"Kisruh penetapan harga yang tidak menyelesaikan persoalan ini, tentu hanya terjadi di sistem kapitalisme. Sebab, harga menurut mereka adalah aspek penting dalam menjalankan produksi, distribusi, dan konsumsi. Dengan kata lain, harga menjadi alat pengendali dalam sistem perekonomian kapitalisme. Oleh karena itu, memainkan harga menjadi jalan meraih laba tinggi. Mirisnya, pemerintah campur tangan dalam kezaliman ini."
Oleh. Dia Dwi Arista
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NrarasiPost.Com-Kisruh harga minyak goreng terjadi setelah adanya kenaikan harga CPO (Crude Palm Oil) internasional. Hal ini berimbas pada kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri. Harga minyak goreng yang sempat menembus Rp20.000,00 per liter, membuat seluruh negeri gaduh, sebab minyak goreng termasuk salah satu bahan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Setelah ramai diperbincangkan, akhirnya pemerintah mulai turun tangan dengan menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET). Hal ini disampaikan oleh Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi (27/1/2022) lalu. Setelah menetapkan DPO untuk CPO sebesar Rp9.300 per kilogram, sedangkan minyak olein Rp10.300 per liter, pemerintah pun juga menetapkan harga eceran tertinggi minyak goreng di pasar yang berlaku mulai 1 Februari 2022 dengan harga, minyak goreng curah Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500 per liter, minyak goreng kemasan premium Rp14.000 per liter. (bisnis.tempo.co, 1/2/2022)
Sayangnya, kebijakan penetapan harga minyak malah menuai persoalan baru di tengah masyarakat, khususnya pedagang kecil. Hal ini disebabkan perbaikan harga tidaklah merata, bukan pula dimulai dari retail tradisional, tapi justru lebih dulu menyasar pada retail modern. Akibatnya terjadi perbedaan harga yang cukup signifikan, dan berakhir pada panic buying, juga kelangkaan minyak goreng bersubsidi.
Kesenjangan Harga
Drama kenaikan minyak goreng tak lantas selesai setelah pemerintah menyuarakan akan memberikan subsidi. Kenyataannya, subsidi tak diedarkan dari retail tradisonal terlebih dahulu. Retail tradisonal seperti warung dan pasar tradisional yang membeli barang dengan kontan, tentu saja merugi ketika tiba-tiba terdapat subsidi yang diberikan oleh pemerintah. Masalahnya subsidi ini malah masuk ke retail modern seperti minimarket, akibatnya kesenjangan harga antara retail tradisional dan retail modern seperti langit dan bumi. Maka patut dipertanyakan, ke mana larinya dana subsidi? rakyat atau pengusaha retail?
Ketika retail modern menjual minyak goreng dengan harga Rp14.000, retail tadisional masih menggunakan harga lama yakni kisaran Rp18.000-Rp19.500. Sebab, barang yang mereka beli sebelumnya masih menumpuk belum laku, jika mau laku, maka mereka harus siap merugi.
Kebingungan ini tak hanya dialami pedagang kecil, namun konsumen umum juga merasakannya. Sebab ketika diumumkan harga minyak turun di retail modern, masyarakat segera menyerbu mini market seperti tidak ada hari esok, panic buying terjadi. Akhirnya, terjadi kelangkaan.
Keuntungan Berlipat para Kapital
Mungkin dalam kasus meroketnya harga minyak goreng kali ini, sudah tak memiliki efek kejut bagi khalayak. Sebab, masyarakat sekarang sudah paham bagaimana pemerintah melayani rakyatnya. Kapitalisme yang diadopsi oleh negara ini sudah tak bisa ditutupi. Pun asas sistem kapitalisme, yaitu manfaat, juga telah dirasakan dengan berbagai kasus lonjakan-lonjakan harga yang berulang.
Untung rugi menjadi parameter bagi kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah. Tak jauh berbeda, hal ini juga yang tengah terjadi pada kasus meroketnya harga minyak goreng. Meski tak semua, para pengusaha minyak goreng selama ini mencukupi kebutuhan bahan baku, yakni kelapa sawit dari hasil kebun sendiri.
Luasnya daratan tanah Indonesia, menjadi lahan subur bagi perkebunan kelapa sawit, yang celakanya dimiliki oleh para kapitalis bermodal besar. Meski hanya bermodal HGU (Hak Guna Usaha), para kapitalis telah meraup dolar besar dengan adanya kenaikan CPO di kancah internasional. Tentu, hal ini tak disia-siakan begitu saja. Keuntungan besarlah yang menjadi tujuan. Mereka pun mengekspor CPO untuk keuntungan yang berlipat.
Meski kebutuhan dalam negeri tercukupi, namun godaan 'aji mumpung' tak bisa terelakkan. Kenaikan CPO tentu berimbas pada kenaikan harga minyak goreng dunia. Hal ini menjadi kesempatan emas bagi para pengusaha. Padahal produksi dalam negeri tidak ada perubahan, sebab mereka mendapat bahan baku dari kebun sendiri, dan tidak ada penambahan biaya produksi. Namun, tetap saja harga minyak goreng seakan terbang.
Keuntungan yang berlipat dari penjualan CPO ke pasar internasional, juga penjualan minyak goreng dengan harga selangit, menjadi saksi betapa kapitalisme menjadi sistem rusak dalam peri'ayahan kepada masyarakat. Parahnya, pemerintah seolah tak bertaji mengatasi lonjakan-lonjakan harga yang sering terjadi. Padahal dalam kasus kali ini, sudah lebih dari sebulan harga minyak goreng terus melambung, namun aksi pemerintah terkesan lambat.
Salah Kelola
Minyak goreng menjadi salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia bahkan dunia, tentu keberadaannya pasti akan dicari semahal apa pun harganya. Maka, keberadaannya wajib tersedia. Sebagai pengatur urusan umat, seharusnya negara dengan ketat mengawasi komoditas-komoditas kebutuhan masyarakat. Dan tidak menyerahkan produksinya pada swasta, sebab kemungkinan adanya kartel dan mafia perdagangan pasti ada, mengingat sistem yang dipakai adalah sistem ekonomi kapitalis yang bersifat materialis.
Jika diamati lebih dalam, adanya kasus meroketnya harga minyak sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat adalah tidak dikelolanya industri tersebut oleh pemerintah. Malah justru dilempar ke swasta. Bahkan tanah yang digunakan oleh para pengusaha adalah tanah milik rakyat. Harusnya rakyatlah yang diuntungkan dengan kekayaan sumber daya alam, bukan para kapitalis.
Padahal fungsi negara menurut kesepakatan founding fathers yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yang dilansir oleh kompas.com (28/2/2020) salah satunya adalah bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, yaitu kondisi terpenuhinya kebutuhan warga negara dalam hal material, spiritual, dan sosial, juga kehidupan layak dan mampu untuk mengembangkan diri. Namun kenyataannya, kondisi rakyat jauh dari kata sejahtera.
Hukum Penetapan Harga dalam Islam
Kisruh penetapan harga yang tidak menyelesaikan persoalan ini, tentu hanya terjadi di sistem kapitalisme. Sebab, harga menurut mereka adalah aspek penting dalam menjalankan produksi, distribusi, dan konsumsi. Dengan kata lain, harga menjadi alat pengendali dalam sistem perekonomian kapitalisme. Oleh karena itu, memainkan harga menjadi jalan meraih laba tinggi. Mirisnya, pemerintah campur tangan dalam kezaliman ini.
Skema harga yang diterapkan oleh pemerintah dalam polemik harga minyak goreng ini, tak akan terjadi dalam sistem perekonomian Islam. Sebab, Allah telah melarang penetapan harga pada suatu komoditas. Hal ini telah termaktub dalam surah An-Nisa ayat 29, "Hai Orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antaramu."
Pada masa Rasulullah saw. pun pernah terjadi kenaikan harga pada suatu komoditas, para sahabat lantas meminta Rasul untuk mematok harga agar terjadi kestabilan di pasar. Namun, jawaban Rasulullah saw. tak sesuai yang diinginkan oleh para sahabat. Beliau menjawab, "Sesungguhnya Allahlah Maha Pencipta, Maha Penggenggam, Maha Melapangkan, Maha Pemberi Rezeki dan Maha Menentukan Harga. Sesungguhnya aku sangat ingin menghadap ke hadirat Allah Swt. sementara tidak ada seorang pun yang menuntutku karena suatu kezaliman yang aku lakukan kepadanya dalam masalah harta dan darah." (HR.Ahmad)
Mematok harga bukanlah solusi yang benar dalam persoalan kenaikan harga, meski kenaikan harga adalah suatu keadaan yang sangat mungkin terjadi. Sebab kehidupan berputar memang ada naik dan turunnya. Kenaikan harga dapat terjadi dengan banyak sebab, misal musim paceklik, gagal panen karena terserang hama, bencana alam, peperangan, bahkan krisis politik.
Solusi permasalahan tersebut ada pada seberapa besar upaya pemerintah dalam mencukupi ketersediaan barang, dan distribusinya yang merata kepada seluruh penduduk. Adapun jika terjadi penimbunan (ihtikaar) yang menjadi sebab kelangkaan barang di pasaran, maka penyelesaiannya bukan dengan mematok harga. Namun, membongkar sindikat-sindikat penimbun dan menghukumnya. Selain itu, membuat mekanisme distribusi merata, hingga pemastian bahwa seluruh penduduk mendapat komoditas yang dibutuhkan.
Dengan demikian, pematokan harga (At-Tasiir) dalam masalah kenaikan minyak goreng ini tidaklah membantu masyarakat sama sekali. Sebab, pada dasarnya negaralah yang harus menyediakan minyak goreng dengan harga yang murah bagi rakyat, bukan sebagai embel-embel subsidi yang lagi-lagi juga masuk ke kantong para kapitalis. Demikianlah fungsi negara sesungguhnya, yakni sebagai ri'ayatus suuunil ummah. Allahu alam bis-showwab.[]
Photo: unsplash