Rakyat yang seharusnya mendapat kesejahteraan dan kenyamanan, dalam sistem kapitalisme sekuler malah menjadi sapi perahan. Pejabatnya saja yang sejahtera dan memperkaya diri, sementara rakyat terus menderita. Maka, berharap negeri ini bebas dari pemalakan atau terlepas dari kebijakan zalim hanya utopis belaka, selama sistem yang diterapkan tetap sama, meski pemimpinnya berbeda. Karena tujuan pelayanan kesehatan sekarang ini adalah mengejar profit dunia yang meminggirkan faktor “kemanusiaan.”
Oleh. Uqie Nai
(Member AMK4)
NarasiPost.Com-Di tengah keterpurukan negeri akibat pandemi, muncul wacana dan aturan tak punya hati dari Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Kesehatan Nasional. Instruksi yang dikeluarkan pada 6 Januari 2022 ini berisi tentang permintaan presiden kepada Kepala Kepolisian Negara RI agar menyempurnakan regulasi untuk pemohon SIM, STNK, dan SKCK menyertakan syarat kartu BPJS Kesehatan.
Tidak hanya itu, Inpres Nomor 1/2022 dikabarkan pula berlaku untuk penyelenggaraan haji dan umrah. Presiden meminta Menteri Agama agar kartu BPJS Kesehatan dijadikan syarat bagi calon jemaah haji dan umrah, berikut pelaku usaha dan pekerja pada penyelenggara perjalanan ibadah umrah dan penyelenggara ibadah haji khusus menjadi peserta aktif dalam program JKN. (cnnindonesia.com, Senin, 21/2/2022)
Keputusan tersebut tentu saja membuat masyarakat gusar. Selain karena merepotkan, Umar seorang mahasiswa Bandung menyebut langkah ini bisa menghambat pengurusan SIM, SKCK dan lain lain yang dibutuhkan segera. Sementara warga lainnya, Ical (23) menuturkan kebijakan menjadikan kartu BPJS Kesehatan untuk mengurus SIM, STNK, dan SKCK tidak berkorelasi dan kurang tepat. Ia menduga aturan ini adalah bisnis para petinggi agar banyak masyarakat menjadi peserta BPJS. (cnnindonesia.com, Sabtu, 19/2/2022)
Kapitalisme, Akar Kebijakan Batil dan Zalim
Keputusan pemerintah dengan Inpresnya merupakan bentuk pemaksaan kepada rakyat. Rakyat yang sudah lama tak mendapatkan kesejahteraan serta pelayanan dari pemerintah, kini akan bertambah lagi bebannya. Sebab, menjadi peserta BPJS tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Banyak prosedur yang harus dilalui masyarakat hingga menambah persoalan yang sebelumnya telah ada. BPJS yang digadang-gadang di awal kemunculannya akan memberikan pelayanan kesehatan murah, cepat, dan optimal, nyatanya hanya pengelola iuran rakyat dengan iming-iming jaminan kesehatan yang disebabkan sakit atau kecelakaan. Bahkan badan ini menjadikan hibah dan sedekah sebagai dalih pelegalan atas iuran warga yang dibayarkan, tetapi tidak pernah sakit.
Selain prosedur yang ribet, iuran yang kerap naik, pelayanan tak maksimal, dananya dikorupsi, pengelolaannya pun sarat dengan maisir (judi), riba, dan ghulul (penggelapan harta). Bahkan, BPJS tak ubahnya lembaga pemalak dalam bentuk asuransi sosial. Masyarakat baru bisa menikmati pelayanan BPJS kesehatan jika telah memenuhi syarat yang berlaku, seperti rutin membayar iuran kepesertaan; mendatangi FASKES 1 (puskesmas, klinik, atau dokter); membawa surat rujukan; membawa dokumen yang dibutuhkan seperti kartu BPJS, fotokopi kartu keluarga, KTP, dan atau surat rujukan dari FASKES 1. Prosedur ini tak sepenuhnya berjalan lancar, mengingat pasien BPJS kerap mendapat pelayanan tak menyenangkan. Antrean panjang, obat tak memadai, kamar perawatan terbatas, dan minimnya fasilitas ruang perawatan.
Kondisi ini akan terus dijumpai dan dirasakan masyarakat bila pengurusan hajat publik diserahkan pada lembaga swasta. Negara yang harusnya bertanggung jawab melayani hak dasar rakyat semisal kesehatan, justru menjadi pelayan kapital dengan program BPJS-nya atau program serupa yang datang dari pemilik kepentingan (swasta/asing).
Akar masalah bahwa negara telah berlepas tangan dari tanggung jawabnya adalah kapitalisme sekuler. Sebuah ideologi yang berasal dari Barat yang mengedepankan kepentingan kelompok, korporat, atau oligarki dengan beragam kebijakan yang sarat keuntungan. Rakyat dijadikan seolah kuda tunggangan bagi kaum kapitalis demi meraup materi. Sebut saja misalnya politisasi kesehatan seperti vaksinasi, kartu kesehatan, kartu ketenagakerjaan, atau program Jaminan Hari Tua (JHT).
Sistem kapitalisme telah menjadikan kesehatan dikomersialisasi dan diliberalisasi, sehingga pelayanan kesehatan bukan lagi sebagai sebuah gerakan kolektif untuk menyehatkan bangsa. Padahal pengembangan sistem kesehatan nasional berfungsi untuk menguatkan sumber daya manusia (SDM), yang tentunya berpengaruh terhadap laju perkembangan ekonomi suatu negara.
Rakyat yang seharusnya mendapat kesejahteraan dan kenyamanan, dalam sistem kapitalisme sekuler malah menjadi sapi perahan. Pejabatnya saja yang sejahtera dan memperkaya diri, sementara rakyat terus menderita. Maka, berharap negeri ini bebas dari pemalakan atau terlepas dari kebijakan zalim hanya utopis belaka, selama sistem yang diterapkan tetap sama, meski pemimpinnya berbeda. Karena tujuan pelayanan kesehatan sekarang ini adalah mengejar profit dunia yang meminggirkan faktor “kemanusiaan.”
Islam Kaffah Solusi Kesejahteraan
Dalam pandangan Islam, kesehatan adalah hak primer yang harus dipenuhi negara terhadap rakyat, di samping kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Negara yang menerapkan aturan Islam tak akan memberi celah bagi swasta untuk memperkaya diri dengan jalan curang dan zalim. Terlebih jika merampas hak umum, negara tidak akan segan menindak tegas pelakunya, karena negara adalah institusi yang berwenang mengurus rakyat serta melindungi mereka.
"Seorang imam itu adalah pengurus/pelayan. Ia bertanggung jawab atas apa yang menjadi tanggungannya (rakyat)." (HR Bukhari)
Dalam sistem pemerintahan Islam, hak masyarakat untuk mendapat pelayanan dan pengobatan akan dipenuhi negara dengan sebaik-baiknya. Ada berbagai pos keuangan negara yang bisa dialokasikan untuk memenuhi kesehatan masyarakat seperti pos zakat, fa'i, ghanimah, kharaj, dharibah, usyr, dan pengelolaan hasil alam (SDA) milik umum yang masuk dalam ri'ayah negara.
Begitu pula penipuan berkedok jaminan kesehatan, tak akan ditemukan dalam sistem Islam karena hak rakyat dijamin penuh oleh negara dari praktik kezaliman, termasuk hibah dan sedekah. Kedua amaliyah sunnah ini memiliki mekanisme tersendiri yang telah ditetapkan syara' bagi kaum muslim, negara tidak akan membiarkan keduanya dijadikan alat pemalakan serta penipuan seperti praktik jaminan kesehatan dalam sistem kapitalisme saat ini.
Dalam hadis Ubadah bin Shamit ra., bahwa Nabi saw. bersabda: “…sesungguhnya ghulul (penggelapan harta)) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya." (HR Ibnu Majah no. 2850, disahihkan oleh Syaikh al Albani)
Perhatian pemimpin dalam tanggung jawab dan kewajibannya, telah dicontohkan Rasulullah saw. saat beliau mendapat hadiah dokter pribadi dari Raja Muqauqis (Mesir), akan tetapi Rasulullah saw justru memberikan dokter tersebut untuk melayani kesehatan umat. Rasulullah saw adalah teladan terbaik serta negarawan sejati dalam ri'ayah su'unil ummah yang menjadi rujukan para khalifah setelahnya.
Negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah, menjadikan kemaslahatan publik yang dikelola negara semata untuk tujuan pelayanan, bukan mengejar untung (profit). Negara (Khilafah) model ini tampil sebagai perisai dan pengurus umat. Sehingga tak mengherankan jika di masa keemasan Islam, lahir para dokter muslim seperti Ibnu Sina (Avicenna) dan Ar-Razi, diiringi berdirinya rumah-rumah sakit megah dan modern dengan pelayanan secara gratis untuk masyarakat umum. Rumah Sakit Nuri, misalnya.
Rumah Sakit Nuri dibangun pada abad ke-12 di Damaskus, merupakan rumah sakit terbesar setelah Baghdadi. Di sini pasien mendapatkan instruksi medis, ahli obat, tukang cukur, ahli ortopedi, serta ahli mata dan dokter. Rumah sakit ini juga dilengkapi bangsal khusus untuk merawat orang sakit jiwa. Berdirinya rumah sakit dengan pelayanan kesehatan maksimal ini merupakan salah satu kemajuan peradaban Islam di era kekhilafahan. Representasi amanah dan tanggung jawab pemimpin taat syariat.
Wallahu a'lam bi ash Shawwab.[]