Kisruh JHT, Kapitalisme Menggantung Nasib Buruh

"Beginilah potret buram negeri demokrasi, janji kesejahteraan sekadar basa-basi. Janji tersebut sekadar pemanis di panggung pemilihan menuju kursi panas pemangku kekuasaan. Namun, saat kursi telah didapat, suara rakyat tak lagi berharga dan janji kesejahteraan menguap begitu saja."

Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(RedPel NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-Seolah tak ada habisnya derita kaum buruh di sistem kehidupan hari ini. Masih terngiang di telinga kita teriakan tuntutan para buruh yang menuntut kenaikan UMP, kini mereka kembali dibelit problematika akibat kebijakan pemerintah yang baru-baru ini disuarakan.

Sebagaimana dilansir dari Republika.co.id (13-02-2022) bahwa Menteri Ketenagakerjaan menelurkan kebijakan baru yakni Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara Persyaratan dan Pembayaran Jaminan Hari Tua. Dalam peraturan tersebut, Jaminan Hari Tua (JHT) bagi pekerja dapat dicairkan pada saat pekerja berusia 56 tahun.

Sontak saja, kebijakan tersebut menuai kontra dari kaum buruh karena dianggap menzalimi dan menahan hak mereka. Betapa tidak, di peraturan sebelumnya, yakni PP No 60 Tahun 2015 jo PP No 19 Tahun 2015 para buruh yang terkena PHK dan mengundurkan diri diperbolehkan untuk mengambil JHT tanpa harus menunggu usia 56 tahun. Akibat kebijakan baru ini, para buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) menggelar demo penolakan di berbagai daerah, mereka menuntut kebijakan yang rencananya mulai berlaku pada 2 Mei 2022 itu segera dicabut.

Wajar saja jika para buruh menuntut hal tersebut, sebab sejatinya ketika mereka tidak lagi bekerja, uang JHT-lah satu-satunya harapan mereka untuk menyambung hidup. Bisa juga JHT tersebut dijadikan sebagai modal usaha, mengingat kondisi pandemi yang tak kunjung usai ini menjadikan perekonomian rakyat kian terpuruk. Tentu dibutuhkan dana segar untuk membuka usaha.

Banyak pihak yang mempertanyakan perihal Permenaker Nomor 2 tahun 2022 tersebut, mengapa pemerintah harus menahan pencairan JHT? Bahkan bergulir spekulasi di tengah masyarakat bahwa uang tersebut akan digunakan oleh pemerintah untuk membiayai program lain, termasuk pembiayaan proyek Ibu Kota Negara (IKN) yang saat ini sedang dikejar deadline.

Sebagaimana diketahui bahwa JHT merupakan dana yang dikumpulkan dari iuran buruh yang berasal dari gaji yang dipotong setiap bulannya. Maka, pencairan JHT yang harus menunggu sampai usia 56 tahun jelas menzalimi para buruh. Hal tersebut diungkapkan pula oleh Alifudin, Anggota Komisi IX DPR RI, yang mengatakan bahwa seharusnya pemerintah tidak menambah lagi penderitaan rakyat, sebelumnya sudah ada polemik soal UU Cipta Kerja dan besaran upah yang tidak berpihak pada kaum buruh. Bahkan beliau mempertanyakan, apakah aturan terbaru soal JHT ini ada kaitannya dengan kondisi keuangan BPJS? Beliau pun mendorong agar BPJS Ketenagakerjaan diaudit forensik oleh auditor independen. (Kumparan.com/13-02-2022)

Demokrasi Gagal Sejahterakan Buruh

Sistem demokrasi yang menganut slogan "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat", kenyataannya tidak menjadikan rakyat sebagai prioritas pertimbangan dalam pengambilan kebijakan. Sebaliknya, seringkali negara malah menjadikan rakyat sebagai tumbal, sementara para pengusahalah yang difasilitasi kepentingannya.

