"Sedemikian banyak aturan yang dibuat pemerintah, tapi ternyata hanya sebatas aturan dan terkadang antaraturan malah saling bertabrakan. Memberikan sanksi kepada siswa bisa jadi dalam rangka mengedukasi menjadi anak yang tertib disiplin tetapi terbentur dengan aturan ketidakbolehan tindak kekerasan yang bisa berupa psikis dan fisik, bahkan menyebabkan trauma."
Oleh. Wening Cahyani
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Memprihatinkan! Pendidikan di negeri ini masih saja dirundung pilu dengan berbagai problem. Mulai kekurangan tenaga pengajar, kurikulum yang berganti-ganti, infrastruktur yang tidak memadai hingga kasus kekerasan di sekolah. Apalagi di masa pandemi yang hampir tiga tahun melanda, menjadikan peserta anak didik seolah-olah kosong dari ilmu-ilmu pembentuk pribadi yang baik.
Kembali dunia pendidikan tercoreng atas tindakan kekerasan yang terjadi di sebuah sekolah yang dilakukan oleh seorang guru kepada siswanya. Sebagaimana diberitakan bahwa telah viral video seorang guru memukul siswa SMP di Surabaya (detik.com, 30/01/2022).
Tindakan kekerasan di sekolah berdasar berita-berita yang ada bisa terjadi dari guru terhadap siswa, siswa terhadap guru, siswa terhadap siswa, wali siswa terhadap guru, dan siswa terhadap petugas kebersihan. Penganiayaan di sekolah yang menyebabkan trauma psikis, cedera fisik bahkan sampai hilangnya nyawa menjadi sajian yang berderet-deret di media sosial saat ini.
Dilansir dari terkini.id pada Jumat (28/01/2022) bahwa seorang guru di SMP Negeri 3 Binamu, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan diduga telah dianiaya oleh keluarga siswa yang didapati merokok di dalam kelas sekolah.
Tentu kejadian-kejadian ini menambah daftar panjang kasus kekerasan di sekolah yang makin marak terjadi. Kekerasan di sekolah yang menjadi salah satu problem pendidikan di Indonesia yang hingga hari ini memang belum usai dan harus segera dicari penyelesaiannya.
Akar Masalah Tindakan Kekerasan di Sekolah
Terkait sistem pendidikan nasional di Indonesia telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 yang menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Di Indonesia sendiri, tindakan kekerasan di sekolah juga sudah mendapat perhatian dengan dibuatnya regualasi melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Melalui regulasi ini diharapkan kasus kekerasan di sekolah bisa diatasi. Namun alih-alih bisa mengatasi, yang ada justru menambah panjang daftar kekerasan di sekolah, terbukti di awal tahun 2022 ini kasus tindak kekerasan sudah terjadi lagi.
Sedemikian banyak aturan yang dibuat pemerintah, tapi ternyata hanya sebatas aturan dan terkadang antaraturan malah saling bertabrakan. Satu peraturan ingin mewujudkan pribadi berakhlak mulia dan betanggung jawab di peraturan lain mencegah untuk berbuat tegas kepada siswa. Memberikan sanksi kepada siswa bisa jadi dalam rangka mengedukasi menjadi anak yang tertib disiplin tetapi terbentur dengan aturan ketidakbolehan tindak kekerasan yang bisa berupa psikis dan fisik dan menyebabkan trauma.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia pun menelusuri faktor-faktor terjadinya tindakan kekerasan di sekolah, di antaranya adalah karakter siswa yang kurang terbina dengan baik di lingkungan keluarga atau sekolah. Konten-konten buruk yang disaksikannya memengaruhi pribadi anak menjadi kasar dan temperamen. Selain itu, tidak adanya kompetensi pedagogik yang dimiliki guru, penguasaan kelas, menciptakan suasana belajar yang kreatif dan menyenangkan.
Paradigma yang dibangun tentang keberhasilan pembelajaran siswa berasal dari nilai akademik. Siswa sendiri mengukur kemampuan diri dari nilai yang didapat, maka tidak heran demi meraih nilai bagus siswa melakukan tindakan curang dengan menyontek. Dari sini bisa dilihat betapa generasi memiliki karakter yang rendah meski memiliki nilai akademik yang tinggi. Nilai-nilai agama tidak lagi menjadi acuan dalam berbuat.
Tampak dalam sistem pendidikan di sistem kapitalis sekuler tidak mampu untuk mencetak siswa yang taat kepada Allah Swt. dan pribadi mumpuni dalam ilmu di luar tsaqafah Islam. Mereka memiliki pribadi ganda, muslim tetapi tidak menjadikan Islam sebagai acuan berpikir dan berbuat. Tindakan dan ucapan kasar menjadi hal yang lumrah bagi mereka meski dilakukan kepada orang tua dan guru mereka. Bahkan tidak hanya di lingkungan sekolah mereka berbuat kekerasan tapi di luar sekolah yang melibatkan orang lain baik sesama siswa atau bukan. Bagaimana sistem pendidikan Islam mengatasi masalah ini?
Sistem Pendidikan Islam Mencegah Kekerasan di Sekolah
Islam sebagai sistem sempurna sangat memperhatikan masalah pendidikan karena merupakan kebutuhan mendasar manusia. Pendidikan dalam pandangan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, dan tersistematis untuk menyukseskan misi penciptaan manusia sebagai hamba yang mengabdi kepada Allah Swt. dan khalifah di bumi. Sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu.” (TQS. Adz-Dzariat [51]: 56)
Selaras dengan pandangan di atas maka sistem pendidikan Islam memiliki tujuan membentuk manusia berkepribadian (cara berpikir dan cara bersikap) Islam, menguasai tsaqafah Islam, dan menguasai ilmu kehidupan (sains, teknologi, dan keahlian).
Pendidikan yang membentuk kepribadian Islam pada hakikatnya merupakan perwujudan dari konsekuensi seorang muslim, yaitu sebagai muslim yang memegang erat identitas keislamannya dalam seluruh aktivitas hidupnya. Pribadi yang islami melekat di mana pun ia berada. Penanaman akidah Islam yang kuat, mengajak menegakkan bangunan cara berpikir dan perilaku di atas fondasi Islam, dan senantiasa mengembangkan kepribadian dengan mengisi dengan tsaqafah Isalm serta mengamalkannya merupakan langkah-langkah yang ditempuh untuk membentuk dan meningkatkan kepribadian pada diri seseorang.
Proses pendidikan dalam Islam secara formal dan nonformal. Sekolah merupakan unsur pelaksana pendidikan secara formal yang di dalamnya diterapkan kurikulum, mata ajaran, dan metodologi pendidikan berdasar akidah Islam. Dari sekolah ini akan dilahirkan pribadi Islami bukan pribadi sekuler. Tentu saja ini akan terwujud dengan melibatkan peran pendidikan dari keluarga dan masyarakat.
Keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama. Di dalamnya tempat membina kepribadian, penguasaan dasar-dasar tsaqafah Islam, dan pengamalan hidup sehari-hari yang dipengaruhi oleh sumber belajar di keluraga terutama orang tua. Maka, orang tua pun akan membekali diri mereka dengan tsaqafah Islam karena mereka akan menjadi panutan anak-anaknya.
Masyarakat, sebagaimana halnya keluarga merupakan tempat pendidikan yang akan berlangsung sepanjang hayat, terutama berkaitan dengan praktik kehidupan sehari-hari yang dipengaruhi tetangga, teman pergaulan, lingkungan, dan sistem nilai yang berjalan. Ketika sistem yang ditegakkan Islam, masyarakat ini menjadi salah satu penyangga ketakwaan individu kemudian negara menjadi pelaksana syariat Islam.
Dengan demikian, sangat dipastikan seseorang yang dididik dalam sistem Islam akan terwujud pribadi yang taat, tidak mudah berbuat maksiat (tindak kekerasan) karena ketakwaan pribadi akan menjadi pengontrol diiringi kontrol masyarakat, dan negara sebagai pilar akhir penjaga sistem Islam yang menerapkan syariat secara sempurna. Wallahu a’lam bish shawab.[]