"Barangsiapa menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh ibadahnya (agamanya). Dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah SWT dalam memelihara yang sebagian lagi." (HR. Thabrani dan Hakim)
Oleh.Hana Annisa Afriliani, S.S
NarasiPost.Com-Baru-baru ini sebuah Wedding Organizer (WO) heboh di jagad media sosial lantaran menampilkan promosi yang tak biasa. Yakni mengajak para pemuda/pemudi untuk bersegera menikah agar terhindar dari perbuatan maksiat. Yang menjadi kontroversi adalah dalam promo tersebut dicantumkan rentang usia ideal bagi kaum wanita untuk menikah, yakni 12-20 tahun, tak boleh lebih.
Lantas saja hal tersebut menjadi heboh dan menuai berbagai tanggapan. Di antaranya berupa tanggapan negatif bahwa hal tersebut merupakan bentuk ketidakwajaran karena merenggut hak anak, bahkan ada yang menyebut bahwa pernikahan dengan anak di bawah umur tersebut tergolong pedofilia.
Ya, dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2019 yang merupakan revisi atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku sejak 15 Oktober 2019 dinyatakan bahwa batas minimal usia pernikahan adalah 19 tahun.
Promosi Aisha Weddings tersebut akhirnya berbuntut pada pemanggilan polisi terhadap sang owner WO. Ia terancam UU ITE dan UU perlindungan anak. Kini website dan akun media sosial Aisha Weddings tak dapat diakses lagi alias telah dinonaktifkan.
Berbagai pihak pun memberikan tanggapan atas mencuatnya kasus ini. Di antaranya Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Lenny Rosalin mengungkapkan, kasus ini menjadi peringatan bagi semua pihak untuk lebih intensif melakukan sosialisasi dan advokasi, serta menegaskan bahwa perkawinan anak tidak boleh terjadi. (Jawapos.com/16-02-2021)
Pemerintah menyatakan bahwa tingginya angka pernikahan anak di Indonesia akan membahayakan anak, keluarga, serta negara. Pemerintah menganggap bahwa pernikahan anak dapat mengakibatkan semakin tingginya angka putus sekolah, stunting, kematian bayi maupun ibu, serta meningkatnya kasus KDRT.
Dalam pandangan Islam, pernikahan adalah sesuatu yang suci dan mulia. Dalam khazanah fiqih Islam, tidak disebutkan batasan usia seseorang untuk menikah. Melainkan Islam hanya menganjurkan untuk menikah bagi mereka yang telah mencapai usia baligh dan memiliki kemampuan untuk menanggung beban.
Rasulullah Saw bersabda:
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lainnya).
Demikianlah Islam menjadikan pernikahan sebagai jalan untuk menyalurkan gharizah nau' (naluri berkasih sayang) secara halal dan diberkahi. Meski begitu ada syarat yang harus dipenuhi sebelum melangkah ke jenjang pernikahan, sebab sejatinya pernikahan bukanlah ajang coba-coba melainkan komitmen serius di hadapan Allah.
Oleh karena itu, menikah tak sekadar untuk menghalalkan urusan ranjang, tetapi juga membangun sebuah peradaban. Maka, menikah butuh kesiapan dari beberapa aspek, diantaranya finansial, mental, serta fisik. Karena kelak, setelah menikah ada amanah yang harus dipikul oleh suami maupun istri. Lebih-lebih setelah dikaruniai keturunan.
Adapun kesiapan seseorang untuk menikah tidak dipatok lewat usianya. Bisa saja usianya masih sangat belia tapi ia sudah memiliki kesiapan matang untuk membangun rumah tangga. Sebaliknya, ada yang mungkin secara usia terlihat ideal, namun sesungguhnya ia belum memiliki kesiapan untuk menikah. Ya, artinya usia bukanlah indikator utama untuk mengukur kesiapan seseorang untuk menikah.
Butuh Edukasi, Bukan Hanya Promosi
Wajar jika yang dilakukan oleh Aisha Wedding menuai polemik, sebab promosi yang digencarkan tak disertai dengan edukasi soal pernikahan itu sendiri. Jelas, hal tersebut akan membahayakan. Penikahan dianggap hanya sebagai pelegalan atas hubungan seks, padahal pernikahan memiliki esensi yang sangat kompleks. Tak mudah membangun pernikahan. Tanpa ilmu yang cukup, maka pernikahan akan berakhir dengan perceraian.
Oleh karena itu, pemerintah juga semestinya memberikan edukasi kepada masyarakat terkait dengan pernikahan. Karena faktanya banyak anak-anak berusia baligh bahkan yang sudah dewasa tidak memiliki bekal sama sekali soal ilmu berumah tangga. Sebab memang tak ada sekolah khusus soal itu.
Anak-anak dalam sistem sekuler liberal hari ini justru tumbuh dalam dekapan hedonisme. Jauh dari kematangan mental, intelektual, apalagi spiritual. Jangankan untuk menikah, menghadapi masa depannya sendiri saja masih galau. Beginilah output generasi yang lahir dari didikan sistem pendidikan sekuler. Gagal mencetak generasi berkepribadian Islam yang berpola pikir Islam dan berperilaku islami. Sebaliknya, mereka menjadi generasi yang hanya tahu soal kesenangan dunia.
Oleh karena itu, sesungguhnya negara memiliki peran strategis dalam menyiapkan generasi yang bertakwa, visioner, mandiri, dan berkepribadian Islam. Namun sayang, berharap hal tersebut dalam naungan sistem hari ini adalah sebuah ilusi. Sebab justru sistem hari ini menghadirkan aneka problematika yang menjadi penyumbang kerusakan generasi. Hal tersebut tak terlepas dari adanya resapan pemikiran kufur yang mengisi benak-benak kaum muda.
Wajar jika pergaulan kaum muda masa kini dihiasi dengan berbagai kebobrokan yang nyata. Seks bebas ala Barat seolah menjadi hal yang lumrah. Dan mirisnya, fenomena seks di luar pernikahan justru tidak lebih disoroti oleh pemerintah ketimbang soal pernikahan anak. Sungguh ironis!
Negara dalam Islam, akan mendorong para pemuda yang sudah siap menikah untuk segera menikah. Bahkan negara akan memberikan fasilitas atau kemudahan bagi pasangan yang sudah siap untuk menikah. Karena menikah akan membawa pada kemuliaan dan mendatangkan kebaikan, serta menghindarkan dari perbuatan zina yang diharamkan.
Rasulullah Saw bersabda:
"Barangsiapa menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh ibadahnya (agamanya). Dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah SWT dalam memelihara yang sebagian lagi." (HR. Thabrani dan Hakim).[]
Photo : Pinterest