Beginilah potret buram negeri demokrasi, janji kesejahteraan sekadar basa-basi. Pemanis di panggung pemilihan menuju kursi panas pemangku kekuasaan. Namun, saat kursi telah didapat, suara rakyat tak lagi berharga dan janji kesejahteraan menguap begitu saja.

Dalam persoalan buruh yang notabenenya mereka adalah bagian dari rakyat negeri ini, nasibnya kerap digantung. Seolah hanya tenaga mereka yang dieksploitasi demi keuntungan materi para korporasi. Namun, kesejahteraan jauh dari harapan.

Kebijakan penundaan pencairan JHT hingga usia 56 tahun wajar saja menuai polemik, meski pemerintah berdalih hal tersebut dalam rangka melindungi buruh di usia yang sudah tak lagi produktif kelak. Ida Fauziah, selalu Menteri Ketenagakerjaan juga menjamin bahwa JHT akan tersimpan aman dan dikelola dengan baik. Namun, tetap saja hal tersebut tidak dapat diterima oleh para buruh. Karena sejatinya, alasan melindungi buruh terkesan dipaksakan. Realitanya, pasca di-PHK, buruh tak punya penghasilan, maka tentu saja membutuhkan modal untuk usaha.

Nasib Buruh Tak Keruh dalam Naungan Sistem Islam

Sebagai ideologi, Islam memiliki seperangkat aturan bagi manusia, tak terkecuali dalam persoalan buruh. Dalam kacamata Islam, kesejahteraan buruh adalah hal yang penting untuk diperhatikan.

Negara wajib menjamin kepada para pengusaha agar memberikan upah yang setimpal kepada para buruh, sesuai dengan manfaat yang diberikan para buruh tersebut kepada perusahaan atau majikan tempatnya bekerja. Maka, tak ada istilah UMP atau UMR dalam Islam, karena besaran upah disesuaikan dengan tenaga atau usaha yang dikeluarkan pekerja.

Adapun dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok para buruh, maka negaralah yang wajib menjamin pemenuhannya, misalnya, pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan, tempat tinggal, dan lain-lain. Negara wajib memberikan pelayanan atas itu semua secara terjangkau bahkan gratis kepada seluruh rakyatnya. Sebab negara berfungsi sebagai pemelihara urusan masyarakat yang berada di bawah naungannya.

Sungguh berbeda potret pengurusan negara yang mengadopsi syariat Islam secara kaffah dengan negara berideologi kapitalisme sekuler dalam mengurus urusan rakyatnya. Sebab, yang menjadi asasnya pun berbeda. Pemimpin dalam sistem Islam menjadikan jabatan sebagai amanah yang berat, maka ia akan sangat berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan. Jangan sampai justru menyakiti atau menzalimi rakyatnya. Sebab pemimpin dalam Islam memahami bahwa kelak amanah tersebut akan dipertanggungjawabkan di pengadilan akhirat.

Lain halnya dengan sistem kapitalisme hari ini, banyak kebijakan penguasa yang justru bertentangan dengan kepentingan rakyat. Mereka membuat kebijakan yang justru dipaksakan demi menopang kepentingan segelintir orang. Maka, tak heran, jika penguasa hari ini kerap dikatakan sebagai rezim oligarki sebab mereka mengkhianati rakyat sendiri dan berselingkuh dengan korporasi. Sungguh ironis!

Kisruh JHT cukuplah menjadikan kita semakin meyakini bahwa sistem kehidupan kapitalisme sekuler hari ini sungguh tak berpihak pada rakyat. Maka, sesungguhnya kita harus membuka hati dan pikiran kita bahwa hanya sistem Islamlah satu-satunya yang dapat menyejahterakan rakyat dan menjamin rasa keadilan. Tidakkah kita tergerak untuk mewujudkannya?

Wallahu'alam bis shawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Hana Annisa Afriliani, S.S Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Meneropong Nasib SPBU di Era Electric Vehicle (EV)
Next
Masjid dan Pesantren Dikaitkan Isu Radikalisme, Ciptakan Kegaduhan?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram