Pepesan Kosong Demokrasi, Akankah Berulang?

pepesan Kosong Demokrasi

Rakyat sudah mulai bosan dengan mekanisme kampanye yang terus berulang. Janji-janji manis yang begitu mudah diumbar tampaknya sekadar pepesan kosong, sebab tak ada komitmen sungguh-sungguh untuk merealisasikan janji-janji politik tersebut kepada rakyat.

Oleh. Arum Indah
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Kurang lebih sebulan lagi, tepatnya tanggal 14 Februari 2024 mendatang, Indonesia akan menggelar Pemilihan umum (Pemilu). Setidaknya ada lima kategori pemilihan yang akan dilaksanakan, yakni pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota.

Indonesia sendiri telah melakukan beberapa kali pemilu sejak tahun 1955 hingga tahun 2019 lalu. Berbagai bentuk kepemimpinan dan karakter pemimpin pun sudah pernah dirasakan bangsa ini. Berjuta harapan juga turut dilambungkan rakyat kepada para calon pemimpin baru. Tak banyak harap dan pinta mereka, hanya sekadar berharap agar beban hidup yang kian mencekik, bisa sedikit berkurang untuk menghilangkan penat di pundak. Tapi bak berharap kepada pepesan kosong. Berulang kali negeri ini berganti pemimpin, nasib rakyat seolah bergeming. Tak ada perubahan hakiki, selalu berakhir dengan kecewa di hati.

Janji-janji manis para calon penguasa ibarat candu. Tak bosan mereka mengumbar janji manis kepada rakyat. Sepertinya rakyat juga sudah mulai bosan dengan mekanisme kampanye yang terus berulang ini. Mereka mulai sadar, bahwa janji-janji manis itu tak ubahnya seperti pil pahit yang harus siap mereka telan. Rakyat mulai pesimis dan mulai menyadari, bahwa siapa pun pemimpin bangsa, mereka tetap harus bekerja keras guna memenuhi kebutuhan keluarganya. Tak heran, dalam setiap pemilu, selalu saja ada golput (golongan putih).

Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat persentase angka golput selama pemilu berlangsung. Pemilu 2004 mencatat sebesar 23,30% golput, naik menjadi 27,45% tahun 2009 dan puncaknya pada pemilu tahun 2014, angka golput mencapai 58,61 juta orang atau 30,22%. Ini merupakan angka tertinggi dari sejarah pemilu di Indonesia. Menanggapi hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haramnya golput. Golput dianggap sebagai tindakan abai terhadap masa depan bangsa. Padahal, sikap abai muncul karena kekecewaan dan rasa ketidakpercayaan publik terhadap praktik demokrasi di Indonesia. 

Lewat fatwa ini, angka golput pemilu tahun 2019 menurun di angka 19,24%. Meski demikian, agaknya kekhawatiran pemerintah masih tinggi terhadap sikap golput. Berbagai upaya dilakukan agar seluruh rakyat Indonesia ikut memberikan suaranya di pemilu mendatang. Salah satunya dengan menjadikan ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa) masuk ke DPT (Daftar Pemilih Tetap) dengan surat rekomendasi dari Dokter terkait dan pendampingan dari pihak keluarga. Meski demikian, keputusan ini tetap menjadi polemik di tengah masyarakat. (Kompas.com, 20/12/2023)

14 Februari mendatang, lima surat suara yang akan dicoblos rakyat Indonesia akan menentukan masa depan bangsa. Dengan durasi kurang lebih lima menit di dalam bilik pemungutan suara, masa depan bangsa ini dipertaruhkan untuk lima tahun yang akan datang. Akankah rakyat Indonesia kembali menelan pil pahit yang terus berulang? Ataukah memang ada pasangan calon yang benar-benar akan membawa perubahan untuk bangsa ini? 

Kerusakannya Ada di Sistem

Sistem pemerintahan merupakan komponen penting yang harus dimiliki suatu negara. Dengan adanya sistem, negara akan menjalankan aktivitasnya. Sejak tahun 1945, negara Indonesia adalah negara berbentuk Republik dan beberapa kali melakukan perubahan sistem pemerintahan. Tahun 1945-1949, Indonesia menganut sistem negara presidensial. Tahun 1949-1950 berganti menjadi parlementer semu, saat itu nama Indonesia berganti menjadi Republik Indonesia Serikat. Tahun 1950-1959, berubah lagi menjadi parlementer. Tahun 1959-1966, Indonesia mulai masuk ke masa orde lama, pemerintahan berubah dan kembali ke sistem presidensial. Tahun 1966-1998, masa di mana Indonesia mengalami krisis ekonomi dan politik, sistem pemerintahan masih berbentuk presidensial. Lalu tahun 1998 hingga kini, masa yang sering kita sebut sebagai masa reformasi, Indonesia tetap mengukuhkan dirinya dengan sistem presidensial dan telah melakukan amendemen undang-undang sebanyak empat kali.

Berbagai sistem pemerintahan di dunia, mulai dari presidensial, parlementer, kerajaan, imperium (kekaisaran), federasi, dan republik. Walau terlihat berbeda antara satu dan yang lain, tapi sistem-sistem ini memiliki satu kesamaan, yakni menjadikan manusia sebagai sumber pembuat hukum. Manusia diberi ruang seluas-luasnya untuk membuat peraturan, memusyawarahkannya, menjalankannya, dan menetapkan sanksi atas pelanggarannya. Atas dasar pluralisme, agama sama sekali tidak diberi andil dalam kancah kehidupan. Bagi mereka, agama hanya cukup sebagai aturan di rumah ibadah. Sekularisme masih menjadi napas dari sistem-sistem ini. Termasuk juga di dalamnya paham demokrasi. Demokrasi sendiri bermakna pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pembuatan hukum diserahkan sepenuhnya kepada manusia. 

Kepongahan manusia dalam menjadikan dirinya sebagai sumber hukum, nyatanya menjadi sumbu pemantik rusaknya tata aturan. Dengan segala keterbatasan akal, manusia tidak akan mampu membuat aturan untuk dirinya sendiri, apalagi untuk orang lain. Bermusyawarah antarsesama manusia untuk mencari dan membuat hukum, juga tetap tidak meniscayakan kebolehan manusia membuat hukum. Jika sekelompok manusia diberikan mandat membuat aturan untuk mengatur kehidupan orang banyak, yang terjadi tetaplah hukum buatan manusia yang lemah, terbatas, dan bisa jadi justru sarat dengan berbagai kepentingan oknum-oknum tertentu. Menjadi hal yang sangat salah, bahkan haram hukumnya jika manusia diberikan ruang untuk membuat hukum. Allah Swt. berfirman dalam Surah Al-An'am ayat 57, yang artinya:

"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan terbaik."

Maka ranah manusia hanyalah bermusyawarah dalam perkara teknis pelaksanaan, bukan dalam perkara membuat hukum. Contohnya, perbuatan zina. Bukan ranah manusia untuk bermusyawarah apa hukuman yang tepat bagi para pelaku zina. Apakah di penjara belasan tahun atau hukuman lain yang dianggap bisa membuat jera. Haram bagi manusia menetapkan hukumannya, sebab Islam telah menetapkan hukum rajam atau cambuk bagi mereka. Rajam bagi yang sudah menikah dan cambuk bagi yang belum menikah. 

Cukuplah segala kerusakan yang terjadi di muka bumi saat ini menjadi saksi nyata ketika manusia berhukum kepada sesuatu yang tidak berasal dari Allah Swt. Sebaik dan sebagus apa pun karakter manusia, jika sistem yang ada adalah sistem yang rusak, maka tidak akan ada kebaikan yang terjadi. Oleh karenanya, butuh sinkronisasi antara sistem yang benar dan individu yang baik.

Islam Mewujudkan Perubahan Hakiki

Islam adalah agama sempurna dan komprehensif yang diturunkan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad saw., yang tak sekadar mengatur tata cara ibadah manusia kepada Allah, tapi Islam juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri dan hubungan manusia dengan manusia lain. Islam menjadikan Al-Qur’an, hadis, ijmak sahabat dan qiyassebagai sumber hukum. Jika ada permasalahan baru yang muncul, maka akan dilakukan ijtihad oleh para mujtahid.

Berbagai aturan mengenai politik, hukum, ekonomi, pendidikan, pergaulan, dan lainnya diatur sedemikian rupa oleh Allah untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Sejarah membuktikan bahwa penerapan Islam selama kurun waktu 1.300 tahun telah membawa pada abad kejayaan dan keemasan. Kemakmuran membentang dari ujung timur sampai barat negeri-negeri kaum muslimin. Negara mereka menjadi negara super power yang sangat diperhitungkan dalam kancah perpolitikan dunia saat itu. Rakyat hidup berdampingan dan penuh kedamaian dalam keberagaman. Bahkan, pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kesejahteraan para penduduknya diibaratkan seperti domba dan serigala yang hidup rukun di padang gembalaan. Begitu juga dengan zakat yang saat itu sulit dibagikan karena langkanya mustahik. 

Belum lagi kasus-kasus tindakan kriminal yang hanya terjadi sebanyak 200 kasus selama 1.300 tahun. Gaji guru yang mencapai 15 dinar (1 dinar setara dengan 4,25 gram emas). Dan berbagai kegemilangan lain yang mengantarkan daulahKhilafah sebagai mercusuar peradaban dunia.

Jika sistem suatu negara sudah benar, maka langkah yang diperhatikan selanjutnya adalah siapa yang layak untuk menjadi pemimpin. Islam menetapkan siapa saja boleh untuk menjadi khalifah (pemimpin) umat selama orang tersebut memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan. Adapun dua syarat yang harus dipenuhi oleh seorang calon khalifah, yakni syarat legal dan syarat keutamaan. Syarat legal terdiri dari: muslim, laki-laki, balig, berakal, adil, merdeka, dan orang yang mampu. Ketujuh syarat ini menjadi syarat mutlak dan pembatas, artinya mutlak wajib dimiliki oleh seorang khalifah dan terbatas kepada orang-orang yang tidak memiliki kriteria ini. Dengan begini, tidak akan ada calon pemimpin berasal dari kalangan nonmuslim.

Syarat selanjutnya adalah syarat keutamaan, syarat ini adalah syarat tambahan yang boleh dimiliki seorang calon khalifah selama memang ada dalil sahih yang membolehkannya. Seperti seorang khalifah harus dari kalangan Quraisy, harus seorang mujtahid, atau harus seorang yang ahli dalam strategi politik.

Dengan langkah-langkah di atas, terjadilah sinkronisasi antara sistem yang benar dan individu yang baik. Maka, perubahan yang hakiki adalah sebuah keniscyaan, bukan sebuah kemustahilan saat Islam diterapkan.

Cukuplah bagi kita berharap kepada pepesan kosong demokrasi. Berharap perubahan dengan gonta-ganti pemimpin tanpa mengubah sistem adalah sebuah halusinasi. Sudah saatnya kita kembali kepada sistem Islam, menerapkannya dalam kehidupan individu, bermasyarakat, dan bernegara. Hanya sistem Islam yang akan menjamin rahmat bagi seluruh alam. Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Anbiya ayat 107, yang artinya: 

"Tidaklah kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam."

Wallah u'alam bi ash-shawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Arum Indah Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Menelisik Otak Mini dari Janin Manusia
Next
Mewaspadai NPD pada Generasi
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

10 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Wd Mila
Wd Mila
8 months ago

Manusia sebagai makhluk harusnya mendengar dan taat ada aturan dari Sang Pencipta..

Firda Umayah
Firda Umayah
8 months ago

Ada guyonan dari seseorang yang mengatakan bahwa para caleg dan sejenisnya adalah orang yang punya komitmen. Yaitu komitmen untuk tidak menepati janji. Hehehe

Afiyah Rasyad
Afiyah Rasyad
8 months ago

Sungguh, benar-benar pepesan kosong. Apa yang diharapkan dalam acara lima tahunan ini jika sistem yang digunakan sudah kayak dan basi.

Barokallahu fiik, Mbak

Deena
Deena
8 months ago

Pemilu dalam demokrasi hanya melanggengkan kekuasaan oligarki. Nasib rakyat tak ada yg peduli

Yuli Juharini
Yuli Juharini
8 months ago

Ada standar ganda yang dilakukan oleh negara dalam hal Pemilu. Asas Pemilu kan seharusnya LUBER, Langsung Umum Bebas dan Rahasia. Untuk "Bebas" kan seharusnya rakyat dibiarkan bebas untuk memilih atau pun tidak memilih (golput). Tapi rakyat seakan dipaksa untuk memilih dengan adanya fatwa haram jika golput. Kemudian "Rahasia". Di mana rahasianya? Jika setiap calon selalu memberi sesuatu saat kampanye agar memilihnya. Seperti yg terjadi di daerah tempat aku tinggal, ada calon2 wakil rakyat meminta KTP warga untuk didata agar memilih dirinya dengan diberi imbalan tentunya. Ketika selesai mencoblos harus difoto sebagai bukti bahwa warga memilihnya, nauzubillah. Itu fakta. Jadi asas bebas rahasia tidak ada yg ada hanya langsung dan umum.

Novianti
Novianti
8 months ago

Berharap pemilu jurdil, rakyat sejahtera hanya ilusi. Sudah panjang daftar kebohongan penghambur janji penguasa dalam sistem rusak ini.

Sartinah
Sartinah
8 months ago

Betul, pemilu itu cuma cara untuk meraih kekuasaan. Bukan menghasilkan perubahan hakiki, tapi menghasilkan pemimpin yang melanjutkan visi pemimpin sebelumnya. Selama sistemnya masih rusak, maka jangan harap ada perubahan hakiki.

haifa
haifa
8 months ago

Pemilu sejak 1955 tapi kehidupan masyarakat tetap begini-begini saja, malah makin parah. Harusnya pemangku kekuasaan sadar, ada yang salah dengan sistem ini dan harusnya mencari sistem alternatif dan sudah terbukti keberhasilannya, yaitu sistem Islam

Hanimatul Umah
Hanimatul Umah
8 months ago

Demokrasi banyak bohongnya, pelanggaran selalu ada dalam pemilu apalagi mewujudkan janji-janji hanyalah mimpi, dan sarat dengan praktek riswah. Dan bertentangan dengan nilai ketakwaan.

Mahyra senja
Mahyra senja
8 months ago

ODGJ punya hak pilih juga realita yang mencengangkan

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram