Butuh Sistem yang Handal untuk Keluar dari Pandemi, Tak Cukup Andalkan Vaksin Covid-19

"Kekhawatiran akan goncangnya ekonomi dan beratnya risiko menanggung kebutuhan pokok rakyat sebagai konsekuensi dari pemberlakuan lockdown disinyalir menjadi alasan di balik keengganan mengambil langkah ini. Padahal solusi ini digagas oleh para pakar epidemiologi, bahkan pakar agama, khususnya Islam.

Oleh. Nurjamilah, S.Pd.I.
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasIPost.Com-Setahun lamanya Indonesia dirundung penderitaan selama pandemi Covid-19. Kehidupan berubah total, sejak virus mungil itu merangsek ke negeri ini. Rakyat dalam bayang-bayang ketakutan, kesehatan dipertaruhkan, baik tua-muda, kaya-miskin diteror makhluk ini tanpa ampun. Tak sedikit nyawa yang melayang, bahkan nakes sang garda terdepan banyak yang berguguran. Ekonomi makin sempoyongan, berada di jurang resesi terparah sepanjang abad. Generasi terancam learning loss, karena gagal disolusi oleh kurikulum sekuler. Masih banyak bidang kehidupan lain yang terdampak oleh pandemi berkepanjangan.

Indonesia terus mencari cara untuk keluar dari pandemi. Mulai dari sosialisasi 5M, 3T hingga mendatangkan vaksin dari luar negeri. Pemerintah telah mengonfirmasi pemesanan 329,5 juta dosis vaksin Covid-19 dari berbagai produsen luar negeri. Total biaya yang dianggarkan sebanyak 54,44 T dari APBN. Hal tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan No HK 01.07 /Menkes/9860/2020 tentang Penetapan Jenis Vaksin untuk Pelaksanaan Vaksinasi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19). Semua vaksin itu telah mendapat izin edar dari BPOM (moneykompas.com, 09/01/2021).

Dilansir dari media detik.com (22/02/2021) bahwa Indikator Politik Indonesia menemukan fakta dalam surveynya melalui telepon bahwa sebanyak 41% warga tidak bersedia divaksinasi Covid-19. Dengan banyak alasan diantaranya kekhawatiran akan efek samping vaksin, meragukan tingkat efikasi dan kehalalan vaksin, merasa tidak membutuhkan karena badan selalu sehat, serta tak mau masuk pada persekongkolan perusahaan.

Survey tersebut dilakukan setelah pemerintah melakukan berbagai sosialisasi vaksin, bahkan Presiden Jokowi menjadi orang pertama yang divaksinasi Covid-19. Ini mengindikasikan terjadinya penurunan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Butuh Kebijakan yang Handal, Tak Cukup Andalkan Vaksin Semata

Tahun 2021 Indonesia mengalami masa kritis pada situasi pandemi. Menurut data sebaran Covid-19 yang dikutip dari laman resmi Gugus Tugas Covid-19, data per 26 Januari 2021, tercatat angka positif Covid-19 mencapai 1.012.350 kasus, pasien sembuh mencapai 820.356 dan pasien meninggal 28.468 kasus. Di tengah kian meroketnya kasus positif virus Corona dan kematian pasien Covid-19 tersebut, ada narasi keliru yang bergulir bahwa pemberian vaksin otomatis akan mengakhiri pandemi. Sehingga baik pemerintah maupun masyarakat tampak bersikap agak santai dan mengendurkan faktor lain, yaitu 3T (testing, tracing, treatment) dan 5M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas).

Setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan penanganan pandemi Covid-19 oleh pemerintah, berikut ulasannya:

Pertama, pemerintah dinilai belum memberikan edukasi yang benar dan utuh terkait vaksin Covid-19. Sehingga muncul banyak asumsi dan praduga. Pakar biologi molekuler, Ahmad Rusdan Handoyo Utomo, menjelaskan bahwa vaksin bertujuan memasukkan antigen ke dalam tubuh manusia, antigen itulah yang akan membentuk antibodi. SARS-Cov-2 adalah nama virus dari Covid-19. Virus ini masuk ke tubuh manusia melalui udara, masuk melewati rongga pernafasan atas sampai bawah (paru-paru). Vaksin yang ada baru bisa melindungi rongga pernapasan bagian bawah karena disuntikkan di bahu. Artinya rongga pernafasan bagian atas, yaitu hidung hingga tenggorokan masih bisa terinfeksi virus. Akan tetapi, hal tersebut tak jadi masalah, karena gejala sedang dan berat yang dialami pasien Covid-19 bahkan yang berakhir pada kematian, tersebab virus telah masuk ke paru-paru.
Sehingga wajar, jika kita menemukan ada kasus seseorang yang telah divaksin malah positif Covid-19, tetapi tidak bergejala (OTG). Artinya betul masih dimungkinkan ditemukan virus di rongga pernapasan atas, tapi dia tidak merasakan sakit karena sudah memiliki antibodi di rongga nafas bagian dalam. Inilah fungsi vaksin. Memproteksi rongga nafas bagian bawah.
Akan tetapi ingat orang yang telah divaksin masih mungkin menularkan virus kepada orang lain. Karena vaksin tidak memproteksi rongga napas bagian atas. Sehingga 5M masih harus digalakkan.

Bagaimana dengan tingkat afeksi vaksin Sinovac yang hanya 65%? WHO telah memberikan standar tingkat afeksi vaksin minimal 50% aman disuntikkan kepada manusia. Jadi bila dihitung berdasarkan rumus risiko relatif, ditemukan angka 3. Berarti kemungkinan seseorang terinfeksi virus setelah divaksinasi Sinovac adalah tiga kali lipat lebih rendah.

Upayakan penyuntikan vaksin pada manusia dilakukan dengan vaksin yang sama pada dua dosis yang akan diberikan. Secara medis itu akan memudahkan evaluasi jika ingin mendeteksi efek samping vaksin. Karena masing-masing vaksin memiliki profil keamanan yang berbeda. Karena proses penyuntikan vaksin bertahap, maka penting bagi masyarakat untuk tetap disiplin menerapkan protokol kesehatan. Herd immunity hanya ilusi jika mengandalkan vaksin semata. Perlu strategi yang tepat dan optimal dalam menerapkan 3T, 5M dan vaksinasi. Wewenang ini ada di pundak negara (alinea.id, 27/02/2021).

Inilah edukasi yang seharusnya digencarkan di tengah masyarakat. Agar menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya vaksin.

Kedua, ubah pola komunikasi pemerintah. Pandemi diprediksi akan berlangsung dalam waktu lama. Itulah kenyataan sebenarnya yang harus dihadapi masyarakat, walau pahit namun harus siap menerima. Sikap terus terang itu sangat dibutuhkan, terlebih di masa pandemi seperti ini.
Sayangnya hal tersebut tidak dilakukan pemimpin negeri ini. Semenjak awal rakyat diiming-imingi kabar akan segera berakhirnya pandemi. Ketidakakuratan data orang yang terinfeksi. Lebih menonjolkan angka kesembuhan di balik angka kematian. Ajakan untuk bersyukur dan klaim pemerintah telah berhasil menangani pandemi. Semua itu menunjukkan upaya menutupi kenyataan.

Ahli biologi molekuler, Ines Atmosukarto, mengatakan ada kebutuhan mendesak agar pemerintah Indonesia mengubah pendekatan komunikasi berbasis risiko. Jangan berlebihan mengampanyekan berbagai bentuk optimisme karena justru membuat publik lengah menerapkan protokol kesehatan. Butuh strategi yang komprehensif dan konsisten dalam penanganan pandemi (cnnindonesia.com, 8/02/2021).

Oleh karena itu, sebelum terlambat, pemerintah harus berbenah diri, yakni harus mengubah gaya komunikasi dan mengembalikan kepercayaan publik. Selain itu, harus bersikap jujur, transparan, dan berbasis ilmu. Penanganan pandemi ini harus bertumpu pada kaidah-kaidah penanganan kesehatan, ilmu kesehatan, ilmu farmasi, dan ilmu epidemiologi. Tidak tumpang tindih dengan kepentingan politik dan ekonomi.

Ketiga, tidak menakuti masyarakat dengan sanksi. Mengingat urgennya program vaksinasi demi mengendalikan laju penyebaran virus corona. Pemerintah mewajibkan masyarakat untuk mau divaksin. Bahkan presiden telah menerbitkan Perpres Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam rangka penanggulangan pandemi Covid-19. Terdapat ancaman sanksi bagi warga yang menolak divaksin. Sanksinya berupa penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bansos, penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan, atau berupa denda (cnnindonesia.com, 14/02/2021).

Baiknya pemerintah lebih bersikap bijaksana. Pada prinsipnya vaksinasi itu bersifat voluntary (kerelaan), bukan pemaksaan. Sehingga jika pemberian sanksi itu dilakukan akan sangat kontraproduktif dan menuai reaksi negatif. Harusnya pemerintah mencari penyebab kenapa ada warga masyarakat yang menolak vaksin. Bisa jadi ada keraguan atau ketidakpercayaan pada vaksin atau kebijakan yang diambil. Jika demikian maka yang perlu dibangun adalah trust (kepercayaan) publik kepada pemerintah. Lakukan dengan strategi komunikasi risiko yang persuasif.

Keempat, kebijakan yang terkesan tidak memprioritaskan kesehatan, malah mengedepankan ekonomi. Sejak awal pandemi pemerintah tampak menghindari opsi lockdown (karantina wilayah) sebagai solusi. Kekhawatiran akan goncangnya ekonomi dan beratnya risiko menanggung kebutuhan pokok rakyat sebagai konsekuensi dari pemberlakuan lockdown disinyalir menjadi alasan di balik keengganan mengambil langkah ini. Padahal solusi ini digagas oleh para pakar epidemiologi, bahkan pakar agama, khususnya Islam.

Islam telah memberikan tuntunan praktis bagaimana cara suatu negara keluar dari pandemi. Sayangnya, pemerintah lebih mendengar bisikan-bisikan pihak tertentu, memilih PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang kemudian bertransformasi menjadi PPKM (Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Faktanya, cara ini tidak berjalan efektif. Malah menjadikan Indonesia masuk urutan ke-19 di dunia dan juara ASEAN dengan kasus positif Covid-19 terbanyak.(bisnis.com, 26/02/2021)

Di saat negara lain menghentikan secara total mobilisasi warga dari dalam dan luar negeri. Negeri ini justru membuka lebar bahkan mengobral paket destinasi wisata agar warga asing tertarik masuk ke Indonesia walau di masa pandemi. Apalagi kalau bukan untuk demi menyelamatkan sektor pariwisata, lagi-lagi ekonomi. Bahkan di saat kurva kasus positif Covid-19 belum melandai, pemerintah nekad menghentikan PSBB dan justru memberlakukan new normal. Melonggarkan berbagai aturan dan kembali beraktivitas seperti biasa, dengan protokoler kesehatan. Hal tersebut dipicu oleh protesnya para pelaku usaha utamanya pengusaha dan investor yang merasakan kerugian dari adanya PSBB.

Kelima, inkonsistensi dalam memberikan sanksi bagi para pelanggar protokol kesehatan. Masyarakat disuguhkan dengan fenomena ketidakadilan di depan mata. Hukum tegas diberlakukan untuk satu kelompok dan lembek jika dihadapkan pada kelompok lain. Misal, kerumunan. Kerumunan ini berbeda dengan kerumunan itu. Kerumunan ini berdampak pada dibuinya beberapa orang yang dinyatakan melakukan pelanggaran prokes. Sementara kerumunan itu dimaklumi dan bebas dari jeratan hukum dengan berbagai dalih.

Berbagai kebijakan tadi semakin nyata menunjukkan bahwa negeri ini sedang terasuki paham sekularisme-kapitalisme akut. Sekularisme berarti menafikan aturan agama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kapitalisme berarti menjadikan ekonomi dan kepentingan pengusaha sebagai prioritas. Maka berharap bisa keluar dari pandemi dengan kondisi ini, bagai menegakkan benang basah.

Islam Mempunyai Solusi Komprehensif Atasi Pandemi

Islam merupakan agama sekaligus ideologi. Dari akidahnya terpancar aturan-aturan kehidupan yang mampu menyolusikan berbagai permasalahan, termasuk pandemi. Pandemi bukan hal baru dalam dunia Islam, sejarah mengatakan bahwa Khilafah (institusi negara yang menerapkan Islam kaffah) pernah dihantam oleh berbagai macam pandemi (baca: tha’un) di masanya. Hebatnya, sedahsyat apapun pandeminya, sang Khalifah (sebutan bagi kepala negara Khilafah) selalu berhasil mengatasinya, sehingga pandemi tidak berkepanjangan.

Lantas bagaimana solusi praktis Islam dengan Khilafahnya dalam mengatasi pandemi? Berikut uraiannya:

Pertama, sejak awal terdeteksi masuknya virus, Khalifah dengan sigap menggencarkan 3T (testing, tracing, treatment) sebagai upaya untuk memisahkan antara orang sehat dengan orang sakit. Menggratiskan rapid/swab test, dilakukan serentak di berbagai wilayah. Bagi mereka yang terinfeksi, langsung dipisahkan, dirawat dan diobati hingga sembuh dengan biaya ditanggung sepenuhnya oleh negara.

Kedua, Khalifah akan mengisolasi wilayah wabah (sumber penyakit), menutup total keluar masuk manusia. Warga di dalam wilayah itu dilarang keluar, sebaliknya warga di luar wilayah itu dilarang masuk. Kemudian menghentikan semua aktivitas di dalamnya. Orang yang terinfeksi akan dibawa ke RS untuk mendapatkan pengobatan hingga sembuh. Orang yang tidak terinfeksi wajib menerapkan protokol kesehatan dan berdiam diri di rumah. Khalifah akan menanggung kebutuhan pokok rakyat di daerah wabah itu. Upaya itu untuk memutus rantai penularan virus penyakit.

Ketiga, Khalifah akan membiarkan aktivitas sosial ekonomi berjalan secara normal tanpa takut tertular pada masyarakat yang tinggal di luar wilayah wabah. Ketika negara sejak awal mampu mengidentifikasi mana wilayah wabah dan wilayah non-wabah, maka akan mudah untuk memberlakukan penanganan yang berbeda dan tepat sasaran.

Keempat, Khalifah akan menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan yang memadai secara gratis. Masyarakat akan terpenuhi haknya untuk tetap sehat tanpa harus menzalimi para nakes dan instansi kesehatan.

Kelima, Khalifah akan menopang secara penuh pendanaan untuk para ahli dalam melakukan riset untuk menemukan vaksin dengan tingkat efikasi tinggi. Sehingga negara tidak perlu mengimpor vaksin dari negara lain. Hal ini demi menghindari terperosoknya Khilafah dalam jeratan negara-negara kapitalis yang memonopoli vaksin.
Semua itu membutuhkan kerja keras serta dana yang sangat fantastis. Tentu saja tidak akan dibebankan pada rakyat atau berutang kepada negara lain. Namun, semua mekanisme ini akan ditopang dari sumber keuangan Khilafah (Baitul mal) yang nonribawi dan memiliki pos pemasukan yang banyak serta halal. Khilafah tidak akan pernah bergantung pada negara kapitalis asing maupun aseng.

Semua pihak akan bersinergi dalam upaya keluar dari pandemi. Keimanan akan menjadi dorongan terkuat bagi Khalifah dan perangkat negara agar amanah menjalankan berbagai kebijakan. Begitu juga masyarakat, akan menaati penguasa dan patuh terhadap protokol kesehatan, karena itu bagian dari titah Ilahi Rabbi. Taat pada Ulil Amri yang menaati Allah. Sungguh indah kehidupan macam ini. Maka wajar jika Allah menjanjikan keberkahan bagi orang-orang bertakwa, baik dari kalangan penguasa maupun rakyat biasa.
Wallahu ‘alam bi ash-shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Tsuwaibah Al-Aslamiyah Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Rajab dan Kezaliman Di Bulan Haram
Next
Perjuangan Berbuah Surga
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram