Politainment, Politik Pencitraan Capres-Cawapres

Politainmen politk pencitraan

Inilah realitas politik demokrasi, menampilkan sesuatu yang remeh temeh jauh dari substansi memilih pemimpin yang sebenarnya

Oleh. Amelia Al Izzah
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Tahun 2024 adalah tahun politik, tahun yang digadang-gadang menjadi pesta demokrasi untuk memilih calon presiden dan calon wakil presiden. Istilah “pesta” tentunya dalam fantasi kita akan memakan biaya yang tidak sedikit. Seperti berita yang dikutip dalam halaman bbc.com Indonesia, sejumlah pendukung dan tim sukses capres dan cawapres menggelontorkan dana hingga miliaran rupiah untuk beriklan di media sosial. Beberapa pengamat menilai konten-konten di media sosial digunakan untuk berkampanye terutama dalam membidik generasi Z (gen Z) yang saat ini memang menjadi mayoritas pemilih utama. 

Media sosial era ini memang menjadi pangsa pasar terbesar di kalangan anak muda untuk meraup suara dalam pemilihan umum. Para tim sukses (timses) dari masing-masing pasangan calon (paslon) berlomba-lomba untuk membentuk citra diri lewat konten media sosial. Terlebih lagi, masing-masing paslon merupakan pengguna aktif media sosial terutama sebagai platform komunikasi dengan masyarakat. 

Politainment dan Keuntungan Media

Politik Entertainment atau disingkat Politainment dalam pandangan komunikasi politik mengacu pada seni pertunjukan, yang menggabungkan antara politik dan hiburan. Selain untuk menghibur, Politainment juga digunakan untuk menginformasikan, membujuk khalayak atau masyarakat agar tertarik dengan citra yang mereka tampilkan. 

Fenomena menjadikan media sebagai panggung pertunjukan politisi bukan hal baru dalam dunia politik,  bahkan tak jarang media terjebak dalam gimik yang secara sengaja diciptakan oleh para kandidat sebagai wadah mencitrakan positif diri mereka. Semisal memberitakan  aktivitas senggang para politisi, hobi mereka, style pakaian yang mereka pakai, sepatu yang mereka gunakan, atau hal-hal ringan lainnya yang tidak ada hubungan dengan prestasi, kinerja,maupun visi misi membentuk sebuah negara.

Namun, dari sisi tersebut media mendapatkan keuntungan dari rating yang tergolong tinggi tetapi minim edukasi. Karena, bagi media rating tinggi serta perolehan iklan yang banyak merupakan tujuan mereka. Inilah buah dari kapitalisme yang hanya mencari keuntungan tanpa melihat sisi edukasi dan positif dari apa yang mereka sajikan ke khalayak ramai. Terutama bagi generasi Z yang memang lebih gampang terpikat dengan penampilan luar dan ‘nyeleneh’ para kandidat pemimpin. 

Strategi SBY hingga Jokowi

Drama politik yang ditampilkan media, semisal televisi menjelang pemilu capres dan cawapres merupakan lagu lama yang terus dipakai dalam kampanye politik demokrasi. Politik pencitraan ini mulai terangkat di era SBY yang mencitrakan diri sebagai korban kesewenang-wenangan penguasa, dengan pengunduran dirinya sebagai Menko Polkam yang saat itu mengundang simpati masif dari banyak orang. SBY juga mencitrakan dirinya sebagai sosok yang berwibawa dan bersahaja serta pribadi yang tenang. 

Sama halnya dengan yang dilakukan oleh Jokowi. Pada masa awal-awal kemunculan Jokowi, ia dicitrakan sebagai pribadi yang dekat dengan rakyat, pemimpin yang kerap kali blusukan, sederhana dengan penampilannya yang cenderung biasa untuk kalangan petinggi. Sikap dan gestur yang ditampilkan Jokowi ini dalam rangka membangun citra positif yang berbeda dari pemimpin-pemimpin sebelumnya. 

Tak berbeda jauh dengan model kampanye saat ini. Jargon pencitraan yang digunakan mulai dari selepetan sarung,  joget ‘gemoy’, hingga mengacungkan salam tiga jari.  Para calon capres dan cawapres menggunakan jargon yang dinilai unik untuk menjangkau pemilih muda, yakni generasi Z dan milenial dan jumlahnya hampir mencapai 50 persen. 

Inilah realitas politik demokrasi, menampilkan sesuatu yang remeh temeh jauh dari substansi memilih pemimpin yang sebenarnya. Jika hal seperti ini terus bergulir, seorang pemimpin pada akhirnya hanya berorientasi pada citra diri, kesan dan penampilan luar, jauh dari substansi kriteria pemimpin yang memiliki visi misi dalam membangun sebuah negara yang berdaulat. 

Kepemimpinan dalam Islam

Pemimpin dalam Islam dikenal dengan istilah khalifah, ulil amri ataupun amirulmukminin. Menjadi pemimpin tidak semudah membalikkan telapak tangan, mencukupkan diri hanya sebatas pencitraan yang lugu, lucu, dan membumi. Namun, seorang pemimpin adalah sosok yang memiliki tanggung jawab besar terhadap pengurusan rakyatnya, baik dunia maupun akhiratnya. 

Seperti yang dikutip dalam hadis riwayat Muslim, yang di tuturkan oleh Abu Dzar Al-Ghifari,  ia pernah berkata kepada Rasul saw., “Ya Rasulullah, tidakkah engkau mengangkat aku menjadi amil?” Abu Dzar berkata: Lalu Rasul menepuk pundakku seraya bersabda:

« يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ فِيهَا »

Ya Abu Dzar, sesungguhnya engkau itu lemah. Sesungguhnya jabatan itu adalah amanah dan pada hari kiamat nanti akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil amanah itu dengan benar dan menunaikan kewajiban yang ada di dalamnya. (HR. Muslim)

Sosok pemimpin dalam kaidah Islam harus memiliki pola pikir yang islami dan memahami perkara berdasarkan akidah dan syariat Islam. Pola sikapnya pun harus pola sikap yang islami, yakni memiliki kepribadian yang bertakwa dan takut terhadap Allah. Jika ada kemaksiatan yang dilanggar oleh dirinya ataupun rakyatnya, seorang pemimpin harus bersikap tegas dalam kebenaran. 

Bagaimana kepemimpinan yang di contohkan Rasulullah saw. dan para sahabat, semisal kepemimpinan Umar bin Khattab. Di mana beliau berjalan di kegelapan malam, memeriksa seluruh rakyatnya untuk memastikan tidak ada lagi hak rakyat terhadap penguasa yang terabaikan, beliau memanggul sendiri gandum di punggungnya untuk diberikan kepada rakyatnya. Hal ini dilakukan bukan dalam rangka pencitraan atau mempertahankan citra agar selalu terlihat baik dan mengayomi. Memimpin berarti menunaikan setiap kewajiban yang diselenggarakan, setiap sanksi yang diputuskan, setiap kebijakan yang dikeluarkan, semuanya semata-mata karena mengharap rida Allah Swt.

Untuk itulah, memilih pemimpin bukan berdasarkan Politainment atau pencitraan semata, namun memilih pemimpin yang sesuai dengan syariat Islam dan tidak dalam rangka menerapkan hukum-hukum kufur atau hukum-hukum yang berasal dari luar Islam. Karena, sejatinya setiap diri ini akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kita pilih atau lakukan di dunia. 

Konsep ataupun kriteria pemimpin atau penguasa telah ditentukan oleh Islam. Semua itu hanya akan dapat terwujud dalam sistem pemerintahan yang islami bukan sistem demokrasi yang saat ini digunakan. Sehingga, sosok pemimpin yang baik saja tidak cukup, pemimpin yang baik harus ada dalam sistem pemerintahan yang baik. Sistem pemerintahan yang baik tentu harus bersumber dari Zat Yang Maha Baik, Allah Swt. 

Wallahu a’lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Amelia Al Izzah Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Challenge NarasiPost.Com Menakutkan!
Next
Jamdatun, sang Penyelamat Anggaran? 
4.5 2 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

12 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Arum indah
Arum indah
9 months ago

Hanya dgn islam, perubahan hakiki akan terjadi

Amelia
Amelia
Reply to  Arum indah
9 months ago

MasyaAllah, betul sekali

Wd Mila
Wd Mila
9 months ago

Pencitraan dan kebohongan untuk menarik simpati rakyat adalah keniscayaan dalam demokrasi.

Amelia
Amelia
Reply to  Wd Mila
9 months ago

rakyat hanya sebagai tumbal saja kalau dlm sistem demokrasi

Mariyah Zawawi
Mariyah Zawawi
9 months ago

Pemimpin yang baik harus berada di sistem yang baik.
Betul, sekali!

Amelia
Amelia
Reply to  Mariyah Zawawi
9 months ago

Takbir. Allohu Akbar

Novianti
Novianti
9 months ago

Membaca peristiwa di Tsaqifah Bani Saidah saat proses pergantian kepemimpinan pasca Rasulullah wafat penuh dengan nuansa takwa. Tidak ada perebutan kekuasaan melsinkan mencari sosok terbaik. Ssngat jauh dengan yg terjadi hari ini. Seolah kekuasaan hal ringan dan tak dipertanggungjawabkan. Akhirnya hanya jadi hiburan penuh gelak tawa. Sedih...astaghfirullah

Amelia
Amelia
Reply to  Novianti
9 months ago

juga pada saat Abu bakar menggantikan kepemimpinan Rasul saat Rasul wafat. kalimat pertama yg di ucapkan Abu Bakar adalah Innalillahi Wa innaillaihi roji'un... krn kepemimpinan itu adalah tanggung jawab yg berat.

Sartinah
Sartinah
9 months ago

Politik demokrasi itu memang hanya identik dengan perebutan kekuasaan saja, bukan dalam rangka mengurus rakyatnya. Apalagi kriteria seorang pemimpin dalam kontestasi, wah gak terlalu dipikirkan

Amelia
Amelia
Reply to  Sartinah
9 months ago

betul, rakyat dibutuhkan saat pemilu saja.

Hanimatul Umah
Hanimatul Umah
9 months ago

Betul banget, umat muslim terjebak hanya memilih pemegang payung saja, tanpa memerhatikan apakah payung yang dipakai sudah bolong dan rusak. Biarpun berganti pemegangnya maka tidak akan bisa melindungi dari basah air hujan dan panas.

Amelia
Amelia
Reply to  Hanimatul Umah
9 months ago

tidak hanya ganti pemimpin, tp juga harus ganti sistem.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram