar, beliau menceritakan kisah pasangan suami istri di Jeddah yang sedang bertengkar, kemudian sang suami memukul istrinya hingga menangis. Tak lama kemudian, orang tua dari istrinya datang, dalam kondisi mata sembap dan menangis, sang ibu heran dan bertanya pada wanita itu, tapi istri tersebut menutupi sikap suaminya di depan ibunya. Padahal, bisa saja istirnya ini mengadu telah dipukul dan ada kekerasan dalam rumah tangga. Sang istri justru menutupi sikap suami hingga suami luluh hatinya dan makin sayang kepada istrinya itu. (4/2/2022).

Buntut dari video yang beredar ini, ternyata membuat warganet geram dan menuai berbagai kritik lantaran isi ceramahnya dianggap melanggengkan praktik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Bahkan, Komnas Perempuan pun tak tinggal diam ikut mengecam isi ceramah tersebut. Pihak Komnas Perempuan menyesalkan ceramah artis pendakwah itu dan menilai ada tiga poin yang tidak sesuai. Pertama, dalam ceramah itu seolah tidak masalah suami memukul istri. Kedua, istri tidak boleh menceritakan kekerasan yang dialaminya kepada siapa pun karena merupakan aib rumah tangga. Ketiga, tidak memercayai korban (istri) dan menilai berlebihan (3/2/202).

Sikap kecewa juga datang dari ketua Tanfidziyah PBNU, Alissa Wahid yang menyayangkan isi ceramahnya tersebut karena terkesan menormalisasi tindak kekerasan dalam rumah tangga demi menutupi aib suami. Menurutnya, KDRT tidak dapat diselesaikan sendirian, harus meminta bantuan kepada pihak lain, Islam mengajarkan agar suami memperlakukan istri dengan baik dan layak. Alissa menekankan bahwa kekerasan suami terhadap istri tidak layak ditutupi.

Hal serupa juga membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) bereaksi, Muhammad Cholil Nafis memprotes ceramah ustazah Oki tidak tepat. Menurutnya, jika seorang suami atau istri melakukan KDRT, lebih baik diceritakan kepada pihak yang tepat, karena dalam Islam perbuatan kekerasan dalam rumah tangga itu dilarang. Adapun pihak yang membela Ustazah Oki, Waketum MUI Anwar Abbas, yakin bahwa ceramah tersebut tidak mendukung praktik kekerasan rumah tangga. Menurutnya, apa yang disampaikan itu karena melihat fenomena dewasa ini banyak keluarga dengan bangga mengumbar apa yang terjadi dalam rumah tangga dibawa ke ranah publik. Hal itu membuat orang seantero raya menjadi tahu apa yang terjadi dan mereka alami dalam keluarganya.

Mendudukkan Sikap Defensif Apologetis

Melihat berbagai respons dan juga kecaman dari banyak pihak yang tidak setuju dengan ceramahnya, akhirnya artis pendakwah ini meminta maaf kepada publik karena menyadari kesalahan dalam memberikan contoh dalam ceramahnya. Menelisik dari berbagai kontroversi yang mengatasnamakan Islam, sebagian umat Islam berusaha melindungi Islam sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, dengan cara yang setelah dipikir ulang kurang tepat. Mungkin maksud kita baik, tapi setelah dikritisi dan ditelusuri ternyata sikap tersebut kurang tepat dan bahkan menyalahi apa yang sebenarnya ada dalil hukumnya dalam Islam. Inilah yang dinamakan sikap defensif apologetis ketika membela Islam.

Sikap defensif apologetis adalah sikap membela diri karena merasa menjadi pihak yang tertuduh. Membela diri dengan menolak sesuatu yang memang harus kita lakukan dalam menyampaikan kebenaran. Bila ditelisik penyebab munculnya sikap ini, karena gencarnya propaganda Barat dan musuh Islam dalam menyudutkan Islam, serta masifnya kampanye tentang HAM, kesetaraan gender, demokrasi, pluralisme. Sehingga, tolok ukur kebenaran umat Islam bergeser pada apa yang dikampanyekan oleh Barat. Ditambah masih rendahnya taraf berpikir dan pemahaman Islam sebagian besar kaum muslimin, makin memperburuk kondisi ini.

Ketika terdapat tuduhan Islam tidak menghormati hak-hak wanita dan tidak memberikan perlindungan anak dengan membolehkan poligami dan nikah siri dengan berbagai dalil dan alasan. Sejatinya poligami dan nikah siri dibolehkan dalam Islam. Termasuk kondisi yang dirasakan oleh artis pendakwah ini yang dituduh melanggengkan tindakan KDRT, menuduh bahwa Islam tidak menghormati Hak Asasi Manusia, menjadikan wanita (istri) sebagai korban dari kezaliman suami, sehingga butuh adanya kesetaraan gender dalam rumah tangga. Hal ini menjadi sasaran empuk kaum feminis untuk menyasar pihak yang berusaha menjalankan syariat menjadi pihak yang tertuduh karena dianggap menentang HAM dan kebebasannya itu.

Ditambah regulasi yang ada juga berpihak kepada arus liberal, paket komplet kerusakan dari sistem kapitalis sekuler ini makin nyata. Seharusnya sebagai muslim sikap kita bukan defensif apologetis, justru kita harus menyerang balik tuduhan kaum liberal yang menyudutkan syariat. Jangan heran, bila hari ini malah umat Islam sendiri yang menentang hukum rajam bagi pezina (bagi yang telah menikah), membunuh orang yang sengaja menghilangkan nyawa orang lain, memotong tangan pencuri.

Mereka mengatakan bahwa syariat Islam kuno, tidak cocok dengan zaman, juga melanggar HAM. Sehingga diganti dengan hukuman penjara atau jenis hukuman lain. Padahal, hukum Islam tidaklah berubah meskipun zaman telah berubah. Ketika hukum-hukum Islam diterapkan, justru akan membawa kedamaian. Orang akan berpikir 1001 kali untuk berzina, mencuri uang negara (korupsi), selingkuh, membunuh orang lain, karena hukumannya membuat jera.

Syariat Islam Memuliakan Wanita

Benarkah pihak yang menuduh bawah KDRT ini dibenarkan atau dianggap normal dalam syariat? Rasulullah sebagai suri teladan terbaik bagi umat Islam memerintahkan kepada para suami untuk berbuat baik kepada istrinya sebagaimana sabdanya, Khiyarukum khiyarukum linisaihi (Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik pelakuannya kepada istri-istrinya). Seorang istri merupakan partner dan sahabat sejati selama hidup, maka layaknya memperlakukan seorang sahabat, Ia akan mempergauli sahabatnya dengan baik. Maka sangat tidak mungkin jika Islam membenarkan kekerasan dalam rumah tangga.

Selain itu, kisah ketegasan seorang pemimpin Islam dalam melindungi dan menghormati hak seorang wanita (istri) juga tergambar pada abad ke-17. Selama masa Kekhalifahan Utsmaniyah, diberlakukan regulasi vonis hukuman terhadap suami yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Daulah Islam pun mengizinkan istri yang dilecehkan, untuk mengklaim kompensasi di bawah _ta'zir (hukuman jasmani). Pada abad ke-19, seorang tokoh fikih, ahli hukum di Suriah pada masa Kekhalifahan Utsmaniyah, Ibnu Abidin mengatakan ta'zir ini wajib dikenakan untuk laki-laki yang memukuli istrinya secara berlebihan dan “mematahkan tulang”, “membakar kulit”, atau “menghitamkan” atau “memar kulitnya”.

Inilah jawaban atas tuduhan yang digembar-gemborkan oleh kaum feminisme dan musuh-musuh Islam bahwa Islam melanggengkan praktik kekerasan dalam rumah tangga semata-mata untuk menutupi aib suami, adalah tuduhan yang keji dan tidak berdasar. Islam sebagai agama yang penuh kasih sayang dicitrakan buruk oleh musuh-musuh islam dengan menjadikan senjata HAM dan kesetaraan gender sebagai senjata paling ampuh untuk menembakkan peluru-peluru jitu yang menyerang pemikiran umat, yang hanya akan mengaburkan umat Islam dari ajarannya yang mulia ini.

Mendidik Istri dalam Islam

Allah sebagai sang pembuat aturan, mewasiatkan pergaulan yang baik di antara suami dan istri, yang tertera dalam surah An-Nisa ayat 19 untuk mempergauli istri secara patut. Adapun jika terjadi perselisihan di antara keduanya, maka harus diselesaikan secara baik-baik. Syarak telah memberikan tuntunan hukum yang jelas kepada umatnya. Suami hanya diberi wewenang untuk memberikan sanksi kepada istri jika si istri melakukan perbuatan yang melanggar hukum syarak dan pembangkangan terhadap suami.

Suami adalah Qawwam yang bertanggung jawab dalam memimpin dan memelihara urusan rumah tangganya. Jika istri melakukan pembangkangan (nusyuz) kepada suaminya, misalnya seorang istri pergi keluar rumah tanpa mendapat izin suami, tidak mau melayani suami padahal tidak ada uzur syar’i (haid atau sakit) dan sebagainya, maka Allah memberikan hak kepada suami untuk mendidik istrinya, sebagaimana yang tertera dalam surah An-Nisa ayat 34 : “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.”

Dari ayat tersebut, seorang suami berhak mendidik istrinya jika menampakkan gejala nusyuz dalam tiga tahapannya sebagai berikut : Pertama, menasihati istri dengan lembut agar kembali taat kepada suami, sebab menaati suami merupakan kewajiban bagi seorang istri (lihat QS Al-Baqarah ayat 228). Kedua, memisahkan istri dari tempat tidurnya, maksudnya adalah tidak menggauli dan tidak tidur bersama istri. Langkah kedua ini dilakukan apabila tahap pertama tidak berhasil. Ketiga, memukul istri, langkah ini dilakukan apabila tahap kedua juga tidak berhasil. Namun, meski Islam membolehkan suami memukul istrinya, Islam menetapkan pukulan itu bukan pukulan yang keras, melainkan pukulan yang ringan dan tidak membekas.

Dalam kitab an-Nizham al-Ijtima’I fi al-Islam, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa, pukulan di sini wajib berupa pukulan ringan (dharban khafifan), yaitu pukulan yang tidak meninggalkan bekas (dharban ghaira mubarrih). Ini sebagaimana penafsiran Rasulullah saw. terhadap ayat tersebut ketika melakukan Haji Wada’ dan beliau berkhotbah, “Jika para istri melakukan perbuatan nusyuz, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menimbulkan bekas (dharban ghaira mubarrih).” (HR. Muslim)c

Inilah kekhasan ajaran Islam, memberikan maslahat bagi seluruh umat manusia, solusi yang ditawarkan merupakan solusi terbaik dan praktis, yang dapat memuaskan akal manusia, menenteramkan hati, dan sesuai dengan fitrah manusia. Perlu kita pahami bersama bahwa kekerasan dalam rumah tangga sejatinya hanya akan membuat cinta dalam istana kita terhempas dalam keguncangan yang membuat pernikahan tidak seindah harapan. Rumah tangga Rasulullah saw. adalah the real sebaik-baiknya rumah tangga yang mulia tanpa ada kekerasan. Kebahagiaan dan surga penikahan dapat direguk dan dinikmati ketika di antara pasangan saling menyadari bahwa kekerasan tak akan menyelesaikan masalah, namun justru menimbulkan masalah baru. []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Ahsani Annajma Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Pelajaran dari Dibinasakannya Kaum Nuh
Next
UU IKN : Wujud Penjajahan Berkedok Pindah Ibu Kota
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram