"Inilah anomali demokrasi yang lahir dari ideologi Kapitalis. Pencitraan demi pencitraan akan membuka tabir kebobrokannya. Sistem ini mengaburkan dan mendistorsi makna keadilan hakiki. Makna keadilan sosial hari ini justru mencederai realitas rakyat sesungguhnya yang menjerit mencari keadilan."
Oleh. Ahsani Annajma
(Penulis dan Pemerhati Sosial)
NarasiPost.Com-Heboh beredar foto konvoi puluhan mobil mewah di ruas jalan tol Andara (Jakarta Selatan), menjadi sorotan publik. Rombongan tersebut sempat melakukan foto-foto di tengah perjalanan, sehingga menyebabkan kemacetan di sepanjang jalan (23/1). Peristiwa itu mencuat usai aparat berwenang hanya menegur dan tidak menilang rombongan mobil mewah itu.
Lagi-lagi alasan klasik terdengar, karena rombongan tersebut bersikap kooperatif dan tidak membantah. Padahal, menurut Kasat PJR Polda Metro Jaya Kompol, Sutikno, tindakan rombongan terebut dapat mengganggu pengguna jalan lain.
Melihat tindakan rombongan mobil mewah yang bersikap seenaknya dengan berhenti sejenak saat berkendara dan sempat mendokumentasikan perjalanannya, sejatinya telah melanggar ketentuan perundang-undangan yang ada. Merujuk pada ketentuan yang tertuang dalam Pasal 41 ayat 1 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 disebutkan bahwa, pengendara roda empat dilarang berhenti selama berkendara. Ironi, ketika pelanggaran terjadi di pihak borjuis, seakan aturan berubah menjadi bisu.
Hukum Tebang Pilih
Negeriku yang terpandang dan terhormat, di balik rupanya 1001 aturan ditetapkan demi tercapainya sila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” yang terpatri bukanlah keadilan yang merata, melainkan seolah tangisan dan jiwa yang menjerit mencari dinamika keadilan. Haruskah kami menyaksikan, yang berada di atas terus tertawa dan yang berada di bawah terus terisak?
“Tumpul ke atas runcing ke bawah”, mungkin istilah ini sudah lumrah, bahkan sudah menjadi rahasia umum bahwa hukum di negara tercinta ini memang timpang sebelah.
Sebenarnya, istilah ini menggambarkan antagonisme kenyataan bahwa keadilan di negeri ini lebih tajam menghukum rakyat kelas bawah daripada pejabat atau petinggi negara. Makna tumpul ke atas yang dimaksud, karena yang di atas menikmati kenyamanan penegakan hukum bukan berdasarkan keadilan, melainkan berdasarkan kekuatan cuan dan lobi. Sedangkan makna tajam ke bawah, karena memberikan hukuman kepada rakyat jelata yang tidak sebanding dengan apa yang dilakukannya.
Coba bandingkan dengan para tikus berdasi yang notebenenya adalah para pejabat kelas atas, kemudian terjerat dengan kasus korupsi dan suap masih bebas berkeliaran dengan santainya menikmati uang rakyat yang acapkali terjadi abuse of power untuk hal pribadi dan kelompoknya. Sebaliknya, rakyat kecil yang terpaksa mencuri tak seberapa karena lapar, dapat dijerat hukuman beberapa bulan, yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Nahas, malah berlangsung di meja hijau yang dipersulit, bahkan dengan hukuman yang jomplang dibandingkan para tikus berdasi yang mensabotase uang rakyat. Serta-merta wajah semringah rakyat menghilang berganti pucat pasi. Mungkin lupa, bahwa sebagian besar pemilih pemimpin di negeri ini adalah wajah rakyat kebanyakan wong cilik, wong ndeso, dan wong prihatin.
Inilah pengadilan di dunia, peradilan yang semu bahkan palsu. Di sisi lain, para penegak hukumnya kebanyakan bermental bobrok. Mereka tidak memiliki rasa takut kepada Allah Swt., sehingga mudah tergoda rayuan cuan. Mereka seolah lupa, meski mereka lihai mempermainkan hukum di dunia, juga meski mereka sering lepas dari pengadilan manusia, sejatinya mereka tidak akan pernah bisa berlepas diri dari hukuman Allah Swt. di Pengadilan Akhirat. Nau’dzubillah min dzalik.
Inilah anomali demokrasi yang lahir dari ideologi Kapitalis. Tak ayal, pencitraan demi pencitraan akan membuka tabir kebobrokannya sendiri. Sistem ini pun mengaburkan dan mendistorsi makna keadilan sesungguhnya. Makna keadilan sosial hari ini justru mencederai realitas rakyat sesungguhnya, yang menjerit mencari keadilan itu berpihak.
Islam Memberikan Keadilan Hukum
Secara fitrahnya, manusia menyukai keadilan dan membenci kezaliman. Dan secara fitrah pula, seseorang akan berpihak pada penegak keadilan dan berempati terhadap korban kezaliman. Dalam kasus ketimpangan hukum yang terjadi hari ini, sebenarnya melekat jelas bagaimana paradigma sistem demokrasi memaknai keadilan itu sendiri. Berbeda dengan Islam, secara realitas mampu memberikan keadilan hukum bagi siapa saja, tanpa pandang bulu. Baik untuk muslim ataupun nonmuslim sekalipun.
Seorang hakim dalam sistem Islam bernama qadhi. Seorang qadhi, akan memutuskan perkara dengan syariat Islam yang berpadu atas dasar keimanan. Sehingga, seorang qadhi tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, karena rasa takutnya akan azab Allah di akhirat. Maka pastilah, seorang qadhi akan memutuskan perkara secara adil. Dalam peradilan Islam, seorang muslim dan nonmuslim mendapat kedudukan yang sama di mata hukum. Penyimpangan dan penyelewengan akan mendapatkan hukum yang setimpal, sekalipun yang melakukannya seorang pejabat. Tidak ada pintu toleransi apalagi pihak pejabat yang melakukan intervensi masalah hukum.
Keadilan Islam yang mengagumkan, tercatat dalam sejarah peradaban Islam sebagaimana dikisahkan oleh Imam ath-Thabari dalam Tarikh al-Umam wa al-Muluk, saat peristiwa penaklukan Kota Samarqand, di negeri Khurasan, Asia Tengah, Syahdan. Setelah kota ditaklukkan pasukan kaum Muslim, penduduk Samarqand yang nonmuslim mengadu kepada qadhi bahwa pasukan Islam telah menyalahi hukum Islam. Sebab, menurut pengetahuan mereka, Islam mengajarkan bahwa penaklukan harus diawali dengan dakwah kepada penduduk untuk masuk Islam. Kemudian jika mereka tak mau masuk Islam, baru diminta untuk membayar jizyah (pajak yang dipungut dari orang kafir). Adapun, jika mereka tetap tidak mau tunduk dan membayar jizyah, barulah pasukan Islam dapat memerangi mereka.
Qadhi pun memutuskan bahwa penaklukan Samarqand tidak sah. Qadhi memerintahkan pasukan Islam keluar dari Kota Samarqand dan mengulangi proses penaklukan dengan menyampaikan dakwah dan tawaran jizyah terlebih dahulu. Demi mendengar vonis hakim yang adil ini, penduduk Samarqand berkata, “Kalau begitu, silakan pasukan Islam tetap di dalam kota dan kami masuk Islam.” (Hamad Fahmi Thabib, Hatmiyah Inhidam ar-Ra’sumaliyah Al-Gharbiyah, hlm. 226).
Sejarah ini menunjukkan keadilan Islam yang luar biasa. Qadhi tetap berpegang teguh dengan aturan penaklukan berdasarkan hukum Islam, walaupun yang mengadukan perkara tersebut nonmuslim dan tidak lantas memenangkan pasukan Islam yang sudah telanjur menaklukkan Kota Samarqand. Islam memberikan serangkaian panduan dan petunjuk untuk mewujudkan keadilan itu di tengah-tengah manusia.
Islam menafsirkan makna adil adalah menempatkan sesuatu pada tempat yang seharusnya. Dan hal itu bergantung pada standar untuk menilai adil dan keadilan itu sendiri. Allah sebagai Zat Yang Mahaadil, sekaligus yang mengetahui keadilan hakiki. Oleh karena itu, standar keadilan hakiki bersumber dari Allah, yang terdapat di dalam syariat Islam. Saat hukum syarak tidak dijadikan rujukan, maka terjadilah kezaliman dan bukan keadilan yang didapatkan. Sebagaimana firman Allah di dalam surat al-Maidah [5]:45, “Siapa saja yang tidak memutuskan perkara menurut wahyu yang telah Allah Swt turunkan, mereka itulah kaum yang zalim.”
Inilah keadilan hakiki yang benar-benar diwujudkan oleh Khilafah tatkala menerapkan syariat Islam secara kaffah. Keadilan dirasakan oleh semua manusia, tak hanya oleh umat Islam, namun juga oleh nonmuslim. Karena itu, siapa pun yang merindukan terwujudnya keadilan, hendaknya saling bahu-membahu memperjuangkan penerapan syariat Islam secara kaffah. Allahu musta’an.[]