"Kalau kita ingat, tidak kali ini saja kebijakan pemerintah terkait ketenagakerjaan merugikan pekerja. Misalnya, UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya yang terlihat zalim terhadap pekerja. Semua lebih berpihak kepada korporasi. Belum lagi denda yang harus dibayar pekerja ketika terlambat membayar iuran setiap bulan. Bahkan ketika mengambil manfaat dari jaminan tersebut masih harus dibebani dengan pajak."
Oleh. R. Raraswati
(Muslimah Peduli Generasi)
NarasiPost.Com-Kebijakan pemerintah dalam pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) hanya pada saat usia pensiun, 56 tahun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia akan diberlakukan tanggal 2 Mei 2022. Tentu saja ini menimbulkan polemik tersendiri karena sebelumnya boleh mencairkan JHT sebulan setelah pekerja tidak lagi bekerja. Apa mungkin ini menunjukkan menurunnya kondisi keuangan dan kinerja BPJS ketenagakerjaan? Padahal dana JHT diharapkan dapat meringankan beban setelah tidak lagi bekerja.
Namun kenyataannya, jauh dari harapan. Alih-alih meringankan, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) justru mengundang masalah baru. Pasalnya, mereka butuh modal kerja ataupun untuk memenuhi kebutuhan selama belum memiliki penghasilan pasca PHK. Mestinya pemerintah lebih mengutamakan kepentingan rakyat dengan tidak mengubah ketentuan lama.
Di tengah banyaknya PHK akibat pandemi, wajar jika banjir penolakan terhadap kebijakan tersebut. Mulai petisi menolak Permenaker hingga ancaman melakukan demonstrasi besar-besaran. Kalau memang JHT hanya bisa diambil di usia tersebut, kenapa dulu diperbolehkan mengambil manfaatnya sebulan pasca tidak bekerja? Seharusnya ketentuan tersebut sudah diberlakukan sejak awal. Jadi, tidak berubah di saat rakyat membutuhkan. Ini justru membuat rakyat kecewa.
Kalau kita ingat, tidak kali ini saja kebijakan pemerintah terkait ketenagakerjaan merugikan pekerja. Misalnya, UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya yang terlihat zalim terhadap pekerja. Semua lebih berpihak kepada korporasi. Belum lagi denda yang harus dibayar pekerja ketika terlambat membayar iuran setiap bulan. Bahkan ketika mengambil manfaat dari jaminan tersebut masih harus dibebani dengan pajak. Sungguh ini perbuatan zalim yang terencana dan harus dihentikan.
Bagaimana cara menghentikan kezaliman ini? Karena kezaliman ini telah direncanakan oleh sistem salah, maka hanya dapat dihentikan dengan sistem benar. Dikatakan sistem salah karena peraturannya dibuat berdasarkan pemikiran manusia. Sedangkan manusia memiliki banyak keterbatasan yang tidak mungkin membuat peraturan yang dapat mencakup kemaslahatan umat, apalagi alam semesta. Pasti aturan yang dibuat manusia pada akhirnya hanya mengutamakan kepentingan pribadi/kelompok, menuruti hawa nafsu yang berakibat merugikan pihak lain.
Hal ini tentu berbeda dengan sistem shohih (benar) yaitu peraturan yang bersumber dari Allah pencipta manusia, alam semesta dan menguasai kehidupan. Sistem ini telah lengkap dalam agama Islam. Agama yang menyempurnakan ajaran-ajaran sebelumnya. Itu sebabnya Islam mampu memberi solusi terhadap setiap permasalahan umat. Termasuk masalah jaminan ketenagakerjaan.
Di dalam sistem Islam, pemerintah berfungsi sebagai pelayan umat. Maka, pemerintah harus memberikan tunjangan atas kebutuhan dasar rakyatnya. Tidak harus berupa tunjangan jaminan hari tua dan sebagainya, karena semua telah ditanggung negara. Sistem Islam membedakan pembahasan upah dan jaminan atas pemenuhan kebutuhan dasar hidup.
Upah dibahas pada akad antara perusahaan/majikan dengan pegawai/pekerja. Negara tidak berwenang turut campur menetapkan besar upah. Namun, negara bisa memilihkan ahli untuk menentukan besaran upah jika ada pertikaian antara kedua belah pihak. Besarnya upah ditentukan oleh jasa tenaga pekerja yang diberikan pada perusahaan/majikan. Sehingga dapat menghindari potensi eksploitasi buruh.
Berbeda dengan upah, tunjangan pemenuhan kebutuhan dasar hidup rakyat menjadi tanggung jawab negara, bukan perusahaan/majikan. Negara dalam hal ini pemerintah wajib menjamin kebutuhan dasar rakyatnya terpenuhi. Jadi, kebutuhan papan/tempat tinggal, pangan, sandang, pendidikan kesehatan bahkan keamanan menjadi tanggungan negara.
Sebagai contoh, penerapan sistem ini bisa dilihat pada masa Khalifah Umar bin Khathab. Saat itu, Khalifah Umar memberi tunjangan rata-rata 50 dinar atau setara 200 juta per tahun pada yang membutuhkan. ini dilakukan untuk menstimulus perekonomian karena dari segi kebutuhan dasar rakyat telah terpenuhi. Setelah pemberian tunjangan, terbukti daya beli masyarakat meningkat hingga perputaran ekonomi semakin cepat. Pada akhirnya juga berdampak pada kemajuan ekonomi negara.
Kebijakan seperti ini tentu hanya bisa dilakukan negara yang menjalankan sistem Islam, dengan pemerintahan Khilafah yang dipimpin seorang Kholifah. Sistem pemerintahan yang berdasarkan pada syariat Islam. Administrasi Baitul Mal yang kuat sebagai kas negara, tahan dari defisit anggaran sehingga mampu memberikan stimulus.
Maka dari itu, hanya menerapkan sistem Islam secara menyeluruh umat bisa berharap jaminan hidup sejahtera di masa muda maupun tua. Semua itu dapat terwujud jika umat bersatu memperjuangkan tegaknya kembali Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Allahu a’lam bishowab.[]