"Imperialisme budaya sangat halus hingga tanpa sadar akan memengaruhi kehidupan masyarakatnya. Tidak hanya cara berperilaku tapi juga cara berpikir dan memandang kehidupan ini."
Oleh. Novianti
NarasiPsot.Com-K-Wave sudah merambah keluar dari wilayah otoritasnya, menyebar luas ke seluruh dunia. Banyak yang menganggap bahwa terjadi globalisasi budaya Korsel yang mengekspor budaya pop. Bentuknya berupa tayangan hiburan, baik musik, film maupun drama. Kemudian ini berkembang ke kuliner serta fashion. Hampir seluruh negara di dunia menjadi demam Korea.
Selama ini masyarakat hanya mengenal AS sebagai jawara industri hiburan melalui film dan musiknya. Amerika punya Hollywood dan sekarang tergeser oleh Asia yang diwakili Korsel. Di tengah pandemi pun, industri kreatif Korsel terbukti tangguh. Festival K-Pop tetap diminati netizen serta menuai keuntungan. Contohnya ketika BTS (Bangtan Boys), salah satu boy band Korea mengadakan konser daring pada Juni tahun 2020 selama dua hari ternyata mampu meraup keuntungan lebih dari 50 milyar won setara Rp641 miliar lebih. Demikian juga Black Pink meraup keuntungan 10 miliar won atau setara dengan Rp125juta miliar dalam konser virtual perdananya.
Tapi jika dicermati K-Wave ini tidak mencerminkan identitas asli Korea. Branding yang dominan dari tampilan K-Pop dan drakor mencerminkan citra Barat.
Dalam sebuah penelitian oleh William Tuk diungkap bahwa musik Korea semakin kehilangan identitasnya karena lebih meniru musik pop Amerika. K-Wave memang menampilkan wajah Asia, namun kental dengan style Hollywood. Karenanya, orang-orang Korea menyadari bahwa musik mereka tidak orisinal. Sebagai contoh girl band yang muncul tahun 2007, Girls's Generation mengakui dalam music videonya berjudul I Got A Boy di tahun 2013, menggunakan konsep Hip-Hop. Hip-Hop adalah salah satu kultur Amerika di daerah Bronx tahun 1970-an.
Metamorfosis budaya Korea ini disebabkan oleh imperialisme budaya AS yang powerful, sehingga mampu menggantikan identitas lokal. Hal ini nampak jelas dalam tampilan para artisnya dengan standar Amerika. Perempuan cantik yang ideal adalah berkulit putih, badan langsing, kaki jenjang, pinggang ramping, rambut indah, dan payudara sempurna. Ini adalah kontruksi dari Barbie, ikon perempuan cantik ala Barat.
Hubungan bebas laki-laki dan perempuan pun kerap dipertontonkan. Padahal dalam budaya aslinya, perempuan Korea sejak usia 7 tahun dilarang duduk dengan seorang pria dalam satu ruangan. Hal ini menunjukkan budaya Korea sudah luntur dan digantikan dengan budaya Barat.
Imperialisme budaya barat adalah bentuk penjajahan yang hampir tidak disadari oleh negara jajahannya. Padahal menimbulkan efek besar. Media massa merupakan alat propagandanya untuk menyiarkan program peradaban Barat tersebut.
Budaya K-Wave terbentuk akibat, keterbukaan Korsel menerima masuknya westernisasi dari AS. Ini juga tidak lepas dari ketergantungan secara militer sejak awal negara ini berdiri. Tahun 1980 Korsel memiliki stasiun televisi yang bernama AFKN (America Forces Korea Network), stasiun TV buatan AS untuk
menunjukkan budaya Barat melalui musik dan filmnya. Selama tahun tersebut Korsel hanya mendengarkan musik dan film dari AS.
Akan tetapi, semua berubah pada tahun 1990 dimana Korsel
memutuskan memulai industri hiburan mereka sendiri. Dimulai dengan drama Korea (K-Drama) disusul K-Pop yang
berhasil mengambil hati semua golongan masyarakat, baik yang tua maupun yang muda. Tak heran, industri hiburan Korsel hanya kreativitas mengolah budaya Barat yang dikemas balutan asia.
Keberhasilan imperialisme budaya ini dikarenakan sejak awal berdirinya, Korsel adalah negara bentukan kesepakatan antara AS dan Tiongkok dengan sekutunya Uni Soviet. Korsel menjadi negara demokratis liberal sedangkan Korut menjadi negara komunis. Korsel merdeka tahun 1945 tapi secara de facto tetap dalam jajahan AS. Dua pendekatan yang digunakan AS untuk tetap mencengkeram Korsel. Pertama, cara hard power yaitu kerjasama militer dengan dalih berjaga dari kemungkinan serangan Korut. Korsel harus membayar biaya keamanan militernya setiap tahun. Kedua, dengan soft power yaitu infiltrasi budaya melalui media.
Keberhasilan AS 'menjajah' Korsel dikarenakan negara ini dibentuk tidak ditopang oleh ideologi yang kuat. Pengalaman penjajahan oleh Jepang dan Tiongkok, membuat Korsel tidak memiliki kekhasan budaya sehingga tatkala budaya Barat menyerbu, lambat laun budaya lama yang tidak dibangun oleh akar kuat terkikis bahkan bisa hilang sama sekali.
Fenomena K-Wave merupakan contoh studi kasus tentang keberhasilan semu sebuah negara. Kemajuan yang digadang-gadang ternyata menyimpan begitu banyak persoalan kemanusiaan dan sosial. Gelombang K-Wave yang melanda dunia, bukanlah globalisasi budaya Korsel melainkan tetap penyebaran budaya AS yang mengusung sekulerisme dan liberalisme ke berbagai negara. Ini seharusnya menjadi pelajaran bagi Indonesia, ebagai negara dengan mayoritas muslim dan berpenduduk muslim terbesar di dunia, harus lebih waspada terhadap invasi budaya yang tidak sesuai dengan Islam.
Imperialisme budaya sangat halus hingga tanpa sadar akan memengaruhi kehidupan masyarakatnya. Tidak hanya cara berperilaku tapi juga cara berpikir dan memandang kehidupan ini.
Penangkalan terhadap imperialisme budaya akan efektif jika sebuah negara memiliki cara pandang yang kokoh dan khas. Dari situ masyarakatnya akan terwarnai oleh cara pandang tersebut yang kemudian muncul gaya hidup yang khas pula. Indonesia seharusnya mampu menangkal bahkan menyaingi K-Wave. Caranya dengan menjadikan Islam sebagai pedoman dalam pengaturan individu dan negara. Islam tidak hanya aturan menyangkut ibadah ritual tetapi juga pengelolaan negara. Kesempurnaan Islam sudah Allah jaminkan sehingga semua masalah pasti akan terselesaikan oleh Islam.
Islam akan melahirkan budaya yang kuat. Kaya dengan beragam karya bermanfaat untuk umat, memicu kreativitas bagi peningkatan kualitas hidup rakyatnya tidak hanya di dunia tetapi juga untuk akhirat.[]
Photo : Google